Kesalahan saya makin parah akibat saya percaya begitu saja pada apa yang terlihat dan terdengar di media massa dan media sosial tanpa pernah melihat dan mendengar kenyataan dengan mata telinga kepala saya sendiri. Maka tergusurlah masyarakat Kalijodo secara mulus-permai tanpa perlawanan sehingga tercatat menjadi prestasi gemilang Basuki Tjahaya Purnama sebagai gubernur pertama dalam sejarah kota Jakarta yang berhasil menggusur rumah-rumah rakyat di Kalijodo sehingga menjadi rata dengan permukaan tanah Betawi.
Bahkan saya sempat memuji prestasi menggusur Kalijodo diiringi permohonan agar dapat didirikan sebuah monumen kecil di Kalijodo yang mengenang jasa masyarakat Kalijodo yang mengikhlaskan diri mereka untuk digusur atas nama pembangunan.
Seperti biasa permohonan saya dalam soal penggusuran rakyat senantiasa sama saja dengan gonggongan anjing yang tidak digubris oleh khafilah berlalu. Malah seharusnya saya bersyukur bahwa permohonan saya di samping tidak digubris juga tidak dihujat para buzzer Ahok.
Saya baru tersadar atas kesalahan tidak peduli nasib rakyat tergusur di Kalijodo ketika menjelang haul 71 tahun kemerdekaan Indonesia secara kebetulan berjumpa dengan seorang anak muda pejuang kemanusiaan bernama keren Leonard Eko Wahyu Widayat Moko yang akrab dipanggil mas Leo. Sanubari saya terkejut ketika menerima informasi dari mas Leo bahwa ternyata tidak semua pemukim Kalijodo termasuk diri mas Leo sendiri terlibat dalam kegiatan perjudian dan pelacuran seperti yang ditudingkan ke Kalijodo. Bahkan banyak warga Kalijodo yang memiliki surat resmi pemilikan tanah.
Keterkejutan saya makin menjadi-jadi setelah menyadari kenyataan bahwa rakyat tergusur Luar Batang mengungsi ke Mesjid Keramat Luar Batang. Ternyata menurut laporan mas Leo, rakyat tergusur Kalijodo terpaksa tercerai-berai mengungsi ke berbagai penjuru termasuk di bawah kolong tol Kalijodo. Sekitar 50 anak warga Kalijodo tergusur kini terpaksa bersekolah di bawah kolong tol Kalijodo.
Mas Leo sedang berjuang ke pengadilan menggugat pemprov DKI Jakarta agar berkenan memperlakukan rakyat tergusur Kalijodo secara lebih manusiawi. Klaim pihak penggusur bahwa kawasan Kalijodo adalah jalur hijau yang dimukimi secara tidak sah oleh warga liar juga sama sekali tidak sesuai dengan kisah film Ca Bau Kan. Film mahakarya Remy Silado dengan setting tahun 1928 itu berkisah fakta sejarah bahwa Kalijodo di dalam kota Batavia sudah de facto dihuni masyarakat manusia jauh sebelum nama Jakarta resmi mulai digunakan sebagai nama ibukota Indonesia.
Menjelang akhir Agustus 2016, film Ca Bau Kan sempat diputar kembali di kolong tol Kalijodo disaksikan oleh masyarakat telah tergusur. Entah siapa yang berkhayal, Remy atau Ahok. Terlepas dari siapa berkhayal, pada kenyataan tata krama kepemerintahan, sebenarnya merupakan kewajiban para penggusur yang telah berhasil mengejawantahkan wewenang mereka menggusur rakyat Kalijodo untuk peduli atas nasib rakyat tergusur yang kini terpaksa mengungsi di berbagai pelosok ibukota Indonesia termasuk kolong tol Kalijodo.
Insya Allah, para penggusur Kalijodo masih memiliki nurani kebangsaan, kerakyatan dan kemanusiaan untuk berkenan menjunjung tinggi UUD 1945 di samping sila kemanusiaan adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang sebenarnya telah susah-payah dimerdekakan dari belenggu penindasan kaum penindas oleh para pendiri negara Republik Indonesia , sejak 17 Agustus 1945
.[***]
BERITA TERKAIT: