Para Nabi, termasuk Nabi Muhammad Saw, berusaha mengembalikan posisi manusia di langit dengan berbagai petunjuk yang dibawanÂya. Manusia bumi (al-insan al-ardhy) masih berkutat untuk memikirkan secara mikro wujud keberadaan yang ada di sekitarnya. Berbeda dengan manusia langit (al-isan al-samawy) sudah sampai kepada ma’rifah bahwa yang tampil dalam berbagai bentuk dalam alam raya ini ternyata tidak lain adalah manivestasi (tajalÂli) Sang Maha Satu (al-Wahid) dan Sang Maha Esa (al-Ahad).
Ciri-ciri manusia bumi ialah mereka yang masih terperangah dengan pluralitas alam seÂmesta. Mereka sibuk mengidentifikasi dan mendefinisikan pluralitas alam semesta. MereÂka yang masih banyak tersedot energinya untuk melakukan penyesuaian diri dengan pluralitas dan corak kehidupan yang ada di sekitarnya. Bahkan sebagian lainnya sibuk mengejar bayang-bayang fatamorgana kehidupan. IdenÂtitas dari berbagai entitas begitu banyak rupa dan coraknya, maka mereka sibuk mencari di mana posisi terbaik untuk menjalani kehidupan ini. Mereka yang dihadapkan dengan berbagai pilihan yang sulit untuk dipilih. Mereka sering dibingungkan oleh berbagai nilai yang berhÂadap-hadapan satau sama lain. Mereka sering kecewa ketika mereka salah pilih dan pilihanÂnya berujung dengan kejatuhan atau kekeceÂwaan. Terlalu banyak hal yang harus dipikirkan dalam waktu bersamaan sehingga mereka sepÂerti tidak pernah merasakan ketenangan hidup. Di antara mereka ada yang merasa 24 jam seÂhari, tujuh hari seminggu, dan 12 bulan setahun terlalu cepat, begitu padatnya program yang sudah disetting ke dalam kepala mereka. SeÂmentara yang lain ada yang merasakan kebaliÂkannya, roda perputaran waktu ini terlalu lama baginya. Ada yang meraih keuntungan dengan cara-cara yang wajar, sebagian lainnya dengan menghalalkan segala cara. Inilah hiruk-pikuk kehidupan di bumi.
Sebaliknya manusia langit sudah melewati fase kehidupan ramai dan pluralisme itu. Ia suÂdah mampu menyaksikan bahwa ternyata yang banyak ini tidak lain adalah manifestasi (tajalli) Sang Dia Yang Maha Tunggal. Jika orang sudah menjadi manusia langit, tidak perlu lagi terseÂdot energinya untuk memperhadap-hadapkan dan mempertentangkan satu fenomena denÂgan fenomena lain, karena keseluruhan wujud adalah Sang Dia. Inilah yang dikatakan dalam Al-Qur’an: "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui". (Q.S. Al-Baqarah/2:115). Ini pula arti Allah Swt sebagai Tuhan Maha Meliputi (al-Muhith).