Kehadiran rumah ibadah bagi suatu komunitas umat beragama merupakan suatu keniscayaan. Jika ada umat beragama tanpa memiliki rumah ibaÂdah maka berarti mereka masih memiliki hak-hak istimewa yang belum terealisir. Untuk mengatasi persoalan ini biasanya umat beragama tertentu diÂatasi dengan mengadakan rumah ibadah semenÂtara. Persoalan sosial mulai muncul manakala merÂeka membangun rumah ibadah di tempat yang oleh orang lain dianggap tidak tepat, mungkin karena terÂlalu berdekatan dengan rumah ibadah lainnya atau berada di dalam wilayah mayoritas umat lain, atau mungkin karena persoalan izin dll.
Tentu saja persoalan akan muncul jika ruÂmah ibadah yang dianggap sebagai bangunan sacral oleh para penganutnya diganggu, apalaÂgi masjid yang dalam keyakinan umat Islam disÂebut sebagai "Rumah Allah". Jika merusak "RuÂmah Allah" ini tentu berpotensi akan membakar semangat jihad bagi penganutnya. Bagi seÂbagian umat Islam memilih rumahnya di rusak ketimbang rumah Tuhannnya. Tentu demikian pula halnya bagi agama lain. Jika rumah ibadah diganggu tentu mereka juga memiliki hak unÂtuk mempertahankannya. Karena itu, merusak rumah ibadah dengan alas an kebencian atau tujuan negative merupakan salahsatu bentuk nyata dari
Religious-Hate Speech (RHS).
Jika rumah ibadah tertentu dirusak oleh kelomÂpok agama lain maka tidak ayal lagi akan munÂcul konflik social. Bahkan mungkin konflik itu bias berskala besar karena melibatkan semangat dan jiwa keagamaan. Dalam Islam sering kali keluar fatwa: isy kariman au mut syahidan (hidup mulia atau mati syahid. Jika simbol atau akronim jihad dan syahid ini mulai muncul maka dampaknya bias lebih jauh. Memprovokasi seseorang dengan bahasa agama maka biasanya akan sangat efekÂtif mengerahkan massa yang beringas. Kita perlu mengantisipasi jangan sampai ada rumah ibadah yang dirusak, apalagi dibakar, karena biasanya hati penganut agamanya juga ikut terbakar.
Membuat rumah ibadah tandingan dengan maksud untuk memecah belah suatu agama bias difahami sebagai perbuatan RHS. Bagi umat IsÂlam kasus pembangunan Masjid Dhirar yang dibangun oleh seorang munafik, Abdullah ibn Ubai ibn Abi Salul, dengan tujuan untuk memecah beÂlah umat Islam pada saat itu. Al-Qur'an langsung menginformasikan Nabi dan masjid Dhirar itu keÂmudian dihancurkan oleh Nabi bersama para saÂhabatnya. Kasus ini diabadikan di dalam di dalam dua ayat di dalam Al-Qur'an. Di Indonesia, kasus ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menghancurÂkan Masjid yang dituduh masjid provokator, kareÂna urusan pembangunan dan pembongkaran ruÂmah ibadah sudah ada aturannya sendiri. ***