Bahkan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat saya belajar bahwa hakikat hukum sebagai upaya menegakkan keadilan ternyata bukan sekadar pada lembaran-lembaran kitab hukum belaka namun pada kenyataan kehidupan manusia.
Ternyata di atas hukum masih ada yang lebih luhur yaitu nurani peradaban yang tersirat dalam asas kemanusiaan adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nurani peradaban saya jumpai pada permintaan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar Gubernur Jakarta dan Walikota Jakarta Selatan menghadiri proses mediasi sidang
class action warga Bukit Duri, Jakarta Selatan.
Gubernur Jakarta dan Walikota Jaksel merupakan pemberi kuasa penertiban kawasan Bukit Duri. Menurut Ketua Majelis Hakim Didik Riyono Putro, Gubernur Jakarta dan Wali Kota Jaksel seharusnya menghargai upaya hukum warga Bukit Duri.
Rakyat yang tidak setuju penggusuran seharusnya dihargai apalagi mereka menempuh jalur hukum ketimbang mereka berbuat di luar hukum yang berarti anarkis. Didik menegaskan, jalur hukum berhak ditempuh meski yang menggugat hanya satu dari ratusan orang. Selanjutnya, hakim berupaya mendamaikan pihak yang bersengketa melalui proses mediasi. Didik mengatakan, dalam proses mediasi, pihak-pihak pemberi kuasa dari tergugat harus hadir secara langsung. Perdamaian akan tercapai jika kedua belah pihak saling mendengarkan hak dan kewajiban masing-masing.
"Tolong sampaikan, Pak Gubernur dan Pak Walikota supaya menghadap hakim mediator karena ada sanksinya kalau ada itikad tidak baik. Sanksi hukum tidak memandang pejabat atau tidak," ujar Ketua Majelis Hakim, Didik Riyono Putro.
Di dalam persidangan yang sama, kuasa hukum warga Bukit Duri, Vera Soemarwi, meminta Pemerintah DKI Jakarta menghentikan segala aktivitas yang berkaitan dengan penertiban kawasan Bukit Duri. Sebab, upaya hukum terkait penertiban tersebut sedang berlangsung. Vera menegaskan bahwa sebagai negara hukum, Indonesia memiliki asas-asas yang wajib ditaati para tergugat, yaitu asas kepastian hukum, asas keadilan, asas kepatutan, asas profesionalitas, dan asas proporsionalitas. Ia menilai tindakan para tergugat khususnya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Selatan yang menerbitkan Surat Peringatan I (SP I) pada tanggal 30 Agustus 2016 tidak tepat.
Bahkan Vera menyayangkan bahwatergugat sebelumnya telah mengeksekusi penertiban rumah di RW 12 pada 3 September. "Para tergugat dan turut tergugat dianggap sewenang-wenang, bertentangan dengan hukum, dan menyalahgunakan pihak akan kekuasaannya dengan pertimbangan yang tidak tepat dan akurat," ujar kuasa hukum warga Bukit Duri.
Hakim Didik menjawab keinginan Vera dengan menyatakan bahwa dirinya tidak bisa melakukan upaya hukum apapun terkait upaya penertiban oleh pemerintah. Menurutnya, permohonan penghentian tersebut perlu melalui putusan sela. Sedangkan persidangan baru sampai proses mediasi. Maka Hakim Didik mengimbau, tergugat yang pada sidang kali ini diwakili kuasa hukumnya, Firman Candra, agar menghentikan sementara upaya penertiban kawasan Bukit Duri. Menurut Didik, pertimbangan ini lantaran penggugat telah menempuh upaya hukum yang sah. "Kami mengimbau tergugat menahan diri dulu. Ini sudah diproses secara hukum. Jangan main kekuasaan, tunjukkan kalau benar itu benar," kata Ketua Majelis Hakim dalam sidang peradilan terhadap gugatan secara perwakilan kelompok atau class action warga Bukit Duri terhadap pemerintah.
Kuasa hukum tergugat, Firman Chandra, berjanji akan menyampaikan imbauan hakim kepada pemerintah . Namun dia membantah pemerintah telah sewenang-wenang. Menurut dia, yang dilakukan pemerintah adalah memanusiakan warganya dengan memindahkan mereka ke tempat yang lebih baik. Penataan itu, tutur Firman, dilakukan untuk menormalkan Kali Ciliwung sekaligus mencegah banjir yang kerap melanda daerah itu. "Ini tujuan pembangunan nasional," demikian penegasan Firman.
Sebagai insan awam hukum saya tidak berdaya apa pun kecuali mengamati, menyimak, mendengar, merasakan proses hukum gugatan warga Bukit Duri terhadap penggusuran yang akan dilakukan terhadap diri mereka. Semua itu menggugah kesadaran pada lubuk sanubari saya sebagai insan yang tumbuh-kembang di lahan kebudayaan Jawa untuk lebih seksama menghayati makna luhur yang terkandung pada falsafah Jawa ojo dumeh (jangan takabur) dilengkapi pedoman etika ngono yo ngono ning ojo ngono (begitu ya begitu namun sebaiknya jangan begitu).
Penulis adalah pembelajar makna keadilan.
BERITA TERKAIT: