Ahmad Baidowi, Ketua Yayasan Sukma menyangkal jika dikatakan menyalip tim negosiaÂtor. Dia menjelaskan, pihaknya sudah berada di Filipina dan melakukan serangkaian negosiasi sejak 5 April. Hingga menemui langsung pimpinan penyanÂdera dan tawanannya dengan bermodal Alquran, kopiah Aceh, makanan tradisional dan tawaran beasiswa. Bagaimana ceritanya? Berikut kutipan selengkapnya;
Bagaimana ceritanya Anda bisa terlibat dalam tim pelepasan sandera?Saya sebenarnya sulit mengaÂtakan keterlibatan saya dalam misi kemanusiaan ini.
Jadi Anda tidak merasa berjasa dalam melepaskan 10 sandera WNI?
Sedikit pun saya tak merasa telah berjasa. Karena sejak awal niat saya dan teman-teman hanya berusaha membantu dengan cara dan pendekatan yang saya yakini, yaitu pendidikan dan belajar.
Tapi belakangan, misi kemaÂnusiaan Anda dinilai politis. Karena berafiliasi dengan parpol?Begini, waktu memulai misi kemanusiaan, termasuk saat merancang dan mengelola sekoÂlah bagi anak-anak korban konfÂlik dan korban tsunami di Aceh, saya sangat menjaga jarak dari semua kepentingan politik dan korporasi Media Group. Saya tak pernah tercatat sebagai peÂgawai Media Group dalam konÂteks kelembagaan, juga tidak pernah tercatat sebagai anggota Partai Nasdem.
Jadi buat apa Anda ikut serta?Saya hanya membantu mereÂalisasikan gagasan dan ide besar Bapak Surya Paloh tentang masa depan Aceh melalui pendidikan, dan saya terlibat dalam hubunÂgan emosional kekerabatan denÂgan Bapak Surya Paloh, Rerie L Moerdijat, dan Lisa Luhur, serta teman-teman Media Group lainnya.
Bagaimana respons Anda ketika diminta Surya Paloh untuk masuk dalam tim ini?Saya hanya menjawab, "Siap, dan Insya Allah dengan niat ikhlas demi kemanusiaan dan tak akan dipublikasi". Itu saya jawab ketika Bapak Surya Paloh meÂnelepon saya untuk mendampÂingi Mayjen Supiadin berangkat ke Filipina.
Sebenarnya apa tawaran tim Anda waktu itu, hingga mereka tertaik bernegosiasi?Salah satu alat yang kami jual sebagai 'ransom' ialah meÂnawarkan jasa beasiswa anak-anak mereka untuk bersekolah di Sekolah Sukma Bangsa di Aceh. Pendekatan ini sangat efektif karena mereka kita ajak untuk melihat masa depan anak-anak mereka, bukan keinginan kita saat ini. Nilai tawar ini juga mereka anggap sebagai sesuatu yang baru dan masuk di hati dan akal pikiran mereka.
Siapa saja yang Anda temui sejak hari pertama di sana?Salah satunya, tanggal 5 April 2016, kami bertemu dengan Prof Dr Aboud Sayid Lingga, dan mendengarkan beberapa pendaÂpat dan nasihatnya, sebagai orang penting dalam kelompok penasihat
Mindanao Islamic Liberation Front (MILF) yang terus melakukan perundinÂgan damai dengan pemerintah Filipina.
Dari Prof Lingga kami memÂperoleh cukup data untuk mulai menghubungi beberapa
contact yang ada di Mindanao.
Selain itu?Hari kedua kami di Cotabato, pada 6 April 2016, jam 11 paÂgi kami bertemu dengan Dr Shuaib Maulana dan Department of Education ARMM untuk diskusi awal tentang kondisi sandera di Sulu. Menurut Dr Shuaib Maulana, sebaiknya kita bertemu dengan Executive Secretary ARMM karena menuÂrutnya kantor ARMM memiliki
backdoor team yang bisa diminÂtakan bantuan untuk melakukan negosiasi dengan para penyanÂdera. Dr Shuaib Maulana adalah orang yang pernah mengunÂjungi Sekolah Sukma Bangsa di Aceh pada 2012. Kemudian di hari yang sama, 6 April pukul 04.30, kami diterima Executive Secretary ARMM, Attorney Laisa Masuhud Alamia, di ruang kerjanya dan berdiskusi sekitar 1 jam.
Sebagai anak asli Sulu dan mengetahui persis kondisi buÂdaya dan psikologis masyarakat Sulu, menurut pengakuannya sangat sulit menggunakan backÂdoor team ARMM karena saat ini sedang ramai kampanye menÂjelang pemilu di Filipina. Karena itu, menurutnya, pendekatan
government to government adalah cara dan skenario yang terbaik untuk mengatasi masalah sandÂera Indonesia.
Cuma itu saja?Kami juga dipertemukan denÂgan Dr Muhammad Ya'qob, Director BDA di hari ke tiÂga. Hasil diskusi awal dengan Muhammad Ya'qob, dia menÂyarankan untuk bertemu dengan Regional Director dari Basilan, Sulu, dan Tawi-Tawi yang keÂbetulan sedang rapat koordinasi di Cotabato. Pukul 19.30, kami dipertemukan dengan Regional Director dari BDA, Muhammad alQadri (Sulu), Mustafa (Tawi-Tawi), dan Osman Tanabar (Basilan).
Diskusi berlangsung selama kurang lebih 3 jam. Kami memÂperoleh banyak informasi tenÂtang bagaimana situasi di Sulu. Perseteruan antara MILF dan MNLF jelas sekali mewarnai tarik-menarik tentang posisi para sandera. Setelah itu, kami mengambil kesimpulan, sulit untuk menggunakan MILF daÂlam proses negosiasi ini karena mayoritas Sulu adalah MNLF.
Lalu langkah apa yang diÂambil?Kami bertemu dengan kerabat lainnya dari dua NGO yang pada proses selanjutnya menjadi bagian dari Tim Kemanusiaan Surya Paloh. Mereka ialah anak-anak muda yang bergerak di bidang advokasi nirkekerasan dan pemberdayaan masyarakat. Dari mereka kemudian kami bisa masuk jaringan MNLF setelah diperkenalkan melalui telepon dengan seorang warga Sulu yang juga pernah ditawan Abu Sayyaf Group selama 4 bulan. Teman Dalam (TD) ini mengetahui secara persis peta kelompok pecahan yang menyandera warga Indonesia. Informasi pertama ialah dari kelompok Al-Habsyi. Besoknya, kami memperoleh konfirmasi dari TD bahwa pimpinan mereka bertanya tentang siapa kami. Kemudian kami sebut kami bekerja atas nama kemanusiaan yang diinisiasi oleh Bapak Surya Paloh. Konfirmasi ini menjadi penting agar TD bisa mengontak penghubung di lapangan tentang kemungkinan negosiasi dengan kami.
Lalu pada 10 April, kami sepakat untuk bertemu dengan TD dan timnya di Manila, termasuk BHU (kerabat dari petÂinggi MNLF), NRH (kombatan MNLF), juga dengan RQ dan DR. Kami bersepakat untuk membentuk tiga tim yang dipÂimpin oleh RQ, TD, dan NRH. Ketiga tim ini kemudian memÂbuat peta negosiasi dengan cara kekerabatan di tiga titik, yaitu Sulu, Zamboanga, dan Manila. Dalam temuan awal ketiga tim ini, soal dana tebusan (ransom) yang dirilis media berjumlah 50 juta peso, menurut mereka masih diragukan kebenarannya.
Maksudnya?Soal angka yang diminta bisa jadi akan lebih kecil dari itu karena sampai saat ini belum ada yang bisa membuktikan di mana keberadaan para sandera. Ketiga tim kemudian bergerak ke lapanÂgan pada Selasa, 12 April, dan berjanji akan memberikan
proof of life pada Sabtu. Jika seluruh proses berjalan dengan lancar, proses negosiasi akan berlangÂsung pada Sabtu.
Dan kemudian terjadi?Kontak pertama terjadi pada Sabtu, 16 April, pukul 04.56, tetapi dalam bahasa Tagalog,
middle man dari al-Habsy. Dia mengatakan apakah kita seÂrius atau hanya ingin sekadar mendengar suara para sandera tanpa ada kelanjutan. ‘Middle man of al-Habsy’ menginginkan jatah bagi dirinya sendiri untuk prosesnegosiasi ini, tetapi belum membuka berapa keinginannya karena mereka harus berpindah-pindah lagi.
Kabarnya Anda juga berkoÂmunikasi langsung dengan Al-Habsyi?Iya, itu pukul 08.04 waktu setempat, Sabtu, 16 April 2016, saya mendapat telepon pertama kali dan berbicara dengan Al-Habsy, kemudian tanpa saya sadari Al-Habsy memberikan telepon tersebut kepada Julian Philip, salah seorang sandera asal Minahasa sebagai
first ofÂficer tugboat mereka. Dalam rekaman selama kurang lebih 4.28 menit, diketahui bahwa Julian Philip mengatakan uang tebusan sebesar 50 juta harus sudah diterima Senin, 18 April, sebab jika tidak, mereka akan mengeksekusi 1 dari 10 sanÂdera. Menurut Julian, angka 50 juta peso merupakan angka final karena sebelumnya mereka meminta 150 juta peso, ditawar hingga 100 juta, hingga akhÂirnya permintaan menjadi 50 juta peso.
Apa itu dipenuhi?Saya menjadi orang yang beruntung karena bisa masuk ke kamp mereka berbekal Alquran sebanyak 40 kg, kopiah Aceh, keripik tempe, peyek, dan bakÂpia pathuk.
Hidangan ini kami santap berÂsama pada Minggu, 1 Mei 2016. Saya menggunakan kapal laut dari Zamboanga menuju Sulu.
Alhamdulillah, setelah berundÂing selama kurang lebih 5 jam di hari itu, tepat pukul 12.19, tanpa uang tebusan, saya bertemu dan menyalami semua sandera di daerah Parang, Sulu. ***
BERITA TERKAIT: