Cerita ini mengingatkan kita kepada Q.S. al- Ma'un, yang intinya menjelaskan kriteria kualiÂtas keberagamaan seseorang tidak diukur dari banyaknya ibadah mahdhah yang dilakukan tetapi ibadah sosial, seperti memperhatikan naÂsib fakir miskin dan anak yatim piatu. Bahkan dalam surah itu juga dinyatakan; celakalah bagi orang shalat yang shalatnya tidak membawa dampak sosial kemasyarakatan. Aktifitas ibaÂdah dan spiritual yang dilakukan tanpa memÂperdulikan lingkungan masyarakat di mana ia berada malah dikhawatirkan terjebak dengan apa yang disebut dengan ego spiritual.
Ego spiritual ialah orang-orang yang terlalu mengedepankan hubungan vertikalnya dengan Tuhan tanpa mau tahu lingkungan masyarakat sekitarnya. Bahkan ia cenderung menghinÂdarinya karena seolah-olah dirinya sudah tidak selevel dengan mereka. Tindakan dan prilakuÂnya seolah memandang remeh orang lain. BahÂkan secara tidak sadar memberikan pernyataan yang menghakimi orang lain seolah-olah dirinya mewakili penilaian Tuhan. Ia mengklaim dirinya sebagai orang-orang kelas atas dalam dunia spiritual. Ia memilih-milih sahabat dan menghinÂdari orang-orang yang justru memerlukan perÂhatian dan kasih sayang serta bimbingan. Sikap yang demikian ini seringkali membuat orang lain tersinggung dan merasa dilecehkan. Dengan demikian sikap seperti ini dapat dikatÂegorikan Religious-Hate Speech (RHS).
Ego tidak semata-mata bisa diukur berdasarÂkan ukuran-ukuran fisik, seperti keinginan kuat untuk memiliki jabatan kekayaan fisik lainnya, tetapi juga dalam bidang spiritual. SeringkaÂli seseorang terlihat tawadhu dan low profile, tetapi secara spiritual menyimpan sesuatu yang tercela di mata Tuhan. Ego spiritual tak ada ubahnya dengan ego duniawi yang lebih meÂnekankan ego individualitasnya. Orang-orang seperti inilah yang disebut di dalam Al-Qur'an tidak memiliki bekas-bekas sujud (atsar al-suÂjud). Bekas sujud dalam Al-Qur'an bukan denÂgan sengaja menghitamkan dahi di atas kening seperti dilakukan segelintir orang yang memaÂhami secara tekstual ayat tadi. Atsar sujud ialah komitmen sosial yang tinggi dimiliki seseorang sebagai bagian dari penghayatan nilai-nilai ajaÂran agama yang dianutnya.
Termasuk juga dalam ego spiritual ialah meÂnikmati pujian orang-orang yang mengaguminÂya lantaran banyaknya ibadah yang dilakukan. Mungkin ia melaksanakan puasa Senin-Kamis, shalat-shalat rawatib tidak ada yang ditinggalÂkan, dan zikirnya jalan terus, lalu dengan enÂteng memandang enteng orang lain yang tidak seperti dengannya. ***