Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pelindo II, Freeport Dan Negara Rente

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/m-a-hailuki-5'>M.A. HAILUKI</a>
OLEH: M.A. HAILUKI
  • Jumat, 20 November 2015, 14:37 WIB
DALAM beberapa bulan terakhir, ada dua hal yang menyita perhatian publik. Pertama adalah dugaan korupsi pengadaan mobil crane Pelindo II yang disebut-sebut menyeret kongsi dagang penguasa. Kedua adalah dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla oleh Ketua DPR Setya Novanto dalam pengurusan perpanjangan izin Freeport di Papua.

Sekilas kedua hal itu tidak memiliki keterkaitan, namun apabila kita bongkar menyelam lebih dalam maka akan tampak jelas bahwa keduanya memiliki korelasi yang menarik untuk diperhatikan.

Berdasarkan pemberitaan di berbagai media massa, aktor-aktor yang berada dalam pusaran kedua kasus tersebut yaitu Wapres Jusuf Kalla, Menko Polhukam Luhut Panjaitan, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri ESDM Sudirman Said, Dirut Pelindo II RJ. Lino, Dirut Freeport Maroef Sjamsoeddin, Ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha minyak Reza Chalid.

Rentang waktu kemunculan dua kasus tersebut tidak berjauhan lama, bermula dari penggeledahan Bareskrim terhadap kantor Pelindo II atas dugaan korupsi pengadaan mobil crane dimana Dirut Pelindo II RJ. Lino tampak dibuat gusar sehingga langsung melaporkan tindakan Bareskrim tersebut kepada sejumlah menteri yaitu Luhut Panjaitan dan Rini Soemarno. Tak lama kemudian, Wapres Jusuf Kalla turun tangan meminta Bareskrim tidak melanjutkan penyidikan atas tindakan korporasi Pelindo II sebagai badan usaha milik negara (BUMN). Episode ini diakhiri dengan digesernya Budi Waseso dari jabatan Bareskrim Polri menjadi kepada Badan Nasional Narkotika (BNN) dan dibentuknya Pansus Pelindo II dalam Sidang Paripurna DPR pada 5 November 2015, atas inisiasi Komisi III pimpinan Azis Syamsuddin yang notabene orang dekat Ketua DPR Setya Novanto.

Di saat Pansus Pelindo II bergerak, selang beberapa pekan kemudian, beredar transkip pembicaraan antara SN, MS dan R yang diduga Setya Novanto, Maroef Sjamsoeddin dan Reza Chalid terkait perpanjangan kontrak Freeport. Diketahui, Maroef Sjamsuddin sebelum menjabat sebagai dirut Freeport merupakan wakil kepala BIN (2011-2014). Pensiunan jenderal Angkatan Udara (AU) asal Makassar ini merupakan adik kandung mantan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin. Nama Joko Widodo, Jusuf Kalla dan Luhut Panjaitan disebut dalam transkrip percakapan tersebut. Rekaman pembicaraan itu lalu dijadikan barang bukti oleh Sudirman Said untuk melaporkan Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dengan tuduhan pelanggaran etika selaku pimpinan lembaga legislatif.

Mengetahui dirinya dilaporkan, Setya Novanto bergerak cepat menemui Jusuf Kalla, di saat yang bersamaan bergulir wacana kocok ulang pimpinan DPR di Senayan. Sementara itu Luhut Panjaitan menyatakan manuver yang dilakukan Sudirman Said tidak atas sepengetahuan presiden dan dirinya, namun Jusuf Kalla langsung mengklarifikasi bahwa Sudirman Said telah melaporkan kepada wapres. Sampai di episode ini konstelasi menjadi runyam, Presiden Jokowi hanya tertawa ringan sembari mengatakan, Dulu mama minta pulsa, sekarang papa minta saham.”

Negara Rente
Dalam terminologi ekonomi politik, laba adalah salah satu bentuk kekuasaan, karena demi mendapatkan laba yang besar seseorang tak segan mempengaruhi para pengambil keputusan untuk membuat regulasi yang mendukung tercapainya keuntungan. Bagi penguasa, laba diterima melalui kekuasaan yang dimilikinya, perilaku penguasa yang mengharapkan laba dari kebijakan yang dibuatnya disebut perilaku kalap rente (rent seeking behaviour).

Grindle (1989) mengatakan ada tiga jenis varian turunan yang dihasilkan dari perilaku kalap rente yaitu Power Seeking Politican, Rent Seeking Bureucrates dan Predatory State.

Power Seeking Politician adalah gambaran bahwa politisi merupakan mahluk rasional yang memperhitungkan rugi laba dalam setiap keputusan atau kebijakan yang diambilnya. Untuk mempertahankan kekuasaan para politisi menggunakan sumber daya milik negara yang ada dalam kekuasaannya untuk dihadiahkan kepada pendukungnya dan juga untuk menghukum mereka yang tidak mendukungnya pada saat pemilu. Politisi jenis ini merupakan pembonceng gratis, karena tindakan-tindakan politik yang dilakukannya menjadi tanggungan biaya oleh orang lain yaitu kaum pengusaha. Fenomena Power Seeking Politician kebanyakan merupakan para politisi berlatar pengusaha, tak ada kekuatan ideologi dalam perjuangan politiknya, melainkan hanya semata melipatgandakan laba yang dihasilkannya secara langsung maupun tidak langsung lewat kongsi-kongsi dagangnya. Hampir semua partai politik di Indonesia saat ini berada dalam kendali para pengusaha, bahkan beberapa partai politik dipimpin langsung oleh pengusaha sebagai ketua umumnya.

Kekuasaan politik yang ikut campur tangan dalam pasar ekonomi, khususnya dalam pengolahan kekayaan negara dapat membentuk jaringan patron-klien berupa Political Machine yang melibatkan para pejabat administrasi negara yaitu kalangan birokrat. Dengan memanfaatkan sumber daya berupa kebijakan politik, birokrat menjual kebijakan tersebut kepada penawar dengan harga tertinggi atau mengalokasikan sumber daya tersebut kepada pihak-pihak yang disukainya dengan tujuan agar ia mendapatkan keuntungan jangka pendek berupa penghasilan sampingan dan kepentingan jangka panjang yaitu mempertahankan dan meningkatkan posisi jabatannya, itulah yang dimaksud dengan Rent seeking Bureaucrates. Para direktur BUMN yang diangkat oleh penguasa sejatinya merupakan birokrat-birokrat yang rentan melakukan praktek perburuan rente, sehingga sering kali kita mendengar istilah BUMN sebagai "sapi perah" partai politik khususnya yang tengah berkuasa. Lazimnya di negara-negara berkembang, para birokrat yang menduduki jabatan strategis berperilaku sebagai Rent seeking Bureaucrates demi mempertahankan dan menaikkan jabatannya di dalam struktur pemerintah maupun BUMN.

Adapun Predatory State adalah negara yang dikendalikan oleh politisi jenis Power Seeking Politican dan Rent Seeking Bureaucrates menjadi aktor-aktor rasional penyelenggara negara yang selalu berusaha memaksimumkan penerimaan negara dalam jangka pendek. Berbagai bentuk kebijakan jangka pendek dikeluarkan untuk menaikkan pendapatan pajak, mendevaluasi nilai tukar uang dalam negeri, mengenakan bea ekspor-impor tinggi. Sehingga dalam jangka panjang negara sesungguhnya dirugikan oleh kebijakan-kebijakan tersebut. Dengan sangat mudah kita bisa melihat saat ini Indonesia telah menjadi sebuah Predatory State yang mana dari waktu ke waktu selalu penaikan tarif pajak, BBM, listrik, jalan tol berbagai biaya perizinan. Di saat yang bersamaan daya beli masyarakat tidak mengalami penaikan, apabila terus dibiarkan maka dalam jangka panjang pada saatnya akan menyebabkan keterpurukan yang semakin mendalam.

Perilaku kalap rente yang dilakukan negara menurut Grindle (1989) pada akhirnya membuat masyarakat pun tertular virus rente sehingga menghasilan model masyarakat pemburu rente (rent seeking society model). Dalam model masyarakat ini pada level akar rumput adalah mereka yang menjual-belikan dukungan suaranya dalam pemilihan umum baik tingkat nasional seperti pileg dan pilpres maupun tingkat lokal seperti pemilukada provinsi dan kabupaten/kota. Pada level kelas menengah adalah kelompok kepentingan yang berupaya melakukan barter dukungan kepada partai politik dan politisi dengan imbalan sebuah pengalokasian sumber daya dalam bentuk kebijakan yang menguntungkan kelompok mereka. Dalam lapisan atas, kalangan pengusaha merupakan kelompok yang paling berkepentingan untuk melakukan negosiasi jual-beli dengan penguasa Predatory State yang didominasi oleh Power Seeking Politican dan Rent Seeking Bureaucrates.

Politisi Profesional

Ada dua cara dimana politik menjadi pekerjaan, yaitu seseorang hidup untuk politik atau hidup dari politik. Ia yang hidup untuk politik menjadikan politik sebagai hidupnya, atas dasar kesadaran mendedikasikan diri untuk sebuah jalan kekuasaan yang mana dipergunakannya bukan untuk menghasilkan pendapatan ekonomi pribadi dan kelompok melainkan untuk mencapai tujuan bersama.

Sedangkan yang hidup dari politik adalah mereka yang menjadikan politik sebagai sumber pendapatan permanen untuk hidupnya. Max Weber (1918) mengatakan, agar politisi tidak menjadi pencari nafkah dari kegiatan politiknya, maka dia harus terlebih dulu menjadi politisi profesional yaitu politisi yang mencapai kemapanan ekonomi sebelum terjun ke dunia politik. Para politisi  yang sudah mempunyai kekayaan materi diyakininya tidak akan mengeksploitasi hak prerogatif yang dimiliki demi kepentingan mendapatkan laba ataupun rente.

Sebagai sebuah konsepsi tampaknya politisi profesional sangat ideal, namun dalam realitanya pandangan Weber ini sudah tidak relevan dan sudah terpatahkan dengan banyaknya fenomena para politisi berlatar pengusaha yang terseret dalam berbagai skandal perugian negara. Meski begitu, konsepsi Weber tidak sepenuhnya gagal, karena dia mensyaratkan tiga hal yang sangat menentukan bagi politisi profesional yaitu gairah, rasa tanggung jawab, dan kesadaran akan proporsi. Mungkin ketiga syarat ini yang belum kita berhasil temukan pada sosok para politisi profesional di Indonesia saat ini, sehingga yang terjadi adalah penciptaan kerugian negara yang justru dilakukan oleh mereka.

Kita tidak sedang mengharapkan adanya kesadaran dalam diri para politisi profesional dan elit negara yang sedang bertikai agar segera menghentikan praktek perburuan laba, kita hanya berharap mereka mengetahui bahwa rakyat mencatat, mendengar dan menyaksikan perilaku mereka. Dan pada saatnya rakyat akan memberikan hukuman.

Penulis adalah pengurus Ikatan Alumni Ilmu Politik IISIP Jakarta dan mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA