Menangkap Makna Simbolik Hijrah (2)

Asal-usul Kalender Hijriyah (1)

Kamis, 29 September 2016, 08:20 WIB
Asal-usul Kalender Hijriyah (1)
Nasaruddin Umar/Net
SEPERTI kalender Miladi­yah (Masehi) yang memiliki sejarah, maka kalender hijriyah juga memiliki sejarah tersendiri. Perbedaan paling menonjol, kalender Miladi­yah (M) menggunakan per­hitungan matahari sebagai patokan, sedangkan per­hitungan kalender Hijriyah (H) menggunakan perhitungan bulan. Diband­ing kalender H, kalender M lebih tua, karena dihubungkan dengan kelahiran Nabi Isa atau Yesus Kritus menurut keyakinan umat kristiani. Antara keduanya terpaut cukup panjang, seki­tar 579 tahun, seperti yang baru saja kita sak­sikan, umat Islam memperingati tahun baru Hi­jriyah yang ke 1430 dan tahun baru Miladiyah yang ke 2009.

Bangsa Arab pra Islam menggunakan sistem penanggalan lunisolar dan tahunnya dihubung­kan dengan peristiwa terpenting dalam tahun itu. Misalnya Nabi Muhammad dilahirkan pada hari Senin, tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun Ga­jah. Disebut Tahun Gajah karena pada tahun itu terjadi kejadian dahsyat, yaitu musnahnya pasukan bergajah yang dipimpin Raja Abra­hah dari Yaman. Tahun-tahun berikutnya dicari lagi peristiwa penting yang terjadi di kawasan jazirah Arab yang bernilai penting. Sampai pada masa Rasulullah saw, para sahabat ser­ing menggunakan momentum itu sebagai pen­anda tahun, misalnya kejadian Bai’atul ’Aqabah pertama terjadi pada bulan Zulhijjah tahun ke 11 dari kenabian, Bai'atul 'Aqabah kedua (ku­bra) terjadi dalam bulan Zulhijjah tahun ke-14 dari kenabian. Sahabat lain secara tradisional masih menggunakan penanggalan tradisi Arab. Ketika dunia Islam semakin meluas sampai ke­luar dari jazirah Arab, terutama pada zaman pemerintahan Khalifah Umar (635-645 M) yang meluas sampai ke Mesir, Persia, dan berbagai wilayah di luar Arab lainnya.

Khalifah Umar mulai menertibkan administra­si pemerintahan dengan mengangkat beberapa sahabat untuk menjadi Gubernur di antaran­ya: Muawiyyah diangkat menjadi Gubernur di Syiria, termasuk wilayahnya adalah Yordania. Amru bin Ash diangkat menjadi Gubernur Me­sir. Musa Al-As’ari diangkat menjadi Gubernur Kuffah. Mu'adz bin Jabal diangkat menjadi Gu­bernur Yaman. Abu Hurairah diangkat menjadi Gubernur Bahrain. Dalam mengatur pemerin­tahan, timbul berbagai persoalan, termasuk di antaranya sistem penanggalan yang tidak se­ragam. Dalam tahun ke 5 pemerintahan Khal­ifah Umar, beliau mendapat surat dari Musa Al-Asy’ari Gubernur Kuffah, salahsatu yang dipersoalkan ialah sistem kalender pemerintah­an. Dalam isi suratnya disebutkan:

"Gubernur Musa Al As'ari menulis surat ke­pada Umar bin Khatthab. Sesungguhnya telah sampai kepadaku dari kamu beberapa surat tetapi surat-surat itu tidak ada tanggalnya."

Setelah itu, Khalifah Umar bin Khatthab mengumpulkan para tokoh dan para sahabat yang berada di Madinah untuk menyepaka­ti sistem penanggalan pemerintahan. Dalam musyawarah tersebut dibicarakan rencana akan membuat Tarikh atau kalender Islam. Da­lam musyawarah itu muncul berbagai usul ten­tang momentum yang akan digunakan seba­gai penanggalan H. Setidaknya ada lima usul yang muncul dalam musyawarah itu, yaitu:1) Momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW. ('Aam al-Fill, 571 M). 2) Momentum pengang­katan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul (‘Aam al-Bi’tsah, 610 M). 3) Momentum Isra' Mi'raj Nabi Muhammad Saw. 4) Momentum wa­fatnya Nabi Muhammad SAW. 5) Momentum Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah atau pisahnya negeri syirik ke neg­eri mukmin. Pada waktu itu, Makkah dinamakan Negeri Syirik atau bumi syirik. Pendapat tera­khir ini diusulkan oleh Ali ibn Abi Thalib. Akh­irnya musyawarah yang dipimpin oleh Amirul Mukminin, Umar Ibn Khatthab sepakat memi­lih momentum yang dijadikan awal kalender Is­lam ialah Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Momentum inilah yang menjadi cikal bakal kalender Islam. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA