Kementerian Sosial (Kemensos) mencatat ada 4,1 juta anak Indonesia yang terlanÂtar dan 35.000 anak yang diekÂsploitasi saat ini. Hal itu, menuÂrut Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa terjadi bukan semata-mata karena deÂsakan ekonomi, tapi lantaran longgarnya kekerabatan di daÂlam keluarga. Simak pemaparan Menteri Khofifah kepada
Rakyat Merdeka terkait hal tersebut:
Banyak kalangan mengataÂkan anak yang menjadi korban eksplotasi kebanyakan muncul lantaran desakan ekonomi? Nggak juga. Buktinya si W (korban eksploitasi anak yang dijumpai Menteri Khofifah di safe house Kemensos) itu biÂlang, sehari dia itu bisa dapat Rp 130.000, sebulan berapa, ini melebihi UMK (Upah Minimum Kota), jadi nggak miskin kan. Jadi sebenarnya yang miskin adalah rohaninya, yang miskin adalah spiritualnya, mentalnya. Jadi yang Pak Jokowi bilang, pembangunan mental, pembanÂgunan karakter masih menjadi PR besar bagi kita.
Lalu apa yang harus diÂlakukan?Nah pada posisi ini ayo kita komunikasikan dari hati-ke hati. Kalau memang ini eligible untuk bisa terima program perlindunÂgan sosial, daftarkan. Supaya dia terima PKH (Program Keluarga Harapan), anak-anak bisa dapat gizi yang baik, kalau dapat PKH, dia dapat Rp 1,2 juta setahun, empat kali cair. Kalau anaknya sekolah, kasih KIP (Kartu Indonesia Pintar), kalau SD Rp 450 ribu, SMP Rp 750 ribu, SMA Rp 1 juta. Kalau PKH dia dapat juga, jadi double benefit. Jadi seluruh elemen masyarakat sudah harus proaktif.
Sebenarnya, apa pelajaran penting yang bisa ditarik dari persoalan ini?Tanggung jawab orang tua. Jarang sekali orang yang menÂgaitkan dengan tanggung jawab orang tua.
Lantas di mana porsi tangÂgung jawab pemerintah?Juga sebagai sesuatu yang wajar, sebagai bagian dari tangÂgung jawab pemerintah. Tetapi tanggung jawab utama, dan kewajiban utama memelihara, melindungi, mengasuh adalah orang tua dan keluarga. Nah sekarang ini semacam ada degraÂdasi tanggung jawab, termasuk melonggarnya kekerabatan.
Sedih lho aku lihat ketika kasus Marshanda (dengan ayahÂnya). Sebelum saya melihat dan mendengar sendiri awalnya saya nggak percaya, masak sih seperti itu. Tapi ternyata betul. Kebayang nggak (sulitnya kumÂpul keluarga), beragama Islam, ya paling tidak tiap lebaran ngumpul. Kalau nggak ngumpul kan pasti dicari itu.
Kalau yang beragama Kristen pada saat Natal, kalau nggak ada kan dicari. Begitu juga tahun baru. Ini nggak ada, kok nggak dicari. Ada kelonggaran di daÂlam membangun kekerabatan. Karena bagi saya, Indonesia itu tetap menganut
extended family. Ini lho sepupu ku, pamanku, keponakanku, itu kan masih gitu. Jadi, betapa kita harus melakuÂkan revitalisasi terhadap banguÂnan kekerabatan kita. Kalau saya sih melihat, nggak bisa bicara ketahanan nasional bagaimana tanpa dilihat bagaimana banguÂnan ketahanan keluarga.
Berarti dalam hal ini peÂmerintah kudu secepatnya mengambil tindakan...Dari tahun 2000 saya sudah ngomong, ayo
family resilience. Itu PBB saja punya Family Foundation, betapa bahwa PBB juga melihat penting lho kita ini melihat rumpun keluarga.
Pada posisi seperti itulah, kenapa sebetulnya ada perkawÂinan, supaya jelas ini mertua, ini bapakku, ini sepupuku, ini sauÂdaraku, itu lah kemudian menÂjadikan kita berkerabat-kerabat. Sekarang, berkerabat-kerabat lalu apa artinya, ya ada tanggung jawab. Oh ini lho, ada omku, ponakanku, dia butuh
support apa, rumahnya bocor kita mesti apa, oh ya kita punya uang, kita urunan. Kekerabatan seperti itu yang sekarang rupanya mengaÂlami kelonggaran.
Jadi Anda termasuk yang kaget melihat ayahnya Marshanda?Apa yang terjadi pada kasus Marshanda, pertama saya juga pasti kaget, kedua Marshanda tetap mau mengakui bahwa itu bapaknya, itu baik. Tapi yang keÂtiga, ayo bangun gitu lho. Negeri ini menghadapi sesuatu yang menurut saya agak mengagetkan bahwa ada kelonggaran di dalam kekerabatan kita.
Kenapa kelonggaran dalam kekerabatan ini bisa terjadi?Saya tidak bisa terlalu memaÂhami, kenapa terjadi kelonggaÂran seperti itu, karena bagi saya kita ini tetap menganut
extended family. Ketika ada kelonggaran kekerabatan maka akan ada peÂlonggaran tanggung jawab. Tadi malam ada lagi tu bayi tiga bulan yang dikirim ke
safe house-nya Kemsos.
Itu dijual oleh ibunya. Tadi siang, ibunya sudah tertangkap. Jadi si bayi dijual oleh Ibunya Rp 40 juta. Dari Rp 40 juta, ibunya hanya dapat Rp 13 juta, yang Rp 27 juta itu diambil penjualnya. Nah lepas dari itu semua, kayak apa sebetulnya si Ibu ini melihat anaknya.
Sama halnya yang tadi saya liÂhat anak-anak di Panti Bina Insan, panti Dinsos DKI. Itu anak-anak yang itu, karena sebagian besar mereka justru dikirim dari rumah sakit. Kata mereka, RSCM paling telat dua minggu sekali, karena rata-rata setiap minggu itu pasti ada anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya.
Nah orang tua-orang tua yang meninggalkan anak mungkin ada yang terpaksa, mungkin juga karena putus asa dengan masa depannya. Atau malu pada keluÂarganya. Nah pada posisi seperti inilah membangun tata nilai yang mestinya kita sudah punya patokan, ini lho tata nilai yang memang secara umum itu ya seperti ini, orang kalau nikah ya antara laki-laki dengan peremÂpuan, ya diupacarakan, jangan nikah siri gitu, orang kalau hamil ya diadministrasikan. Nah pola-pola seperti ini kan regulasinya terang. Kan anak-anak nggak mikir itu, sekarang bagaimana peran orang tua dan melibatkan diri menjadi bagian dari dinaÂmika kehidupan anaknya.
Mungkinkah itu karena kurangnya pengetahuan bagaimana menjadi orangtua?Jadi Sayyidina Ali (Ali Bin Abi Thalib) itu bilang, kalau anak usia Paud sampai tujuh tahun, ajak dia sambil bermain dikenalkan Tuhannya, dikenalÂkan dunia, alam gitu. Tapi kalau tujuh sampai 10 tahun ajari dia sopan santun, kehidupan yang beradab.
Di atas 10 tahun anak ini sudah pandai berdebat. Kata Sayidina Ali, anak ini tolong diikuti, didengar, nah sekarang kadang orang tua bilang kamu tahu apa, anak kencur misalnya kan. Jangan pernah menganggap kehidupan anak-anak
second class society. Jadi mereka juga perlu didenÂgarkan apa pendapatnya, mauÂnya, supaya mereka punya teÂman berbagi informasi. Kalau ndak, dia mencari informasi ya dari gadget. Kalau sudah begitu, yang mengasuh anak-anak ini ya gadget, bukan orang tuanya. Yang diajak bercurhat ya gadget. Nah disitu, terjadilah eksploitasi seksual, eksploitasi ekonomi. Artinya menjadi orang tua sekaÂrang jauh lebih berat daripada tahun 2000-an.
Untuk menumbuhkan keÂsadaran orangtua, apa yang harus dilakukan?Menurut saya sudah wajib ada pelatihan pranikah. Calon istri dan calon suami harus tahu hak dan kewajibannya, supaya mereka sama-sama siap. Menurut saya, apa yang menjadi contoh di dalam tradisi Katolik itu bagus sekali. Karena mereka sampai enam bulan memberikan pelatihan pra-nikah. Sampai ada modul-modulnya.
Menurut saya harus dilakukan oleh negeri kita yang ternyata tingkat perceraiannya makin tinggi, pemudaran kekerabaÂtan, sampai akhirnya menjadi tega. Orang tua bukan menjadi pelindung, malah menjadi monÂster bagi anak-anaknya. Karena banyak yang melihat pernikahan itu bukan sebagai sesuatu yang sakral. Sepertinya, makin muÂdah pernikahan itu dilakukan ya kalau nggak suka, cerai. Jadi tidak dianggap sebagai sesuatu yang sakral dalam membangun kehidupan.
Selain oleh orang tua, pengamen anak-anak betul ada yang mengomandoi?Kalau peminta-minta itu ada yang mengomandoi anak, itu pengakuan dari W, ananda umur lima tahun itu. Kalau nggak mau, dia dicubit oleh ibunya. Si W dan Rini kan keduanya nggak ada lagi ayahnya, si Rini laki-laki umur enam tahun.
Mereka mau nggak tinggal di safe house?Si W bilang nyaman sekali di
safe house itu, nggak ada yang nyubitin dia, makannya teratur. Hal-hal seperti ini harus dijadiÂkan koreksi bersama bahwa pemudaran kekerabatan dan pemudaran tanggung jawab orang tua nggak bisa dianggap enteng. Karena anak-anak ini masa depan bangsa, supaya bisa saling melidungi. ***
BERITA TERKAIT: