WAWANCARA

Ahmad Baidowi: Saya Masuk Ke Kamp Abu Sayyaf Berbekal Alquran, Kopiah, Keripik Tempe & Peyek

Selasa, 10 Mei 2016, 09:21 WIB
Ahmad Baidowi: Saya Masuk Ke Kamp Abu Sayyaf Berbekal Alquran, Kopiah, Keripik Tempe & Peyek
Ahmad Baidowi:net
rmol news logo Pria inilah yang diminta bos Media Group Surya Paloh terjun saat operasi pembebasan 10 sandera WNIyang disandera Abu Sayyaf di Filipina.

Ahmad Baidowi, Ketua Yayasan Sukma menyangkal jika dikatakan menyalip tim negosia­tor. Dia menjelaskan, pihaknya sudah berada di Filipina dan melakukan serangkaian negosiasi sejak 5 April. Hingga menemui langsung pimpinan penyan­dera dan tawanannya dengan bermodal Alquran, kopiah Aceh, makanan tradisional dan tawaran beasiswa. Bagaimana ceritanya? Berikut kutipan selengkapnya;

Bagaimana ceritanya Anda bisa terlibat dalam tim pelepasan sandera?
Saya sebenarnya sulit menga­takan keterlibatan saya dalam misi kemanusiaan ini.

Jadi Anda tidak merasa berjasa dalam melepaskan 10 sandera WNI?
Sedikit pun saya tak merasa telah berjasa. Karena sejak awal niat saya dan teman-teman hanya berusaha membantu dengan cara dan pendekatan yang saya yakini, yaitu pendidikan dan belajar.

Tapi belakangan, misi kema­nusiaan Anda dinilai politis. Karena berafiliasi dengan parpol?
Begini, waktu memulai misi kemanusiaan, termasuk saat merancang dan mengelola seko­lah bagi anak-anak korban konf­lik dan korban tsunami di Aceh, saya sangat menjaga jarak dari semua kepentingan politik dan korporasi Media Group. Saya tak pernah tercatat sebagai pe­gawai Media Group dalam kon­teks kelembagaan, juga tidak pernah tercatat sebagai anggota Partai Nasdem.

Jadi buat apa Anda ikut serta?
Saya hanya membantu mere­alisasikan gagasan dan ide besar Bapak Surya Paloh tentang masa depan Aceh melalui pendidikan, dan saya terlibat dalam hubun­gan emosional kekerabatan den­gan Bapak Surya Paloh, Rerie L Moerdijat, dan Lisa Luhur, serta teman-teman Media Group lainnya.

Bagaimana respons Anda ketika diminta Surya Paloh untuk masuk dalam tim ini?

Saya hanya menjawab, "Siap, dan Insya Allah dengan niat ikhlas demi kemanusiaan dan tak akan dipublikasi". Itu saya jawab ketika Bapak Surya Paloh me­nelepon saya untuk mendamp­ingi Mayjen Supiadin berangkat ke Filipina.

Sebenarnya apa tawaran tim Anda waktu itu, hingga mereka tertaik bernegosiasi?
Salah satu alat yang kami jual sebagai 'ransom' ialah me­nawarkan jasa beasiswa anak-anak mereka untuk bersekolah di Sekolah Sukma Bangsa di Aceh. Pendekatan ini sangat efektif karena mereka kita ajak untuk melihat masa depan anak-anak mereka, bukan keinginan kita saat ini. Nilai tawar ini juga mereka anggap sebagai sesuatu yang baru dan masuk di hati dan akal pikiran mereka.

Siapa saja yang Anda temui sejak hari pertama di sana?
Salah satunya, tanggal 5 April 2016, kami bertemu dengan Prof Dr Aboud Sayid Lingga, dan mendengarkan beberapa penda­pat dan nasihatnya, sebagai orang penting dalam kelompok penasihat Mindanao Islamic Liberation Front (MILF) yang terus melakukan perundin­gan damai dengan pemerintah Filipina.

Dari Prof Lingga kami mem­peroleh cukup data untuk mulai menghubungi beberapa contact yang ada di Mindanao.

Selain itu?
Hari kedua kami di Cotabato, pada 6 April 2016, jam 11 pa­gi kami bertemu dengan Dr Shuaib Maulana dan Department of Education ARMM untuk diskusi awal tentang kondisi sandera di Sulu. Menurut Dr Shuaib Maulana, sebaiknya kita bertemu dengan Executive Secretary ARMM karena menu­rutnya kantor ARMM memiliki backdoor team yang bisa dimin­takan bantuan untuk melakukan negosiasi dengan para penyan­dera. Dr Shuaib Maulana adalah orang yang pernah mengun­jungi Sekolah Sukma Bangsa di Aceh pada 2012. Kemudian di hari yang sama, 6 April pukul 04.30, kami diterima Executive Secretary ARMM, Attorney Laisa Masuhud Alamia, di ruang kerjanya dan berdiskusi sekitar 1 jam.

Sebagai anak asli Sulu dan mengetahui persis kondisi bu­daya dan psikologis masyarakat Sulu, menurut pengakuannya sangat sulit menggunakan back­door team ARMM karena saat ini sedang ramai kampanye men­jelang pemilu di Filipina. Karena itu, menurutnya, pendekatan government to government adalah cara dan skenario yang terbaik untuk mengatasi masalah sand­era Indonesia.

Cuma itu saja?
Kami juga dipertemukan den­gan Dr Muhammad Ya'qob, Director BDA di hari ke ti­ga. Hasil diskusi awal dengan Muhammad Ya'qob, dia men­yarankan untuk bertemu dengan Regional Director dari Basilan, Sulu, dan Tawi-Tawi yang ke­betulan sedang rapat koordinasi di Cotabato. Pukul 19.30, kami dipertemukan dengan Regional Director dari BDA, Muhammad alQadri (Sulu), Mustafa (Tawi-Tawi), dan Osman Tanabar (Basilan).

Diskusi berlangsung selama kurang lebih 3 jam. Kami mem­peroleh banyak informasi ten­tang bagaimana situasi di Sulu. Perseteruan antara MILF dan MNLF jelas sekali mewarnai tarik-menarik tentang posisi para sandera. Setelah itu, kami mengambil kesimpulan, sulit untuk menggunakan MILF da­lam proses negosiasi ini karena mayoritas Sulu adalah MNLF.

Lalu langkah apa yang di­ambil?
Kami bertemu dengan kerabat lainnya dari dua NGO yang pada proses selanjutnya menjadi bagian dari Tim Kemanusiaan Surya Paloh. Mereka ialah anak-anak muda yang bergerak di bidang advokasi nirkekerasan dan pemberdayaan masyarakat. Dari mereka kemudian kami bisa masuk jaringan MNLF setelah diperkenalkan melalui telepon dengan seorang warga Sulu yang juga pernah ditawan Abu Sayyaf Group selama 4 bulan. Teman Dalam (TD) ini mengetahui secara persis peta kelompok pecahan yang menyandera warga Indonesia. Informasi pertama ialah dari kelompok Al-Habsyi. Besoknya, kami memperoleh konfirmasi dari TD bahwa pimpinan mereka bertanya tentang siapa kami. Kemudian kami sebut kami bekerja atas nama kemanusiaan yang diinisiasi oleh Bapak Surya Paloh. Konfirmasi ini menjadi penting agar TD bisa mengontak penghubung di lapangan tentang kemungkinan negosiasi dengan kami.

Lalu pada 10 April, kami sepakat untuk bertemu dengan TD dan timnya di Manila, termasuk BHU (kerabat dari pet­inggi MNLF), NRH (kombatan MNLF), juga dengan RQ dan DR. Kami bersepakat untuk membentuk tiga tim yang dip­impin oleh RQ, TD, dan NRH. Ketiga tim ini kemudian mem­buat peta negosiasi dengan cara kekerabatan di tiga titik, yaitu Sulu, Zamboanga, dan Manila. Dalam temuan awal ketiga tim ini, soal dana tebusan (ransom) yang dirilis media berjumlah 50 juta peso, menurut mereka masih diragukan kebenarannya.

Maksudnya?
Soal angka yang diminta bisa jadi akan lebih kecil dari itu karena sampai saat ini belum ada yang bisa membuktikan di mana keberadaan para sandera. Ketiga tim kemudian bergerak ke lapan­gan pada Selasa, 12 April, dan berjanji akan memberikan proof of life pada Sabtu. Jika seluruh proses berjalan dengan lancar, proses negosiasi akan berlang­sung pada Sabtu.

Dan kemudian terjadi?
Kontak pertama terjadi pada Sabtu, 16 April, pukul 04.56, tetapi dalam bahasa Tagalog, middle man dari al-Habsy. Dia mengatakan apakah kita se­rius atau hanya ingin sekadar mendengar suara para sandera tanpa ada kelanjutan. ‘Middle man of al-Habsy’ menginginkan jatah bagi dirinya sendiri untuk prosesnegosiasi ini, tetapi belum membuka berapa keinginannya karena mereka harus berpindah-pindah lagi.

Kabarnya Anda juga berko­munikasi langsung dengan Al-Habsyi?
Iya, itu pukul 08.04 waktu setempat, Sabtu, 16 April 2016, saya mendapat telepon pertama kali dan berbicara dengan Al-Habsy, kemudian tanpa saya sadari Al-Habsy memberikan telepon tersebut kepada Julian Philip, salah seorang sandera asal Minahasa sebagai first of­ficer tugboat mereka. Dalam rekaman selama kurang lebih 4.28 menit, diketahui bahwa Julian Philip mengatakan uang tebusan sebesar 50 juta harus sudah diterima Senin, 18 April, sebab jika tidak, mereka akan mengeksekusi 1 dari 10 san­dera. Menurut Julian, angka 50 juta peso merupakan angka final karena sebelumnya mereka meminta 150 juta peso, ditawar hingga 100 juta, hingga akh­irnya permintaan menjadi 50 juta peso.

Apa itu dipenuhi?
Saya menjadi orang yang beruntung karena bisa masuk ke kamp mereka berbekal Alquran sebanyak 40 kg, kopiah Aceh, keripik tempe, peyek, dan bak­pia pathuk.

Hidangan ini kami santap ber­sama pada Minggu, 1 Mei 2016. Saya menggunakan kapal laut dari Zamboanga menuju Sulu. Alhamdulillah, setelah berund­ing selama kurang lebih 5 jam di hari itu, tepat pukul 12.19, tanpa uang tebusan, saya bertemu dan menyalami semua sandera di daerah Parang, Sulu.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA