Di dalam negeri juga pernah terjadi beberapa kasus yang sangat disesalkan karena pernyataan tokoh masyarakat yang berbau SARA, khususnya yang menyingkut agama. Pernyataan Pendeta Antonius R.Bawengan yang menghiÂna agama Islam dan Kristen menyulut kerusuÂhan karena hukumannya dinilai terlalu ringan. Pernyataan Pak Ahok beberapa waktu lalu juga mengundang demo dari sejumlah ormas Islam karena dinilai membuat pernyataan yang dinilai menghina Islam. Di beberapa daerah juga sejumÂlah pejabat dan tokoh masyarakat pernah memÂberikan pernyataan yang berbau SARA dan menÂjadi pemicu terjadinya konflik terbuka.
Dari berbagai pengalaman tersebut di atas maka sebaiknya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini bahwa siapapun yang memiliki status social lebih tinggi di dalam masyarakat untuk berhati-hati memberikan pernyataan karÂena pengaruhnya bisa di luar dugaan, memicu konflik terbuka. Dalam masyarakat yang sudah sarat dengan berbagai ketidak adilan, ibaratnya alang-alang kering yang gampang disulut api dan menimbulkan kebakaran luas.
Di dalam Islam ditegaskan beberapa ayat dan hadis agar siapapun jangan sembarangan memÂbuat pernyataan yang tidak perlu, seperti mengÂhasut dan memprfikasi. Hampir semua ayat daÂlam Q.S. al-Hujurat/49, khususnya ayat 11-16, memberikan peringatan kepada siapapun untuk berhati-his juga ati membuat pernyataan. Dalam hadis juga ditegaskan: "Barang siapa yang beriÂman kepada Allah dan Hari Kiamat maka berikanÂlah pernyataan yang baik atau lebih baik diam". Tentu agama-agama lain juga memiliki dasar yang sama, bahwa pernyataan yang menista dan memprofokasi sebaiknya dihindari.
Pernyataan yang berisi penistaan dan profokaÂsi sesungguhnya melanggar aturan sebagaimaÂna diatur di dalam UU PNPS No. 1 Tahun 1965, pasal 1 dan 2 sebagai berikut: (1) Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan duÂkungan umum, untuk melakukan penafsiran tenÂtang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. (2) Barang siapa melanggar ketentuan terseÂbut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) diÂlakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran keÂpercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyaÂtakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. ***