Di samping itu, Abu Bakar Al-Qabri juga menunÂjuk beberapa kemuliaan Ummi Musa sebagai mukjizat sebagai prasyarat seorang Nabi, Antara lain: Ia menjalani masa kehamilan tuanya dengan perut kempes, membakar anaknya di open pemÂbakaran roti yang apinya sedang menyala, mengÂhanyutkan bayinya bukannya melaju ke hilir tetapi melaju ke hulu dan berhenti di belakang istana Fir'aun. Dengan demikian, menurut Abu Bakar Al- Qabri, Ummi Musa memenuhis kriteria kenabian secara dalil naqly (nash Al-Qur'an dan Hadis) dan dalil aqly (folosofis).
Pendapat ini tentu saja menghebohkan kalanÂgan ulama ketika itu. Ulama besar Abu Muhammad Abdullah al-Ashili (w.392H/1001M) termasuk yang membantah dengan tegas pendapat Abu Bakar al- Qabri tersebut. Menurutnya, kata wahyu dalam Q.S. al-Qashash/28:7, seperti pendapat jumhur ulama Tafsir, mengatakan wahyu di situ berarti ilham, suatu inspirasi yang Allah berikan kepada manusia-manuÂsia utama yang bukan Nabi seperti para wali. Tafsir Jalalain, Tafsir al-Kasysyaf oleh Al-Zamakhsyary, dan sejumlah tafsir mu'tabarah lainnya memaknai kata "wa auhaina" dalam ayat tersebut di atas denÂgan wahyu bersifat ilham atau penyampaian dalam bentuk mimpi. Al-Zamakhsyary mengatakan kata auha pada diri Ummi Musa adalah wahyu melalui perantaraan malaikat tetapi tidak dalam kapasitasÂnya sebagai nabiyyah (la 'ala wajh al-nubuwwah). Kata auha dalam ayat tersebut lebih tepat disebut penyampaian melalui ilham. Lagi pula kata auha menurut jumhur ulama menganalisis kata auha yang juga pernah digunakan Allah kepada serangÂga lebah (wa auhaina ila al-nahl/ Q.S. al-Nahl/16:68) dan sudah pasti lebah tidak mungkin dikatakan Nabi. Meskipun sebagian ulama ada yang mengaÂtakan binatang pun mempunyai nabi, sebagaimana dalam suatu riwayat dikatakan: Likulli umamin nabiÂyyan (setiap komunitas itu memiliki nabi). Binatang juga memiliki komunitas (ummah), karena itu wajar jika Allah Swt menurunkan wahyu kepada pimpinan lebah.
Kontroversi tentang ada atau tidaknya nabi perempuan yang berkembang luas di Kordoba keÂtika itu diredam oleh al-Mansur bin Abi Amir yang secara defakto menjadi penguasa di bawah control Bani Umayyah, dengan tetap membiarkan adanya kalangan yang mendukung kenabian perempuan. Tidak berapa lama kemudian, persoalan ini munÂcul kembali dengan munculnya seorang ulama sekaliber Ibnu Hazm al-Andalusy (w.456H/1064M), yang juga mengakui adanya nabi perempuan, seÂbagaimana bisa dilihat di dalam karya besarnya, al- Fishash fi al-Milal wa al-Ahwai wa al-Nihal, Juz V dalam sebuah topic khusus, Kenabian Perempuan (Nubuwwah al-Mar'ah). ***