Konflik Agraria, Rakyat Tidak Pernah Menang

Ribuan Petani Minta Dua Kawannya Dibebaskan

Rabu, 27 April 2016, 09:28 WIB
Konflik Agraria, Rakyat Tidak Pernah Menang
foto:net
rmol news logo Sekitar seribuan massa petani yang tergabung dalam Serikat Tani Teluk Jambe Bersatu (STTB) mendatangi kantor Kepolisian Resort Karawang. Mereka menuntut dibebas­kannya dua rekannya yang dikriminalisasi oleh aparat karena menuntut pengembalian lahan petani.

Ketua Dewan Pengurus Serikat Tani Teluk Jambe Bersatu (STTB) Maman Nuryaman menyampaikan, ditangkapnya dua orang petani adalah bentuk kriminalisasi terhadap mereka yang memperjuangkan hak dan tanahnya yang dirampas pengu­saha hitam.

"Penangkapan petani adalah bentuk kriminalisasi korban konf­lik agraria. Bukti ketidakmampuan negara menjalankan amanat kon­stitusi untuk menjaga keamanan dan memberikan kesejahteraan kepada rakyat," ujarnya.

Kedatangan massa petani, lan­jut Maman, untuk mendampingi dua petani yang diproses oleh aparat Kepolisian dan ditahan tanpa melakukan kesalahan. Dia mengatakan, kedua petani yang merupakan petani anggota STTB ditangkap anggota Polres Karawang dengan tuduhan yang dibuat-buat.

"Disinyalir, mereka ditangkap atas desakan pihak-pihak yang gagal melakukan penggusuran. Selain itu, beberapa pimpinan STTB juga dipanggil Polres Karawang sebagai saksi proses seperti memaksa, yang terindikasi dengan waktu yang mepet dan surat pang­gilan yang tidak memenuhi syarat administrasi," ungkapnya.

Maman menjelaskan, sudah puluhan tahun ribuan rakyat yang menguasai dan tinggal serta bercocok tanam di atas tanah yang sekarang diincar oleh banyak mafia tanah itu tidak mendapat perhatian pemerintah, kini malah dikriminalisasi.

"Contoh, puluhan tahun kami tidak menikmati listrik. Sebagai salah satu indikator pembangunan dan kesejahteraan rakyat, penyedi­aan listrik menjadi tanggung jawab negara. Namun rakyat miskin yang sekarang menjadi korban konflik agraria di Karawang malah didiskriminasi oleh PLN sebagai penyelenggara distribusi listrik," paparnya.

Perlu diketahui, lanjut Maman, di kawasan industri dan pemaka­man elite yang luasnya ratusan hektare di sekitar wilayah ting­gal para petani, terang benderang oleh penerangan listrik. Sedangkan perkampungan petani yang meliputi 10 desa, malah dibiarkan gelap gulita.

"Meski sudah sering menga­jukan permohonan pemasangan listrik ke PLN. Dengan alasan lahan sengketa, PLN tidak mau memasang listrik. Padahal, PLN tidak mengetahui secara jelas ben­tuk konflik agrarianya dan lokasinya yang mana," ungkapnya.

Akibatnya, terjadi generalisasi isu dan diskriminasi terhadap petani. "Petani selalu men­jadi sasaran dampak buruk ulah pihak-pihak yang menginginkan rakyat meninggalkan tanah tem­pat tinggalnya. Tentu, itu upaya agar lahan kami bisa diambil alih tanpa hambatan," ujar Maman.

Di tempat yang sama, anggota Dewan Penasehat Serikat tani Teluk Jambe Bersatu (STTB) Yoris Sindhu Sunarjan me­nyampaikan, aksi kali ini dii­kuti sekitar 1.000-an orang petani. Rencananya, lanjut Yoris, Kamis (28/4) para petani juga akan meng­gelar aksi di kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

"Untuk menuntut Menteri Agraria dan Tata Ruang menyelesaikan konflik agraria ini," tegasnya.

Dia juga menceritakan, hingga setengah tahun lalu, rakyat yang tergabung dalam STTB secara massal meminta dan mendesak pemasangan listrik di kampung petani. Namun, PLN menya­takan mau memasang dengan syarat yang berat.

"Rakyat harus menyediakan sendiri instalasinya dan akan diambil dari titik yang jauh dari kampung. Tentu saja rakyat mem­bayar mahal untuk menikmati listrik. Namun dengan bergotong royong, hal tersebut akhirnya da­pat terpenuhi," kisah Yoris.

Meski demikian, lanjutnya lagi, gangguan seperti sabotase pemutusan listrik dan pem­bakaran instalasi listrik yang dipasang oleh rakyat sering terjadi. "Dilakukan oleh orang tak dikenal. Namun atas desakan pihak-pihak yang hendak men­gusir rakyat dari tanahnya, PLN memutus sementara aliran listrik ke masyarakat beberapa waktu yang lalu tanpa koordinasi," ungkap dia.

Akibatnya, ujar Yoris lagi, pada malam hari anak-anak sekolah yang sedang belajar tak dapat melanjutkan kegiatannya. Karena memiliki pengalaman sering mengalami sabotase dari pihak lain, masyarakat pun beri­nisiatif memperbaiki sendiri. Itu pun, ketika sedang melakukan perbaikan, tiba-tiba ditangkap oleh polisi. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA