Ketua Umum Persatuan Alumni GMNI ini mengungkapkan pada era Presiden Soekarno kita masih sempat punya TAP MPRS No. II/1960 tentang Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang menjadi blue print pembangunan nasional bangsa Indonesia.
Demikian juga pada era Presiden Soeharto konsep pembangunan nasional berpegang pada beberapa TAP MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Sementara di era reformasi ini, lanjut Basarah, seiring dengan perubahan UUD 1945 sejak tahun 1999-2002, kita tidak lagi punya GBHN karena MPR telah dicabut kewenangannya untuk membuat dan menetapkan GBHN.
Kemudian penyusunan konsep dan pelaksanaan pembangunan nasional selama lima tahun diserahkan kepad visi dan misi presiden terpilih. Akibatnya terjadi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma gotong royong menjadi individualisme karena kemudian konsep pembangunan nasional lima tahunan menurut selera presiden terpilih.
Jelas Basarah, ketika ganti presiden maka berganti pulalah konsep dan pelaksanaan pembangunan nasional tersebut. Akibatnya, bukan hanya konsep dan pelaksanaan pembangunan nasional dan daerah yang terlihat berjalan sendirisendiri, tapi juga antar lembaga negara di tingkat pusat maupun dengan pemerintahan daerah sering terjadi disharmoni.
Oleh karena itu, kata Basarah, kita perlu melakukan revolusi mental terhadap lembaga-lembaga negara agar kembali kepada konsep negara gotong royong. Konkritnya, perlu mempertimbangkan kembali agar kita semua punya kehendak politik yang sama agar MPR diberikan kembali kewenangan untuk menyusun dan menetapkan konsep Pembangunan Nasional Semesta Berencana untuk dijadikan pedoman sebagai GBHN dalam pelaksanaan program pembangunan nasional di seluruh wilayah NKRI.
"Dengan demikian, siapapun presidennya, program jangka menengah dan menengah tetap berkesinambungan," demikian Basarah, Rabu (23/12).
[rus]
BERITA TERKAIT: