Juga kebetulan negara dan bangsa saya memiliki falsafah Pancasila yang di dalamnya terkandung sila-sila kemanusiaan adil dan beradab mau pun kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Peduli Rakyat Miskin
Di samping itu, kebetulan saya berteman dengan mereka yang senantiasa setia mendampingi rakyat miskin di kawasan perkotaan seperti misalnya Sandyawan Sumardi dengan laskar kemanusiaan Ciliwung Merdeka atau Wardah Hafids dengan laskar kemanusiaan Urban Poor Consortium.
Semua kebetulan itu diperparah fakta bahwa usia saya makin bertambah sehingga saya makin cengeng, mudah merasa iba menyaksikan nasib kaum miskin. Terutama kaum miskin di kawasan perkotaan yang tergusur dengan alasan pembangunan kota untuk menjadi lebih baik, tertib, bersih, sehat dan sejahtera.
Maka ketika mendengar berita bahwa kaum miskin di kawasan Kampung Pulo digusur, saya tidak bisa menahan diri untuk langsung datang ke Kampung Pulo demi melihat apa yang bisa saya lakukan untuk membantu mengurangi penderitaan rakyat miskin tergusur.
Saya tidak mengharap pujian namun saya cukup terkejut juga ketika yang saya peroleh ternyata malah hujatan melalui jalur medsos. Hujatan cukup beranekaragam mulai dari kurang kerjaan sampai ke upaya cari muka, cari perhatian, cari popularitas sampai ke tua bangka bau tanah sok mau menjadi pahlawan kesiangan.
Kemudian saya juga ke Mesjid Keramat Luar Batang akibat mendengar berita bahwa ratusan warga Pasar Ikan tergusur mengungsi di sana. Saya membawa sepuluh ribu botol air minum dan jamu Basmingin untuk diserahkan ke para korban penggusuran. Ternyata membantu kaum miskin tergusur di Luar Batang juga harus siap menerima hujatan mulai dari dramatisasi, politisasi, rekayasa sinetron, pencitraan bahkan sampai ke cemooh: keterlaluan.
Sandyawan Sumardi juga dihujat sebagai pelestari kemiskinan, provokator, komunis bahkan koruptor. Romo Frans Magnis Suseno akibat tidak setuju penggusuran secara paksa juga tidak luput dari cemooh. Akibat peduli nasib rakyat tergusur di Luar Batang, AM Fatwa diteror. Lieus Sungkarisma bukan cuma dihujat namun malah diancam pembunuhan terhadap keluarganya.
Yusril Ihza Mahendra dituduh kampanye nyagub. Prof. Mahfud MD akibat peduli nasib masyarakat Bukit Duri terancam tergusur diejek cari panggung meski tidak jelas panggung buat apa.
Pergeseran NilaiTerkesan bahwa di masa kini penggusuran kaum miskin perkotaan memang dianggap sebagai prestasi gilang-gemilang! Akibat euforia penggusuran memang telah terjadi pergeseran nilai kemanusiaan. Kepedulian kepada kaum miskin dianggap tidak benar bahkan semacam aib yang layak dicemooh bahkan dihujat. Keberpihakan kepada kaum miskin yang sebenarnya tersurat dan tersirat di dalam UUD 1945 sebagai tanggung jawab negara malah dianggap sebagai sikap melawan pemerintah.
Revisi perlu dilakukan terhadap sila kemanusiaan, kerakyatan dan keadilan sosial akibat terkesan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan peradaban masa kini yang memang mengutamakan pembangunan apa yang disebut sebagai infrastruktur di atas segala-galanya. Seorang pejabat jenjang jabatan tertinggi di Indonesia masa kini begitu terhanyut dalam euforia pembangunan infrastruktur sempat mengeluarkan pernyataan akan tegas menindak siapa pun yang berani menghambat pembangunan infrastruktur.
Mazhab musyawarah-mufakat dianggap menghambat kecepatan laju pembangunan. Harus diakui bahwa musyawarah-mufakat memang lebih membutuhkan waktu ketimbang pemaksaan penggusuran tanpa musyawarah mufakat. Undang-Undang kepemilikan tanah juga perlu direkayasa sedemikian rupa demi tidak menghambat penggusuran demi pecepatan pembangunan. Tafsir terhadap ajaran agama mengenai kepedulian terhadap kaum miskin juga perlu diperbarui agar lebih selaras dengan irama mars derap langkah pembangunan.
Anjuran Gus Dur untuk mengganti teks lagu Maju Tak Gentar Membela Yang Benar menjadi Maju Tak Gentar Membela Yang Bayar perlu dipertimbangkan untuk diwujudkan. Surat Kontrak Politik Ir. H. Joko Widodo dengan kaum miskin kota Jakarta dianggap tidak sah sebab surat kontrak politik tersebut ditandatangani di masa Jokowi masih belum menjadi gubernur Jakarta sementara kini beliau sudah menjadi Presiden Republik Indonesia.
Undang-Undang Otonomi Daerah juga melindungi kekuasaan Kepala Daerah dari campur tangan dari pihak luar termasuk Presiden sekali pun. Maka surat kontrak politik Ir. H. Joko Widodo secara konstitusional memang tidak perlu dihiraukan.
Pedagang Kaki Lima yang sebenarnya merupakan pilar utama ekonomi negara memang hukumnya wajib untuk harus disapu bersih dari permukaan bumi Nusantara. Persetan mazhab yang disebut sebagai ekonomi kerakyatan. Yang harus dibasmi bukanlah kemiskinan tetapi orang miskin.
Kemanusiaan dan KerakyatanMenyadari keterbatasan kemampuan diri saya sendiri maka saya tidak berani menghanyutkan diri ke dalam arus pergeseran nilai kemanusiaan yang di luar jangkauan daya lahir-batin mau pun nurani diri saya yang terbatas ini.
Di sisa hidup saya ini, lebih baik saya berupaya menghayati semangat kemanusiaan dan kerakyatan almarhum Gus Dur yang diwariskan kepada Ibu Sinta Nuriyah beserta empat puterinya.
Lebih baik saya meneladani semangat kemanusiaan dan kerakyatan Sandyawan Sumardi, Wardah Hafids, Frans Magnis Suseno, Gus Mus, Salim Said, Kwik Kian Gie, Joko Widodo, Sri Edi Swasono, HS Dillon, Romo Benny, Harjono Kartohadiprojo, Idwan Suhardi, Siti Musdah Mulia, JB Kristiadi, Lieus Sungharisma, para pendekar kemanusiaan yang tergabung di Komnas HAM, Ciliwung Merdeka, UPC, Buddha Tzu Chi , Eka Tjipta Foundation, Artha Graha Peduli, Rumah Sakit Siloam dan mereka yang peduli nasib rakyat miskin.
*Penulis pembelajar makna kemanusiaan dan kerakyatan
BERITA TERKAIT: