Perempuan Yang Diungkap Al-Quran (21)

Benarkah Ummi Musa Seorang Nabi?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Kamis, 10 Maret 2016, 09:09 WIB
Benarkah Ummi Musa Seorang Nabi?
nasaruddin umar:net
KETEGARAN dan kecerdasan Ummi Musa membuat seorang ulama bernama Abu Bakr Mu­hammad bin Mawhab al-Tujibi al-Qabri (w.406H/1015M), se­orang ulama besar di Andalu­sia, Spanyol, menyebut Ummi Musa sebagai salahseorang Nabiyyah. Meskipun kontroversi ia tetap mempertahank­an pendapatnya hingga wafat dengan alasan bah­wa Ummi Musa memenuhi semua syarat sebagai seorang Nabi. Alasannya antara lain, ia mendap­atkan wahyu dari Allah Swt sebagaimana dinyata­kan dalam ayat: Dan Kami wahyukan kepada Ibu Musa, Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah pula bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalik28:7). Dalam ayat lain juga dikatakan: "Yaitu ketika Kami mewahyukannya kepada ibu­musuatu yang diwahyukan" (Q.S. Thaha/20:38).

Di samping itu, Abu Bakar Al-Qabri juga menun­juk beberapa kemuliaan Ummi Musa sebagai mukjizat sebagai prasyarat seorang Nabi, Antara lain: Ia menjalani masa kehamilan tuanya dengan perut kempes, membakar anaknya di open pem­bakaran roti yang apinya sedang menyala, meng­hanyutkan bayinya bukannya melaju ke hilir tetapi melaju ke hulu dan berhenti di belakang istana Fir'aun. Dengan demikian, menurut Abu Bakar Al- Qabri, Ummi Musa memenuhis kriteria kenabian secara dalil naqly (nash Al-Qur'an dan Hadis) dan dalil aqly (folosofis).

Pendapat ini tentu saja menghebohkan kalan­gan ulama ketika itu. Ulama besar Abu Muhammad Abdullah al-Ashili (w.392H/1001M) termasuk yang membantah dengan tegas pendapat Abu Bakar al- Qabri tersebut. Menurutnya, kata wahyu dalam Q.S. al-Qashash/28:7, seperti pendapat jumhur ulama Tafsir, mengatakan wahyu di situ berarti ilham, suatu inspirasi yang Allah berikan kepada manusia-manu­sia utama yang bukan Nabi seperti para wali. Tafsir Jalalain, Tafsir al-Kasysyaf oleh Al-Zamakhsyary, dan sejumlah tafsir mu'tabarah lainnya memaknai kata "wa auhaina" dalam ayat tersebut di atas den­gan wahyu bersifat ilham atau penyampaian dalam bentuk mimpi. Al-Zamakhsyary mengatakan kata auha pada diri Ummi Musa adalah wahyu melalui perantaraan malaikat tetapi tidak dalam kapasitas­nya sebagai nabiyyah (la 'ala wajh al-nubuwwah). Kata auha dalam ayat tersebut lebih tepat disebut penyampaian melalui ilham. Lagi pula kata auha menurut jumhur ulama menganalisis kata auha yang juga pernah digunakan Allah kepada serang­ga lebah (wa auhaina ila al-nahl/ Q.S. al-Nahl/16:68) dan sudah pasti lebah tidak mungkin dikatakan Nabi. Meskipun sebagian ulama ada yang menga­takan binatang pun mempunyai nabi, sebagaimana dalam suatu riwayat dikatakan: Likulli umamin nabi­yyan (setiap komunitas itu memiliki nabi). Binatang juga memiliki komunitas (ummah), karena itu wajar jika Allah Swt menurunkan wahyu kepada pimpinan lebah.

Kontroversi tentang ada atau tidaknya nabi perempuan yang berkembang luas di Kordoba ke­tika itu diredam oleh al-Mansur bin Abi Amir yang secara defakto menjadi penguasa di bawah control Bani Umayyah, dengan tetap membiarkan adanya kalangan yang mendukung kenabian perempuan. Tidak berapa lama kemudian, persoalan ini mun­cul kembali dengan munculnya seorang ulama sekaliber Ibnu Hazm al-Andalusy (w.456H/1064M), yang juga mengakui adanya nabi perempuan, se­bagaimana bisa dilihat di dalam karya besarnya, al- Fishash fi al-Milal wa al-Ahwai wa al-Nihal, Juz V dalam sebuah topic khusus, Kenabian Perempuan (Nubuwwah al-Mar'ah). ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA