RELIGIOUS-HATE SPEECH (28)

Tirani Minoritas

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 01 Februari 2016, 08:41 WIB
Tirani Minoritas
NASARUDDIN UMAR:NET
SALAH satu indikasi reli­gious-Hate Peech (RHS) ialah arogansi dan kesombongan mayoritas. Akan tetapi potensi RHS bisa juga ter­jadi sebaliknya, yaitu tirani minoritas. Dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia anarkisme mayoritas dan ti­rani minoritas pernah terja­di. Almarhum Prof Deliar Noor dalam beberapa pernyataannya sering mensinyalir kenyataan ini. Anarkisme mayoritas ialah kesewenang-wenangan yang dilakukan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Hanya karena kelompok minoritas tidak berdaya menghadapi kelompok mayoritas maka perasaan terdhalimi jarang terungkap ke permukaan. Mulau dari skala kecil sampai skala yang paling luas dan besar.

Namun demikian, Indonesia juga memi­liki pengalaman dengan konsep tirani mi­noritas, dalam arti sekelompok kecil anggota masyarakat dari kalangan minoritas memak­sakan kehendaknya dengan mengusung isu Hak Asasi Manusia (HAM). Kelompok minoritas yang demikian ini dapat dikategorikan tirani mi­norits. Sekalipun mereka berasal dari kelompok minoritas tetapi meminta hak-hak yang setara dengan yang diperoleh kelompok maoritas den­gan alasan sama-sama sebagai warga bangsa, sama-sama umat beragama, sama-sama dari kelompok agama yang mendapatkan pen­gakuan resmi dari pemerintah, dan sama-sama sebagai warga negara yang dilindungi hak-hak kedaulatannya oleh negara.

Tirani minoritas dapat dikategorikan RHS jika ada di antara mereka yang meneriakkan yel-yel atau ujaran membakar semangat kebencian dan permusuhan kepada kelompok mayoritas. Peristiwa tirani minoritas terjadi manakala tun­tutan-tuntutan kelompok minoritas dikabulkan pemerintah tanpa memperhatikan keberadaan kelompok mayoritas. Hanya lantaran kekua­tan penguasa yang mem-back-up maka keingi­nan-keiinginannya dipenuhi. Sementara suara dan reaksi kelompok mayoritas tidak diakui ke­beradaannya karena masih sedang bergejolak. Sering dikesankan bahwa umat Islam Indonesia lebih banyak menjadi penonton daripada seba­gai pemain di negerinya sendiri. Ibarat sebuah keluarga, umat Islam dikesankan seagai "anak pertama" yang sering berebutan mainan dengan adiknya. Bapak/ibu sering melerai pertengkaran itu dengan mengorbankan "sang kakak" dan memenangkan "sang adik". Mungkin pendeka­tan seperti ini efektif mewujudkan ketenangan tetapi laksana api dalam sekam, sewaktuwaktu bisa membakar sekitarnya.

Yang ideal ialah kelompok mayoritas menger­ti dan menghargai hak dan kewajiban kelom­pok minoritas. Sebaliknya kelompok minoritas memahami dan menyayangi keberadaan kel­ompok mayoritas. Dengan demikian potensi RHS tidak akan muncul di dalam masyarakat. Siapapun memang tidak selayaknya menepuk dada karena berada di dalam barisan mayori­tas. Sebaliknya kelompok minoritas tidak perlu merasa phobia karena keminoritasannya. NKRI menjamin keberadaan segenap Warga Negara Indonesia (WNI) untuk hidup setara di bawh payung besar NKRI.

Dalam Islam, istilah mayoritas atau minoritas tidak pernah diperkenalkan sebagai suatu konsep di dalam berbangsa dan bernegara. Sebaliknya Al-Qur'an menegaskan bahwa: "Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan kare­na orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia selu­ruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara ke­hidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuan­ya". (Q.S. al-Maidah/5:32). ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA