Menanggapi pernyataan Kapolri, Ketua Pansus Revisi UU Pemberantasan Terorisme, Muhammad Syafi'i mengatakan, kalau memang tidak setuju, tentu harus mengemukakan alasan yang kuat.
"Di era penegakan hukum itu kan, itu sesuatu yang tidak logis. Bahwa yang mengawasi itu harus yang berasal dari orÂganisasi yang diawasi nggak logis," kata Syafi'i saat berbinÂcang dengan
Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin. Inilah petikan wawancaranya.
Pembahasan revisi sudah sejauh mana?Kkita sudah mengundang semua ormas keagamaan, baik Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha. Dari keseluruhan ormas beragama itu, ada 10 tadi yang kita undang, sembilan menyaÂtakan setuju adanya Dewan Pengawas Densus 88, kecuali Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Kenapa tidak setuju?Tadi mempersoalkan, kalau ada dewan pengawas, nanti bagaimana mengawasi dewan tersebut. Selain PGI semuanya sepakat dewan tersebut menÂgawasi operasi-operasi yang dilakukan Densus 88.
Dan ada penjelasan juga sebelumnya, seperti di Inggris itu, Densusnya mereka itu ada pengawasan. Selain pengawas, ada lagi lembaga yang kerjanya menampung semua komplain dari masyarakat. Komplain dari korban, dan komplain dari semua pihak terhadap penanganan yang tidak sesuai undang-undang.
Kemudian laporannya diserÂahkan kepada lembaga kemenÂterian terkait. Isinya mengenai lembaga yang diadukan itu. Jadi tadi menguat, semua lembaga keagamaan menganggap itu perlu. Karena kalau tidak, peÂluang
abuse of power itu sangat besar.
Sudah berkomunikasi denÂgan Kapolri terkait pembenÂtukan dewan pengawas terseÂbut?Kita memang belum RDP (Rapat Dengar Pendapat) dengan Kapolri. Jadi masih dengan para tokoh, kemudian ormas-ormas, baru kemudian kita lanjutkan dengan Panglima TNI, dengan Kapolri, dengan BNPT, dengan Densus 88, dan ditindaklanjuti dengan kunjungan ke markas masing-masing.
Kelihatannya Kapolri memÂpertanyakan tujuan pemÂbetukan dewan pengawas itu karena sudah ada pengawasan internal?Ya, kalau memang tidak setuÂju, tentu harus mengemukakan alasan yang kuat. Kalau dia bilang pengawasan sudah ada di internal, bagaimana kita mau mengawasi diri sendiri?
Memang belum pernah ada laporan terkait kinerja Densus 88?Misalnya korban (penyergaÂpan terduga teroris) Cawang itu, sampai hari ini saja Densus nggak tahu. Jangankan kejahaÂtannya, namanya saja mereka nggak tahu. Jangan sampai, ini korban yang tidak diketahui ini, di batu nisannya ditulis Mr X, begitu lho. Jadi keluarganya nggak ada, kejahatannya tak terungkap, namanya pun polisi nggak tahu. Ini kan kesalahan yang sangat fatal.
Artinya dewan pengawas ini memang harus ada?Kalau nanti ada lembaga pengawasan, kita mau tanya ke Kapolri, apa yang akan diÂlakukan terhadap aparat yang menyalahi prosedur itu. Karena menurut KUHP Pasal 52, peÂlanggaran yang dilakukan oleh aparat mendapat hukuman sepÂertiga, untuk kejahatan yang sama tapi pelakunya sipil.
Jadi kalau misalkan sipil melakukan kejahatan dihukum 20 tahun, kalau aparat, karena menggunakan uang negara, dia berfungsi menjaga keamanan negara tapi dia melakukan peÂlanggaran seperti yang dilakuÂkan sipil, ya tambah sepertiga lagi. Tapi ini kita kan nggak mendengar, ini kan malah ada reproduksi teroris.
Maksudnya?Karena penanganannya itu meneror orang. Tanpa ada proseÂdur hukum, ditembak mati, nggak tahu nama, nggak tahu alamat, ini kan membangkitkan kemarahan yang mengakibatkan reproduksi teroris lagi.
Kalau begitu, berdasarkan pengalaman-pengalaman dan ada laporan dari Kontras, itu kan korban penembakan Densus yang tidak melalui prosedur huÂkum kan sudah 121 orang.
Kan nggak boleh terulang lagi, dan apa jaminannya. Nah, kan kalau ada pengawas yang selalu memberikan laporan kepada stakeholder penanganan teroris, selain mengawasi protap operasi, juga mengawasi aliran dan kita berharap akan lebih profesional. ***
BERITA TERKAIT: