Menangkap Makna Simbolik Hijrah (14)

Dari Manusia Bumi Ke Manusia Langit

Kamis, 13 Oktober 2016, 09:47 WIB
Dari Manusia Bumi Ke Manusia Langit
Nasaruddin Umar/Net
UJUNG dari perjuangan Nabi Muhammad Saw ialah untuk mengangkat manusia yang tercebur di bumi menuju ke kampung asalnya di langit. Dalam drama kosmos sudah diperkenalkan manu­sia sesungguhnya pada mu­lanya makhluk langit (surga) tetapi karena kekhilafannya maka ia jatuh ke bumi. Kehadiran manusia di bumi sudah melalui proses panjang. Manu­sia semula berasal dari langit kemudian turun (tanazul) ke bumi. Selanjutnya akan menempuh proses kembali naik (taraqqi) ke langit. Inilah yang dimaksud firman Allah: "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun' (Q.S. al-Baqarah/2:156). Drama kosmos turunnya manusia dari langit ke bumi dijelaskan dalam Q.S. al-Baqarah/2: 30-39. Sedangkan proses manusia kembali ke langit dijelaskan dalam beberapa ayat secara terpisah, antara lain: "Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik ke­pada-Nya" (Q.S al-Sajadah/32:5).

Para Nabi, termasuk Nabi Muhammad Saw, berusaha mengembalikan posisi manusia di langit dengan berbagai petunjuk yang dibawan­ya. Manusia bumi (al-insan al-ardhy) masih berkutat untuk memikirkan secara mikro wujud keberadaan yang ada di sekitarnya. Berbeda dengan manusia langit (al-isan al-samawy) sudah sampai kepada ma’rifah bahwa yang tampil dalam berbagai bentuk dalam alam raya ini ternyata tidak lain adalah manivestasi (tajal­li) Sang Maha Satu (al-Wahid) dan Sang Maha Esa (al-Ahad).

Ciri-ciri manusia bumi ialah mereka yang masih terperangah dengan pluralitas alam se­mesta. Mereka sibuk mengidentifikasi dan mendefinisikan pluralitas alam semesta. Mere­ka yang masih banyak tersedot energinya untuk melakukan penyesuaian diri dengan pluralitas dan corak kehidupan yang ada di sekitarnya. Bahkan sebagian lainnya sibuk mengejar bayang-bayang fatamorgana kehidupan. Iden­titas dari berbagai entitas begitu banyak rupa dan coraknya, maka mereka sibuk mencari di mana posisi terbaik untuk menjalani kehidupan ini. Mereka yang dihadapkan dengan berbagai pilihan yang sulit untuk dipilih. Mereka sering dibingungkan oleh berbagai nilai yang berh­adap-hadapan satau sama lain. Mereka sering kecewa ketika mereka salah pilih dan pilihan­nya berujung dengan kejatuhan atau kekece­waan. Terlalu banyak hal yang harus dipikirkan dalam waktu bersamaan sehingga mereka sep­erti tidak pernah merasakan ketenangan hidup. Di antara mereka ada yang merasa 24 jam se­hari, tujuh hari seminggu, dan 12 bulan setahun terlalu cepat, begitu padatnya program yang sudah disetting ke dalam kepala mereka. Se­mentara yang lain ada yang merasakan kebali­kannya, roda perputaran waktu ini terlalu lama baginya. Ada yang meraih keuntungan dengan cara-cara yang wajar, sebagian lainnya dengan menghalalkan segala cara. Inilah hiruk-pikuk kehidupan di bumi.

Sebaliknya manusia langit sudah melewati fase kehidupan ramai dan pluralisme itu. Ia su­dah mampu menyaksikan bahwa ternyata yang banyak ini tidak lain adalah manifestasi (tajalli) Sang Dia Yang Maha Tunggal. Jika orang sudah menjadi manusia langit, tidak perlu lagi terse­dot energinya untuk memperhadap-hadapkan dan mempertentangkan satu fenomena den­gan fenomena lain, karena keseluruhan wujud adalah Sang Dia. Inilah yang dikatakan dalam Al-Qur’an: "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui". (Q.S. Al-Baqarah/2:115). Ini pula arti Allah Swt sebagai Tuhan Maha Meliputi (al-Muhith). 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA