WAWANCARA

Siti Noor Laila: Yang Kita Angkat Kejahatan Terhadap Kemanusiaannya, Bukan Membela PKI

Selasa, 24 Mei 2016, 08:00 WIB
Siti Noor Laila: Yang Kita Angkat Kejahatan Terhadap Kemanusiaannya, Bukan Membela PKI
Siti Noor Laila:net
rmol news logo Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) meng­hangat. Masalah muncul justru ketika diadakan Simpo­sium mengenai Tragedi 1965 bulan lalu.
Komisioner Komnas HAM Siti Noor Laila menilai, telah terjadi pemelesetan isu. Yang seharusnya rekonsiliasi terhadap kejahatan kemanusiaan, menjadi kesan membela dan membang­kitkan kembali PKI. "Yang kita perbincangkan itu adalah keja­hatan terhadap kemanusiaan, bukan perbincangan terhadap partai. Jadi itu berbeda gitu lho," kata Noor Laila kepada Rakyat Merdeka, kemarin. Berikut ini wawancara selengkapnya:

Aparat gencar melakukan razia terhadap atribut yang dianggap berbau PKI, tang­gapan Anda?
Yang pertama adalah yang soal aparatur itu tidak perlu terlalu berlebihan ya. Melakukan pen­egakan hukum tapi tetap memper­hatikan Hak Asasi Manusia. Tidak perlu lakukan razia terhadap buku, termasuk jangan melaku­kan penangkapan sepihak.

Bagaimana seharusnya?
Ini dari yang saya lihat kan ada beberapa ya. Jadi ada beberapa kategori orang menggunakan atribut. Seperti yang di Ternate itu. Mereka memakai atribut Pecinta Kopi Indonesia ya. Itu sebenarnya ya, bentuk sinisme.

Maksudnya?
Bentuk sinisme terhadap fobia-fobia terhadap isu re­konsiliasi belakangan ini yang dicanangkan pemerintah.

Lalu?
Yang kedua adalah, karena ketidaktahuan. Kan generasi muda kita ini kan banyak yang tidak tahu sejarah PKI. Peristiwa 1948, peristiwa 1965 banyak yang tidak tahu. Misalnya seperti yang disebut oleh seorang anak pejabat, ini lagi ngetren lho. Ngetren model itu kan tidak han­ya terjadi di Indonesia. Apalagi sekarang ada media sosial yang mudah dijangkau.

Jadi menurut saya, dalam konteks penyelesaian pelang­garan HAM berat pasca 65, sesungguhnya bukan persoalan PKI-nya. Itu ada pemelesetan di situ.

Lantas persoalan apa?
Yang kita perbincangkan itu adalah kejahatan terhadap ke­manusiaan, bukan perbincangan terhadap partai. Jadi itu berbeda gitu lho.

Apa bedanya?
Pada pasca 65, itu terjadi ke­jahatan terhadap kemanusiaan, apa itu bentuknya? Kan gitu. Ya ada pembunuhan, pemenjaraan tanpa proses hukum, perkosaan yang dilakukan oknum. Jadi itu yang mau direkonsiliasi. Bukan rekonsiliasi PKI dengan pihak lain. Tidak ada hubungannya. Tidak ada urusannya dengan politik. Tidak ada urusannya dengan partai dan ideologi.

Jadi menurut saya, ketika negara mau melakukan rekon­siliasi, ada upaya pemlesetan itu, dari kejahatan terhadap kemanusiaan, jadi pembelaan terhadap munculnya PKI baru. Padahal sama sekali nggak ada hubungan sama sekali.

Terkait upaya rekonsiliasi, beberapa pihak mencetuskan diadakan simposium tand­ingan?
Jadi begini, jenderal-jenderal yang sekarang mau bikin simpo­sium itu, mereka kami undang dan mereka tidak mau hadir. Seperti Pak Kiki Syahnakri itu, kami usulkan untuk jadi nara­sumber.

Apa alasan tidak hadir?
Saya tidak tahu, silakan tanya Pak Kiki.

Apa artinya itu?
Saya menilai, ada kelompok yang tidak siap rekonsiliasi, kan begitu. Persoalannya, fakta bahwa terjadi kejahatan kema­nusiaan pasca 65 kan memang iya. Itu tidak bisa dihindari. Fakta bahwa itu beban sejarah yang terus menerus digugat, itu kan terjadi. Makanya, karena proses hukum belum berjalan dan presi­den juga dalam RPJMN menyata­kan akan melakukan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, baik yudisial dan non yudisial, maka Komnas HAM mendorong untuk rekonsiliasi.

Siapa saja yang harus ter­libat?
Rekonsiliasi antara korban ke­jahatan terhadap kemanusiaan. Nah kemudian, presiden menya­takan menyesalkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan itu. Ini akan menjadi bagian dalam proses perjalanan bangsa Indonesia.

Terkait pembubaran paksa pemutaran film Buru Tanah Air Beta di Yogyakarta awal bulan ini?
Jadi begini, kebebasan be­rekspresi, kebebasan jurnal­isme, kebebasan menyampaikan pendapat, itu kan hak ya, tidak lagi dibatasi. Reformasi ini kan memperjuangkan demokrasi. Masa sekarang mau kembali lagi ke rezim otoriter? Kan begitu.

Nah jadi justru reformasi dan sistem demokrasi harus terus kita perbaiki. Pembubaran semacam itu tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan prinsip HAM.

Komnas HAM sudah inves­tigasi?
Jadi Komnas HAMkan mendapatkan laporan dari te­man-teman bahwa ada problem kebebasan berekspresi, bahkan sampai kampus. Ini kan bahaya, sampai kegiatan di kampus di­batasi. Padahal kampus ini kan gudangnya intelektual. Ini sudah berlebihan, jadi aparatur silakan melakukan penegakan hukum, tapi harus memperhatikan HAM. Mana bisa kampus intelektual­nya dibatasi.

Cara menghilangkan keta­kutan terhadap kebangkitan PKI?
Jadi kebangkitan PKIitu ng­gak ada-lah. Di internasional saja komunis kan sudah mati. Itu kalau kita bicara ideologi. Itu kan sudah nggak berkem­bang lagi, lalu kenapa menjadi ketakutan? Gitu lho. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA