Padahal dana JHT meruÂpakan instrumen perlindungan ketika pekerja memasuki aturan pensiun. Pemerintah diminta mencabut semua regulasi yang tidak sesuai dengan fungsi awal program JHT.
Koordinator BPJS Watch, Indra Munaswar menuturkan, kegaduhan soal JHT bermula saat pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 46 tahun 2015 tentang JHT. Meski PP tersebut merupakan amanat dari UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), banyak pihak yang kaget dan terkejut lantaran waktu pencairan JHT dinaikkan jadi 10 tahun kepeÂsertaan.
"Seharusnya JHT bisa diambil ketika peserta memasuki usia pensiun atau masa kepesertaan sudah 5 tahun plus 1 bulan," katanya dalam diskusi Menata Ulang Pelaksanaan Program JHT di Jakarta, kemarin.
Namun akibat kegaduhan masa pencairan dana JHT, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan Permenaker No 19 tahun 2015 yang menyatakan dana JHT boleh diambil kapan saja oleh pekerja yang di-PHK.
Menurut Indra, Menaker seoÂlah mengartikan pekerja yang pensiun itu, termasuk pekerja yang di-PHK dan mengundurÂkan diri. Dari sini pemerintah seolah menabrak hukum karena aturan yang tidak ada di undang-undang malah muncul di peraÂturan menteri.
"Gara-gara aturan ini, imbal jasa dan hasil pengembangan dana JHT menjadi terganggu, belum lagi keuangan BPJS Ketenagakerjaan juga akan berÂmasalah," sebutnya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menyeÂbutkan, filosofi program JHT adalah sebagai proteksi di hari tua. Seharusnya syarat pencairan JHT adalah bila pekerja bersangÂkutan meninggal, cacat tetap, dan pensiun.
"Masalah berawal ketika PP JHT keluar dan masa kepeserÂtaan naik jadi 10 tahun dari sebeÂlumnya 5 tahun plus 1 bulan, pemerintah gamang, akhirnya dikeluarkan aturan JHT boleh diambil kapan saja," terangnya.
Timboel mengungkapkan, banyak serikat pekerja yang minta pemerintah mempertahÂankan masa kepesertaan 5 tahun plus 1 bulan. Alasannya, dana JHT adalah dana jangka panjang, bukan dana jaga-jaga.
"Namun Menaker dan Dirut BPJS Naker tidak bisa mengÂingatkan presiden untuk tidak menabrak undang-undang," keluhnya. Akibatnya, urgensi program JHT menjadi berubah.
Menurut Timboel, ada 15 bentuk PHK, di mana penÂsiun merupakan salah satunya. Sementara pensiun tidak berarti sama dengan jenis PHK yang lain. Jika dana JHT tetap bisa dicairkan kapan saja, ini sama halnya dengan menghancurkan konsep program JHT.
"Sejak 1992, Jamsostek yang kini menjadi BPJS Naker baru memiliki 19,27 juta peserta JHT, padahal pekerja formal di Indonesia ada 35 juta, ini menandakan tantangan program JHT masih banyak," tandasnya.
Ketua Umum Federasi Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KEP SPSI), R Abdullah menÂgatakan, program JHT meruÂpakan alat agar negara hadir saat warganya sudah tidak bekÂerja. "Saat kita bekerja negara harus hadir, dan saat kita sudah tidak bekerja pun negara harus hadir," tekannya. ***
BERITA TERKAIT: