Cara mereka menghadapi sasaran-sasaran dakwahnya yang dianggap menyimpang ialah dengan mencari-cari kelemahan tokoh atau pimpinan yang disasar. Contohnya mungkin merÂeka tidak setuju dengan kebijakan pimpinan orÂmas tertentu lalu pimpinannya dituding sebagai kelompok fro-syi'ah, fro-JIL, fro-Barat, antek YaÂhudi, dan tudingan lain yang bisa membuat tokoh tersebut hilang kepercayaan di dalam masyarakat. Tentu saja cara-cara seperti ini adalah cara-cara yang tidak gentlemen. Melemparkan isu negatif kepada seorang tokoh yang tidak disenangi daÂpat dikategorikan sebagai perbuatan fitnah atau bagian dari
Religious-Hate Speec (RHS).
Masalah perbedaan mazhab sesungguhnya bukan persoalan pokok (ushul) tetapi hanya persoalan cabang (furu'). Mendramatisir persoÂalah furu'iyyah menjadi seakan-akan persoalan ushuliyyah merupakan bagian dari fitnah. Tentu juga sebaliknya sama jika mendramatisir perÂsoalan yang sesungguhnya ushuliyyah tetapi dianggap persoalan furu'iyyah. Selama umat masih sering menggunakan rekayasa seperti ini di dalam melaksanakan dakwah maka selaÂma itu pula sulit mewujudkan umat ideal (khaiÂra ummah) sebagaimana diidealkan dalam ayat: Kuntum khaira ummah, ukhrijat linnasi ta'muruna bil ma'rufi wa tanhauna 'anil munkar wa tu'minuna billah… (Kalian (umat Islam) adaÂlah umat terbaik yang dilahirkan untuk manuÂsia, (karena kalian) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…/Q.S. Ali 'Imran/3110).
Indonesia memiliki pengalaman panjang denÂgan dakwah Islam. Semakin keras cara-cara dakwah semakin tidak tertarik orang memperhaÂtikan dakwah itu. Semakin bijaksana sebuah dakÂwah semaikin tertarik orang untuk mengikutinya. Pengalaman Walisongo di dalam berdakwah, meskipun kebanyakan dari mereka berasal dari turunan Arab tetapi tidak memperkenalkan Islam dengan budaya Arab. Mereka memperkenalkan Islam melalui budaya lokal, seperti mereka berÂdakwah melalui music gamelang, wayang, dan kearifan lokal lainnya. Akhirnya umat di masa itu tidak merasa ada distorsi dengan dengan kebuÂdayaan lokalnya dengan ajaran Islam yang baru dianutnya. Bahkan muncul motto: Adat bersendi Syar' dan Syara' bersendi Kitabullah.
Berdakwah dengan cara-cara menjelek-jelekkan orang lain, apalagi dengan mengkafirÂkannya adalah cara-cara dakwah yang tidak familiar dengan budaya masyarakat Indonesia. Cara-cara dakwah seperti ini lazimnya di NegÂara-negara Timur Tengah dan sebagian Afrika. Dakwah dengan cara-cara kekerasan dan powÂer struggle bisanya tidak permanen. Contohnya di dalam masyarakat Spanyol yang dulu mengÂgunakan cara-cara struggle pada akhirnya tidak permanen. Banyak di sana masjid berubah menjadi gereja. Sebaliknya di Indonesia Islam sudah satu millennium tetapi tidak mengalami penurunan. Bahkan perkembangan kuantitatif dan kualitatif sedang terjadi di kawasan ini. ***