Memikirkan Rakyat Miskin

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/jaya-suprana-5'>JAYA SUPRANA</a>
OLEH: JAYA SUPRANA
  • Jumat, 12 Agustus 2016, 11:54 WIB
Memikirkan Rakyat Miskin
Jaya Suprana/Net
MENJELANG 17 Agustus 2016 sebagai hari perayaan proklamasi Kemerdekaan RI di mana seharusnya tidak ada lagi penindasan terhadap rakyat Indonesia yang sudah 71 tahun dimerdekakan dari penindasan kaum penjajah, mendadak saya menerima sebuah surat elektronik dari Sandyawan Sumardi yang lestari saya sebut sebagai Romo sebagai ungkapan penghormatan diri saya terhadap perjuangan atau lebih tepatnya : pengorbanan beliau dalam membela kaum miskin. Surat elektronik Romo Sandy saya petik secara harafiah dan utuh sebagai berikut:

Sudah sejak tahun 1990-an saya berusaha menemani, mendampingi komunitas-komunitas warga kampung kota (urban) di berbagai tempat di Jakarta  yang mengalami penggusuran-paksa, sebagai pilihan kebijakan sistem pembangunan Jakarta, ibukota negeri tercinta ini. Sampai hari ini, ternyata nyaris tak ada perubahan apa-apa. Lihatlah perlakuan dari pihak Pemprov DKI, dari pihak masyarakat menengah dan kaum elit, serta sikap dan mental masyarakat miskin itu sendiri pada umumnya. Penghancuran kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan politik, ketidakadilan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang akut. Komunitas warga miskin kota senantiasa telah dibuat tercerai-berai, terusir, menjadi para pengungsi yang terlunta-lunta di dalam negeri sendiri. Dan kebanyakan dari pihak warga miskin sendiri pun, karena begitu lama berada dalam kondisi ketertindasan, maka sikap dan mental pasif ketergantungannya pun luar biasa. Cenderung pasrah-ngalah. Dari sekitar 400-an KK warga Bukit Duri, di bulan ini, terbukti tinggal sekitar 90-an warga Bukit Duri yang terjaga sadar berani melawan, menggugat. Melawan dan menggugat nasib agar tidak ditentukan oleh orang lain. Ya perjuangan keras kita selama ini lahir dari pihak kita sendiri yang kita yakini diridhoi oleh Allah SWT. Kita dengan sadar sudah memilih jalan perjuangan aktif tanpa kekerasan. Dengan proses kerja keras solidaritas kreatif yang panjang di tengah komunitas warga Kampung Bukit Duri sejauh ini, kita tengah memberikan kesaksian bahwa hidup ini bagaikan perjuangan berada dalam satu perahu, sehati seperasaan dalam perjuangan mengarungi tantangan hempasan ombak lautan. Dan sudah sejak beberapa tahun lalu, kita telah aktif berpartisipasi terlibat membangun kota Jakarta. Maka tanpa kita sadari, gerakan sahaja kita tengah mengundang datangnya solidaritas berupa simpati, sapaan, pengertian, bantuan dari sesama warga "economic survival" di perkotaan, kawan-kawan buruh, kaum nelayan korban reklamasi, para praktisi dan akademisi, tokoh-tokoh masyarakat yang masih medengar hati nuraninya sendiri. Dan dengan penuh kesadaran kita juga sedang menempuh perjuangan hukum dengan menggugat secara perwakilan kelompok atau "Class Action" kepada Pemprov DKI, BBSCC, Pemkot DKI di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kita tengah mengusulkan pembangunan "Kampung Susun Manusiawi Bukit Duri", milik sendiri  dan bersama, sebagai solusi alternatif ketimbang hanya satu solusi yang dipaksakan oleh gubernur DKI selama ini yaitu Rusun Sewa Rawa Bebek. Sudah saatnya kita berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan sesama warga kota Jakarta dalam membangun kehidupan kota Jakarta. Berjuang bersama membangun kampung kota yang adil dan bermartabat, sensitif HAM, bersekutu dengan alam, ekologis, demokratis-partisipatif,berkelanjutan.Selamat berjuang. Salam solidaritas! Sandyawan Sumardi.

Membaca surat elektronik itu, saya terpana membisu setriliun bahasa terbungkam rasa haru terlalu mencengkam lubuk sanubari terdalam saya. Rasa haru saya beralasan sebab Romo Sandy bukan sekadar berteori atau berfilsafat apalagi berpolitik namun benar-benar paripurna mengungkapkan amanat penderitaan rakyat berdasar kenyataan pengalaman hidup bersama kaum miskin ibukota Indonesia nan megah, mewah, gemerlap demi layak disebut megapolitan oleh para pendukung paham megapolitanisme. Rasa haru saya makin mendalam berhubung saya tahu bahwa dalam menemani kaum miskin, Romo Sandy terpaksa menghadapi badai topan hujatan mulai sekadar penjual kemiskinan, makelar tanah berkedok pahlawan kemanusiaan, pemberontak, mafia tanah sampai PKI! Begitu dahsyat serangan hujat terhadap Sandyawan Sumardi, sehingga saya sempat bimbang maka bertanya pendapat mahaguru etika saya, Romo Prof. Dr. Frans Magnis Suseno.

Saya bimbang apakah sudah benar bahwa saya berpihak ke perjuangan Sandyawan Sumardi menemani rakyat miskin digusur kaum penggusur berkeyakinan bahwa rakyat memang hukumnya wajib untuk dikorbankan sebagai tumbal pembangunan. Romo Frans menyemangati saya sambil tersenyum: "Teruskan, pak Jaya! Perjuangan Sandyawan Sumardi adalah Anugerah Kemanusiaan!" [***]

Penulis adalah pemrihatin nasib rakyat tergusur

< SEBELUMNYA

Hikmah Heboh Fufufafa

BERIKUTNYA >

Dirgahayu Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA