RELIGIOUS-HATE SPEECH (30)

Egoisme Spiritual

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 03 Februari 2016, 08:23 WIB
Egoisme Spiritual
nasaruddin umar:net
DALAM suatu riwayat diki­sahkan ada seorang alim dan ahli ibadah yang semata-ma­ta mencurahkan waktu dan pikirannya untuk mendeka­tkan diri kepada Allah Swt. Ia banyak mengasingkan diri dari keramaian demi menghindari kemungkinan terjadinya kontaminasi dosa dari orang-orang awam. Suatu ketika seorang pelacur mencari ulama untuk curhat dan sekali­gus meminta nasehat bagaimana meninggalkan dunia hitam yang selama ini digelutinya. Ia juga akan menanyakan masih adakah harapan Tuhan memaafkan dan menerima tobatnya setelah ma­lang melintang hidupnya di tengah lumpur dosa. Mendengarkan keinginan itu, maka sang ahli iba­dah itu menolak harapan perempuan nakal itu dengan mengatakan, aku tidak mau menodai di­riku dengan berkomunikasi dengan orang kotor seperti itu. Mendengarkan cerita itu, maka Nabi mengatakan, sang ahli ibadah itu penghuni nera­ka dan perempuan yang karena ketulusannya in­gin bertaubat adalah penghuni syurga.

Cerita ini mengingatkan kita kepada Q.S. al- Ma'un, yang intinya menjelaskan kriteria kuali­tas keberagamaan seseorang tidak diukur dari banyaknya ibadah mahdhah yang dilakukan tetapi ibadah sosial, seperti memperhatikan na­sib fakir miskin dan anak yatim piatu. Bahkan dalam surah itu juga dinyatakan; celakalah bagi orang shalat yang shalatnya tidak membawa dampak sosial kemasyarakatan. Aktifitas iba­dah dan spiritual yang dilakukan tanpa mem­perdulikan lingkungan masyarakat di mana ia berada malah dikhawatirkan terjebak dengan apa yang disebut dengan ego spiritual.

Ego spiritual ialah orang-orang yang terlalu mengedepankan hubungan vertikalnya dengan Tuhan tanpa mau tahu lingkungan masyarakat sekitarnya. Bahkan ia cenderung menghin­darinya karena seolah-olah dirinya sudah tidak selevel dengan mereka. Tindakan dan prilaku­nya seolah memandang remeh orang lain. Bah­kan secara tidak sadar memberikan pernyataan yang menghakimi orang lain seolah-olah dirinya mewakili penilaian Tuhan. Ia mengklaim dirinya sebagai orang-orang kelas atas dalam dunia spiritual. Ia memilih-milih sahabat dan menghin­dari orang-orang yang justru memerlukan per­hatian dan kasih sayang serta bimbingan. Sikap yang demikian ini seringkali membuat orang lain tersinggung dan merasa dilecehkan. Dengan demikian sikap seperti ini dapat dikat­egorikan Religious-Hate Speech (RHS).

Ego tidak semata-mata bisa diukur berdasar­kan ukuran-ukuran fisik, seperti keinginan kuat untuk memiliki jabatan kekayaan fisik lainnya, tetapi juga dalam bidang spiritual. Seringka­li seseorang terlihat tawadhu dan low profile, tetapi secara spiritual menyimpan sesuatu yang tercela di mata Tuhan. Ego spiritual tak ada ubahnya dengan ego duniawi yang lebih me­nekankan ego individualitasnya. Orang-orang seperti inilah yang disebut di dalam Al-Qur'an tidak memiliki bekas-bekas sujud (atsar al-su­jud). Bekas sujud dalam Al-Qur'an bukan den­gan sengaja menghitamkan dahi di atas kening seperti dilakukan segelintir orang yang mema­hami secara tekstual ayat tadi. Atsar sujud ialah komitmen sosial yang tinggi dimiliki seseorang sebagai bagian dari penghayatan nilai-nilai aja­ran agama yang dianutnya.

Termasuk juga dalam ego spiritual ialah me­nikmati pujian orang-orang yang mengagumin­ya lantaran banyaknya ibadah yang dilakukan. Mungkin ia melaksanakan puasa Senin-Kamis, shalat-shalat rawatib tidak ada yang ditinggal­kan, dan zikirnya jalan terus, lalu dengan en­teng memandang enteng orang lain yang tidak seperti dengannya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA