Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Cagub Independen Vs Parpol

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/m-a-hailuki-5'>M.A. HAILUKI</a>
OLEH: M.A. HAILUKI
  • Rabu, 09 Maret 2016, 22:42 WIB
<i>Cagub Independen Vs Parpol</i>
SALAH satu fenomena politik yang menyita perhatian publik belakangan ini adalah terkait keberhasilan relawan massa yang tergabung dalam organisasi Teman Ahok 'memaksa' Basuki T Purnama alias Ahok untuk memilih jalur independen untuk menjadi calon gubernur (cagub) DKI berpasangan dengan birokrat, Heru Budi. Keputusan Ahok untuk menjadi cagub DKI lewat jalan independen harus diapresiasi, karena itu merupakan hak konstitusi yang dijamin oleh undang-undang.

Tidak ada pembedaan bobot politik antara cagub dari jalur independen atau parpol, karena pada akhirnya dikembalikan kepada figuritas kandidat yang bersangkutan. Dari sisi peluang, cagub independen dan parpol sama-sama memiliki peluang dengan catatan sosok yang diusung memiliki elektabilitas tinggi. Meskipun rekaman pilkada serentak 2015 menunjukkan bahwa calon independen mayoritas alami kekalahan, namun yang perlu dicatat Ahok adalah petahana, sehingga peluangnya tetap terbuka.

Dari sisi mekanisme kedua jalur tersebut sama rumitnya, jalur independen harus kumpulkan KTP & surat dukungan pasangan dengan jumlah yang tidak sedikit dan harus membuat sejumlah komitmen dengan masyarakat khususnya para elite massa pengusung.

Siapakah elite massa dimaksud? Berdasarkan riset di beberapa daerah, elite massa kerap didominasi oleh kalangan pengusaha, rohaniawan atau agamawan dan akademisi yang mempunyai kemampuan menggerakkan masyarakat. Adapun jalur parpol harus dapat dukungan suara minimal atau kursi DPRD beserta komitmen politik dengan elite parpol. Artinya, baik jalur independen maupun parpol sama-sama ada komitmen yang harus dibangun, yang beda cuma aktornya yaitu dengan elite massa atau elite parpol.

Dari sisi analisa sistem politik, Gabriel A. Almond (1982), pakar ilmu politik dari Stanford University yang melakukan riset di beberapa negara demokrasi, mengatakan bahwa salah satu indikasi sehatnya sebuah sistem politik, khususnya demokrasi adalah parpol semakin menjalankan fungsi-fungsinya secara baik, dimana salah satu fungsi parpol yang dimaksud adalah rekrutmen politik.

Jika kita lihat kenyataan hari ini, dengan segala kekurangannya, parpol di Indonesia melaksanakan fungsi rekrutmen politik yang jauh lebih baik daripada masa lalu. Indikasinya, parpol mau mengusung figur-figur alternatif non-elite parpol jadi kepala daerah/pemimpin politik seperti misalnya Jokowi (Solo/DKI), Ahok (Belitung Timur/DKI), Risma (Surabaya), Ridwan Kamil (Bandung), Nurdin Abdullah (Bantaeng).

Meski masih terdapat berbagai kekurangan, namun harus diakui kaderisasi politik di internal parpol berjalan lebih baik, hal itu dapat terlihat dari munculnya kader-kader muda parpol yang mempunyai kapasitas dan integritas menjadi gubernur seperti Ganjar Pranowo (PDIP/Jawa Tengah), Soekarwo (Demokrat/ Jawa Timur), Ridho Ficardo (Demokrat/ Lampung), Irwan Prayitno (PKS/ Sumatera Barat), dan Zainul Majdi (Demokrat/ NTB)

Strategi Deparpolisasi


Lalu pertanyaannya, jika parpol sudah membuka diri dalam hal rekrutmen politik buat apa lagi harus menempuh jalur independen? Bukankah PDIP, NasDem & PKB sudah membuka diri untuk Ahok? Pada titik ini kita bisa berasumsi masih ada ketidakpercayaan dari masyarakat dan elite massa terhadap parpol & elitenya. Asumsi ini bukan tanpa alasan, karena didasarkan kepada masih saja ada kader parpol yang terjerat berbagai kasus korupsi baik di tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, besarnya jumlah APBD DKI Jakarta memunculkan kekhawatiran akan dijadikan bancakan oleh parpol pengusung Ahok jika tampil sebagai pemenang.

Asumsi kedua adalah, Ahok menyadari rekam jejaknya sebagai petualang politik yang pernah diusung berbagai parpol seperti PNBK saat Pilkada Belitung Timur pada 2005, Golkar saat Pileg 2009, dan Gerindra saat Pilkada DKI 2012. Berdasar pengalaman itu, Ahok menilai bahwa kendaraan politik bisa dicari belakangan. Yang terpenting baginya menjaga reputasi dan membangun dukungan publik melalui penggalangan relawan. Sejarah mencatat pada Pilgub DKI 2012, Ahok hampir tak bisa masuk gelanggang karena dukungan yang dikumpulkannya lewat jalur independen kekurangan jumlah KTP. Kemudian Ahok banting setir masuk lewat jalur parpol ketika itu melalui Gerindra.

Berdasar pengalaman di atas, maka skenario itu bisa terulang kembali, dikarenakan jumlah KTP yang dibutuhkan kurang maka pada akhirnya Ahok akan masuk melalui jalur parpol. Sementara dukungan yang sudah terkumpul lewat jalur independen dikonversi menjadi kekuatan relawan pada hari pemilihan. Bagaimana bila ternyata jumlah KTP yang dibutuhkan Ahok beserta pasangan sudah mencukupi persyaratan? Persoalan ini akan pelik, karena sulit bagi parpol untuk begitu saja menerima figur cawagub Heru Budi yang akan mendampingi Ahok. Bagaimanapun parpol juga punya kader yang berkompeten untuk menduduki posisi itu.

Meski wajah parpol di Indonesia saat ini masih dinodai berbagai kasus, namun di sisi lain parpol telah mampu melahirkan pemimpin-pemimpin baru. Pada level Kota/Kabupaten banyak kader muda parpol yang berkualitas seperti Abdullah Azwar Anas (PKB/Banyuwangi), Bima Arya (PAN/ Kota Bogor), Dedy Mulyadi (Golkar/ Purwakarta) dan kepala daerah lainnya yang tidak populer di media massa.

Jika kita melihat kader muda parpol di kabinet dan parlemen, maka kita akan menemukan sejumlah nama yang memiliki kapasitas seperti Ferry Mursyidan Baldan (NasDem/Menteri Agraria), Lukman Hakim Saefuddin (PPP/Menteri Agama), Ade Komaruddin (Golkar/Ketua DPR), Dede Yusuf (Demokrat/Ketua Komisi IX), Saleh Daulay (PAN/Ketua Komisi VIII), Budiman Sudjatmiko (PDIP/Eks Pansus RUU Desa). Nama-nama ini bukan dimaksudkan untuk dijadikan sebagai kandidat cagub-cawagub DKI, melainkan sekadar gambaran bahwa kaderisasi internal parpol telah berjalan.

Berdasarkan itu maka tidak bijaksana jika kita menuding parpol tidak mampu melakukan kaderisasi politik. Dengan demikian apabila ada pernyataan yang mengatakan bahwa parpol tidak mempunyai kader yang layak untuk diusung jadi cagub atau cawagub DKI, maka pernyataan tersebut bisa dikatakan tidak berdasar dan sarat kepentingan, yaitu kepentingan untuk melakukan deparpolisasi.

Karena, masih ada waktu cukup bagi parpol untuk melakukan rekrutmen politik memunculkan sosok-sosok yang memiliki integritas untuk menjadi kandidat pemimpin Ibukota baik dari kader internal maupun eksternal berlatar profesional. Tidak ada salahnya apabila parpol melakukan rekrutmen politik dari non-kader, semisal figur pakar tata kota atau pegiat anti-korupsi yang mempunyai integritas. Mungkin hanya figur seperti itulah yang saat ini bisa mendapatkan respon positif dari mayoritas pemilih Jakarta.

Apabila parpol mampu melakukan rekrutmen politik secara baik, maka kondisi akan menjadi terbalik, tidak diperlukan lagi jalur independen untuk menjadi kepala daerah di level manapun. Parpol akan lebih terhormat tidak bisa terdikte oleh kepentingan figur kandidat kuat atau permainan dukungan elite massa.

Dan alangkah baiknya jika sosok yang diusung masih berusia muda di bawah 50 tahun, mengapa? Karena pendiri bangsa Bung Hatta mengatakan, "Pemuda Indonesia adalah hati nurani bangsa yang berbicara, jiwa bangsa yang menyala!" [***]

Penulis adalah pengamat politik Universitas Nasional Jakarta & peneliti Centre for Indonesian Political and Social Studies (CIPSS).

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA