Satu di antara sekian banyak indikasi krisis peradaban bangsa Indonesia adalah bagaimana di masa kini sopan-santun sudah dianggap anakronis alias ketinggalan zaman. Perbedaan pendapat memang bisa diperdebatkan namun sewajibnya dilakukan secara beradab. Perbedaan sebaiknya terfokus pada perbedaan pendapat yang sedang diperdebatkan bukan melenceng ke penghinaan terhadap pribadi lawan debat. Misalnya gara-gara saya berpihak ke kaum miskin maka saya harus mengikhlaskan diri untuk dicemooh sebagai si gentong, tua bangka bau tanah, sok pahlawan kesiangan, cari popularitas, profokator, rasis, warga berotak kelas dua dan lain sebagainya.
Nilai pandangan masyarakat terhadap kaum miskin juga sudah berubah. Bisa jelas disimak pada hujatan medsos terhadap kaum miskin yang tidak mengikhlaskan diri untuk digusur. Sudah tidak ada lagi apa yang bisa disebut sebagai keberpihakan kepada kaum miskin. Alih-alih kaum miskin dibelaskasihani, mereka malah dihujani hujatan. Kreatifitas mencipta hujatan terhadap kaum miskin juga luar biasa dahsyat. Mulai dari pemberontak, melawan kebijakan pemerintah, tidak tahu diri, tidak mendukung upaya membasmi kemiskinan, anti pembangunan sampai cacimaki sampah masyarakat, komunis bahkan kambing !
Tampaknya sudah diyakini bahwa cara membasmi kemiskinan yang paling efektif bahkan efisien adalah menggusur orang miskin. Menolong kaum miskin bahkan dicemooh sebagai upaya mubazir sebab kaum miskin pasti tidak akan menolong apabila kita dalam kesulitan. Akibat kriminalitas dianggap bersumber pada kemiskinan maka menolong kaum miskin malah dianggap seolah melestarikan kriminalitas. Pendek kata memang sudah terjadi pergeseran nilai terhadap kaum miskin yang menurut UUD 1945 merupakan tanggung-jawab negara.
Kaum miskin memang hukumnya wajib untuk digusur sebab meski mereka semua sebenarnya adalah sesama manusia seperti kau dan aku namun pada kenyataan mereka disebut sebagai warga liar . Lazimnya istilah liar tidak diberikan pada manusia namun satwa. Namun warga miskin disebut warga liar sebab mereka menduduki tanah negara secara tidak sah.
Meski pada kenyataan tidak sedikit yang memiliki bukti kepemilikan permukiman secara sah atau de facto sudah bermukim di pemukiman mereka secara turun menurun bahkan sebelum negara Indonesia diproklamirkan kemerdekaannya. Mungkin memang bukan kewajiban bagi siapa pun untuk berpihak apalagi menolong kaum miskin. Namun apabila sudah tidak mau menolong kaum miskin sebenarnya tidaklah perlu kita lalu mencemooh, mencaci maki, menghujat mereka yang berpihak kepada kaum miskin.
Makin tidak perlu lagi, kita mencemooh, mencacimaki, menghujat kaum miskin. Tidak perlu menambah derita perasaan kaum miskin sebab mereka sudah cukup menderita hidup dalam kemiskinan. Cemooh, caci maki, hujatan sama sekali bukan bagian dari peradaban bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi falsafah Pancasila. Cemooh, caci maki, hujatan merupakan indikasi krisis peradaban.
Penanggulangan krisis peradaban sebaiknya dimulai dari diri kita sendiri masing-masing. Sesuai Al Sukuni meriwayatkan dari Abu Abdillah Al Shadiq bahwa ketika Nabi Muhammad SAW menyambut pasukan sariyyah kembali setelah memenangkan peperangan, Beliau bersabda: ’Selamat datang wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil tetapi masih harus melaksanakan jihad akbar!’ Ketika orang-orang bertanya tentang makna sabda itu, Rasul SAW menjawab: ’Jihad kecil adalah perjuangan menaklukkan musuh. Jihad akbar adalah jihad Al-Nafs, perjuangan menaklukkan diri sendiri!â€.
[***]
BERITA TERKAIT: