Solusi terkait dua masalah mendasar di Jakarta itu, didapatÂnya ketika melakukan studi dan kunjungan langsung ke beberapa negara.
Baginya, sejumlah solusi yang digagasnya untuk Jakarta bukan sekadar pemanis kampanye. Dia siap mundur jika dalam hitungan tiga bulan, gagal merealisasikan janjinya itu.
Apa gagasannya? Berikut wawancara lengkap dengan
Rakyat Merdeka;
Soal macet apa solusi dari Anda?Harus ada sinergitas antara instansi terkait.
Memangnya selama ini tidak ada sinergitas?Sekarang sudah ada sinergitas, tapi kalau saya masuk sebagai wakil gubernur, koordinasinya kan lebih gampang, lebih muÂdah. Dan apa yang saya lihat, misalnya marka jalan, median jalan, lajur dan lainnya itu kan saya belajar selama 32 tahun. Otodidak maupun sekolah.
Konkretnya, apa teroboÂsan logis untuk mengurangi kemacetan?Misalnya kita bikin (jalur) kawasan wisata dari Harmoni sampai Ancol. Kawasan (Ancol) itu nggak perlu pagar, kuno. Kita bikin namanya kawasan saja yang sudah dibikin Perda. Jadi jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk itu clean banget, bersih. Nah untuk mencapai kawasan itu pakai kereta gantung sampai ke Ancol.
Maksudnya?Ini selain untuk pariwisata, sekalian untuk alat transportasi. Kalau macet pakai itu (kereta gantung) saja. Mana lebih heÂbat daripada busway, mana lebih murah dari pada busway. Kereta gantung modalnya tiang, sama mesin putar. Kemudian masyarakat diberdayakan.
Bagaimana dengan banjir?Ketika saya sekolah di Rotterdam, kita harus melihat banjir itu apa penyebabnya. Ya penyebabÂnya kan hujan. Yang kedua, daerah resapannya kurang dan daÂtarannya rendah. Nah di Belanda itu datarannya lebih rendah dari laut, tapi kok tidak banjir.
Solusinya?Kuncinya saya lihat adalah bikin yang namanya penamÂpungan-penampungan. Pernah lihat speedboat yang bahannya bukan dari karet, tapi seperti terpal. Itu ada yang panjangnya 50x100 meter dalamnya kurang kebih satu meter. Itu kan airnya misalnya dari Bogor itu, ketika dia mulai masuk ke Jakarta atau kita kerja sama dengan Bogor, airnya kita naikin ke ban-ban itu. Tapi kita tidak pakai beton-beton karena menghabiskan uang yang begitu banyak. Itu saya sudah liÂhat di Belanda, kayak speedboat besar gitu.
Memang cocok untuk diterapkan di Indonesia, khususÂnya Jakarta?Kalau nggak salah di Kendal pernah dibuat begitu, waktu saya di Semarang. Nanti di bantaran-bantaran sungai yang ada lahan tidur, jadi air itu kita taruh di atas, bukan taruh di bawah. Jadi air itu kita masukkan ke penamÂpungan itu yang 50x100 meter, tinggal tiup saja, pompa, kita sedot airnya pas hujan. Kalau kita bikin dam, bentengnya itu kan dari semen, campurannya mungkin 1:12, belum apa-apa rontok.
Penampungan dari ban-ban itu apa tidak bocor?Ban-ban itu kalau ditusuk ngÂgak tembus, kuat. (Bahannya) seperti pipa pemadam kebaÂkaran. Penampungan itu nggak ditaruh di dataran rendah, misÂalnya kita taruh di Kampung Pulo. Itu kita taruh di bantaran atas. Nah air yang sampai di sana (dataran rendah) tidak banyak, tinggal air kecil saja. Hujan lebat tidak apa-apa.
Bagaimana dengan ketertiban kota?Kalau saya nanti di kawasan tertib hukum, orang buang punÂtung rokok pun kita awasi pakai drone, selain CCTV. Pos Polisi tidak perlu lagi di luar, nempel saja di mall. Di Prancis di mall kok. Saya lihat di situ nggak ada tuh pos Polisi di pinggir jalan. Karena kalau kita taruh di luar, dia berpisah dengan masyarakat. Misalnya di FX atau Ratu Plaza, jadi dia (polisi) menyatu dengan masyarakat.
Seringkali wacana hanya tinggal wacana. Ketika terpilih janji sering tidak terealisasi. Apa jaminan Anda?Kalau dalam dua, tiga bulan saya tidak bisa menjalankan ini, saya siap mundur kok.
Masak sih?Iya, saya orangnya hobi munÂdur. Pernah jadi dokter, saya mundur kok. Jadi Pastur, saya juga mundur kok, dari Katholik saya masuk Muslim, mundur dari Katholik. Saya muallaf di Bali. Sekarang begini, saya masuk Muslim dapat hidayah itu kan risiko. Dari polisi saya mundur masuk calon Wakil Gubernur. Kalau ada keputusan yang lebih baik, saya ambil keputusan yang lebih baik. ***
BERITA TERKAIT: