Perempuan Yang Diungkap Al-Qur’an (3)

Siti Hawa Tanpa Tulang Rusuk Adam

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 19 Februari 2016, 09:40 WIB
Siti Hawa Tanpa Tulang Rusuk Adam
nasaruddin umar:net
IMEJ yang selalu tergam­bar ketika kita membicara­kan Siti Hawa ialah tulang rusuk Adam. Padahal di da­lam Al-Qur'an samasekali tidak pernah menyebut sep­erti itu. Bahkan Al-Qur’an tidak pernah menyebut sekalipun kata tulang rusuk (dhil’). Asal-usul cerita Siti Hawa tercipta dari tulang rusuk kiri, bengkok, paling bawah dan paling pendek dari Adam, ternyata disebutkan di dalam Bibel, khususnya dalam Kitab Kejadian, pasal 21-23. Cerita ini­lah yang memberikan stigma negatif perem­puan (Hawa). Dalam mitos Timur Tengah, kata kiri melambangkan subordinasi dan cenderung negatif. Makan, minum, dan memegang Kitab Suci dengan tangan kanan dan membersikan kotoran dengan tangan kiri. Masuk WC dengan kaki kiri dan masuk rumah ibadah dengan kaki kanan. Sudah tulang rusuk kiri, paling bawah, bengkok lagi. Ini menancapkan kesan subordi­nansi perempuan terhadap laki-laki.

Lebih jauh dari itu, mitos tulang rusuk juga berpengaruh terhadap rumpun bahasa Semit, seperti bahasa Ibrani, Arab, Aramik, Suryani, Qibti, dan sesungguhnya juga bahasa-bahasa belahan dunia bagian utara seperi yang bisa kita jumpai sekarang, misalnya bahasa Ingger­is, Perancis, Jerman, dan Belanda. Kata ganti Tuhan menggunakan kata ganti laki-laki (He/ Huwa), yang menggambarkan seolah-olah Tu­han berjenis kelamin laki-laki. Jika kita mem­beri salam cukup menyebut nama laki-laki kar­ena jika menyebut laki-laki otomatis termasuk perempuan di dalamnya, karena bukankah perempuan dari tulang rusuk laki-laki?

Ucapan salam cukup dikatakan: "Assala­mu alaikum" (Keselamatan atas kalian laki-la­ki) tanpa perlu menambahkan kata: "Wa 'alai­kunna al-salam" (dan keselamatan atas kalian perempuan), karena kaedah bahasa Arab men­gatakan: Apabila laki-laki dan perempuan ber­campur dengan laki-laki cukup menyebut jenis laki-lakinya (Al-tadzkir wa al-ta’nits idza ijtama’a gulibah al-tadzkir). Sekalipun di dalam sebuah ruangan keseluruhannya perempuan tidak per­nah ada bentuk salam yang mengatakan "As­salamu 'alaikunna" (keselamatan atas kalin perempuan).

Selain untuk menghindari pemborosan kata, struktur bahasa demikian itu juga sudah benar secara teologi bahasa, yang lagi-lagi mengacu kepada mitos tulang rusuk tadi. Itulah sebabnya di dalam pengungkapan tuntutan dan larangan di dalam bahasa Arab cukup menggunakan bentuk maskulin (khithab mudzakkar) karena berlaku kaedah: Setiap tuntutan (khithab) yang menggunakan bentuk maskulin (mudzakkar) maka otomatis mengikat kaum perempuan. Namun tidak sebaliknya, jika sebuah khithab menggunakan bentuk feminin (mu'annnats) maka hanya mengikat kaum perempuan, tidak mengikat laki-laki. Contohnya: Aqimu al-shalah (dirikanlah shalat). Ayat ini menggunakan kata "aqimu" (bentuk plural maskulin), tidak perlu ditambahkan lagi kata: "Wa aqimn al-shalah". Redaksi itu sudah cukup tegas menyatakan kewajiban shalat bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan. Berbeda dengan kata: Waqarna fi buyutikunna (Menetaplah kalian perempuan di rumah kalian), hanya mengikat kaum perem­puan dan tidak mengikat kaum laki-laki. Imple­mentasi fikihnya kemudian ialah setiap perem­puan yang keluar rumah dituntuut bersama muhrim, sedangkan laki-laki tidak perlu. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA