AM Fatwa mengakui ancaman yang dialamatkan kepadanya melalui pesan singkat terjadi setelah beberapa kali ia mengkritik kebijakan pemerintah DKI Jakarta mengenai penggusuran Luar Batang. Sebab diakuinya, sebelum ia membuat pernyataan terkait penggusuran Luar Batang, tidak pernah ada teror dan ancaman pesan singkat kepadanya.
Bahkan ketika ada benturan kepentingan yang cukup keras di DPD sekalipun, tidak pernah ada ancaman teror seperti itu. Kritik AM Fatwa tersebut di antaranya kekhawatiran penggusuran di Luar Batang akan memunculkan perlawanan yang cukup keras dari masyarakat sekitar.
Bahkan ia mengingatkan bahwa potensi peristiwa Priok akan kembali terulang.
"Memang saya menyadari pernyataan dan kecaman saya terkait rencana pembongkaran rumah warga di Luar Batang cukup keras," kata dia kepada
Republika.co.id, Senin 9 Mei 2016.
Tokoh dari tragedi Tanjung Priok 1984 ini cemas, bila penggusuran di Luar Batang melibatkan personel TNI, mendapatkan perlawanan dari warga. Karena itu, ia telah mengirimkan surat kepada Menteri Pertahanan Ryamizard Ryucudu agar memperhitungkan perlawanan rakyat ketika melibatkan TNI dalam penggusuran nanti.
Ia mengatakan saat ini suasana di Luar Batang masih belum stabil. Ini ia rasakan setelah beberapa kali mengunjungi kawasan tersebut pekan lalu. Terutama setelah kedatangan Sekda DKI Saefullah tempo hari, yang mendapatkan pengusiran dari warga. "Bila pejabat pemerintah provinsi datang tapi mendapatkan penolakan oleh warga sekitar, tentu kondisinya sungguh mengkhawatirkan," kata politikus senior ini.
Saya pribadi bersahabat dengan AM Fatwa maka mengenal beliau sebagai seorang tokoh nasional yang merakyat. Maka saya sangat prihatin atas ancaman teror yang ditimpakan kepada AM Fatwa yang sempat dipenjarakan oleh rezim Orde Baru akibat keberpihakan dirinya kepada rakyat kecil.
AM Fatwa telah menjadi ikon perlawanan dan sikap kritis terhadap rezim otoriter Orde Lama dan Orde Baru. Itulah sebabnya sejak muda ia sudah mengalami teror dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh intel-intel kedua rezim otoriter tersebut, hingga keluar masuk rumah sakit dan penjara.
Terakhir ia dihukum penjara 18 tahun (dijalani efektif 9 tahun lalu dapat amnesti) dari tuntutan seumur hidup, akibat kasus Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 dan khutbah-khutbah politiknya yang kritis terhadap Orde Baru. Jika diakumulasi, ia menghabiskan waktu selama 12 tahun di balik jeruji besi.
Atas segala penyiksaan yang dialami, ia merupakan satu-satunya warga negara yang pernah menuntut Pangkobkamtib di pengadilan. Meski berstatus narapidana bebas bersyarat (1993-1999) dan menjadi staf khusus Menteri Agama Tarmizi Taher dan Quraish Shihab, mantan Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50 itu bersama Amien Rais menggulirkan gerakan reformasi, hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998.
Di awal Mei 2016, tokoh masyarakat Tionghoa, Lieus Sungkharisma juga terpaksa melapor ke kepolisian akibat dirinya juga telah menerima sms ancaman pembunuhan terhadap diri dan keluarganya akibat alasan yang sama dengan AM Fatwa yaitu keberpihakan kepada rakyat kecil tergusur di Luar Batang. Saya merasa sangat prihatin sebab di masa kini ternyata keberpihakan kepada rakyat kecil alih-alih dibenarkan malah memperoleh ancaman teror .
Tampaknya gaya kepemerintahan Orde Baru bangkit kembali di masa Orde Reformasi justru setelah presiden Jokowi mencanangkan gerakan revolusi mental. Sungguh sangat disayangkan bahwa makna revolusi mental ditafsirkan ke arah yang keliru.
*Penulis adalah budayawan pembelajar makna kemanusiaan dan kerakyatan
BERITA TERKAIT: