Tudingan itu muncul ditengah upaya pemerintah, salah satuÂnya lewat Lemhanas, melakukan upaya rekonsiliasi terhadap korban tragedi 65, dengan menÂgadakan simposium.
Namun, simposium yang ikut digagas Agus, selaku Ketua Pengarah, menimbulkan kecurigaan-kecurigaan. Sejumlah pihak menÂduga simposium yang dilaksanaÂkan pada pertengahan April lalu itu adalah pertanda kebangkitan PKI. Tak ayal, wacana simposium tandingan pun bermunculan yang kabarnya didukung oleh sejumlah purnawirawan TNI.
Tak hanya terkait simposium tandingan, di tubuh pemerintah juga kental terasa adanya perbeÂdaan pendapat ihwal pengungkaÂpan tragedi 1965 itu. Khususnya terkait perintah Presiden Joko Widodo untuk mencari kuburan massal. Apa yang sebenarnya terjadi?
Simak wawancara
Rakyat Merdeka dengan Agus Widjojo berikut ini:
Beberapa waktu lalu, tokoh front Pancasila menuding Anda cenderung PKI?Sebetulnya saya... Karena sekarang ini banyak ungkapan-ungkapan yang datang dari luaÂpan emosi dari pada akal sehat. Kalau dari akal sehat saya bisa mempertanyakan kepada dia tunjukkan bukti-buktinya dariÂmana. Sekarang pun, terutama dengan adanya teknologi inforÂmasi, orang bisa melemparkan informasi itu secara tidak berÂtanggung jawab tanpa akuntabilitas, sebetulnya itu fitnah.
Untuk apa mereka melakuÂkan fitnah?Nah kalau mereka mengklaim dirinya anti-PKI, dan dulu PKI melakukan fitnah dan itu yang diperjuangkan untuk diberanÂtas, sekarang banyak sekali komponen-komponen yang daÂhulunya berlawanan dengan PKI memberantas fitnah, mengguÂnakan fitnah itu sebagai senjata mereka. Itu kan ironis.
Pesan Anda?Saya harus katakan juga pada mereka, apapun yang mereka katakan, mereka tidak pernah merasakan bapaknya itu dibunuh oleh PKI. Itu aja saya berikan contoh.
Kajian Lemhanas, paham komunisme mengancam ketÂahanan negara atau tidak?Perasaan mengancam ini kan juga kita ambil dari pengalaman sejarah. Bagaimana mereka berkali-kali muncul dengan pola dan strategi yang sama yang berujung pada usaha perebutan kekuasaan melalui tindakan kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya korban.
Karena itu kita hadapi terus menerus di dalam perjalanan sejarah bangsa, yang menimbulÂkan trauma. Bagaimanapun, rasa takut ada pada kelompok yang berlawanan.
Cara mengantisipasinya?Oleh karena itu diperlukan sikap menahan diri dan memÂbangun rasa saling percaya kepada pihak yang saling berÂlawanan. Meninggalkan dan menanggalkan masa lalu nya, memulai kehidupan yang baru dengan memulihkan harkat dan martabat manusia dalam masyarakat Indonesia baru.
Komunisme itu katanya akan tetap ada selama kemiskiÂnan dan kesenjangan masih ada. Menurut anda?Ya kita perlu melakukan analiÂsis secara cermat terhadapa semua faktor yang berlaku, termasuk konteksnya. Apa yang dulu menyebabkan komunisme dan apa bedanya dengan sekaÂrang.
Walaupun tidak bisa dikataÂkan bahwa kita belum melakuÂkan eksperimentasi demokrasi. Tapi demokrasi yang coba kita praktikkan dulu masih kental dengan kultur tradisional yang paternalistik.
Maksudnya?Karena masyarakat belum mempunyai instrumen untuk mencari solusi terhadap perÂbedaan. Terutama perbedaan politik secara damai. Dan juga sistem politiknya belum dibekali instrumen check and balances dan kontrol yang efektif. Dan ini termakan oleh sikap kita yang cenderung absolut. Hitam putih.
Bagaimana dengan sekaÂrang?Sekarang sudah berbeda, karena sudah demokrasi, check and balances sudah berjalan, kontrol semua sudah berjalan, seperti legislatif, civil society dan lainnya.
Sehingga kalau itu terjadi pada tahun ini, saya rasa tidak terjadi, oleh karena itu kita menÂgadakan refleksi dalam konteks 50 tahun yang lalu. Berbeda dengan Indonesia tahun 2016 ini. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.