Bekas anggota DPR dari daerÂah pemilihan Papua ini menÂegaskan, semua perjanjian yang dibuat pemerintah dengan PT Freeport hampir tidak menguntungkan masyarakat Papua.
Menurutnya, banyak negara dunia yang menawarkan kerÂjasama dengan Indonesia, seperti China dan Australia atau negara-negara lain, untuk meneruskan pengelolaan pertambangan di Papua.
Pemerintah Indonesia, lanjut Sabam, bisa meniru gebrakan Hugo Chavez yang dengan berani menasionalisasi perusaÂhaan-perusahaan minyak dan tambang milik Amerika Serikat di Venezuela. Dia mengambil alih seluruh perusahaan asing yang beroperasi di negaranya, meski harus membayar kompenÂsasi atas nasionalisasi tersebut.
"Bila perlu, Indonesia menÂgirim sebuah tim ke Venezualea, untuk mempelajari bagaimana mereka mengambil alih semua perusahaaan asing yang sejak lama beroperasi di negara itu," saran Sabam.
Dia mengaku tidak rela, jika pemerintah Indonesia dikibuli oleh perusahaan tambang raksaÂsa Freeport. Selain mengusulkan mengambil alih, Sabam menÂyarankan juga supaya meninjau para pemegang saham sejak era Orde Baru. Harus diperiksa, apa alasannya orang Indonesia ikut memegang saham PT Freeport, misalnya apakah karena mereka dulu berkuasa. "Yang ditinjau dengan Freeport itu menyeluruh, tidak hanya masalah yang seÂdang ramai saat ini," katanya.
Terkait dugaan pencatutan naÂma Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla oleh oknum anggota DPR, Sabam menilainya terÂlalu terlalu kecil. Menurutnya, pihak-pihak yang setuju dengan perpanjangan kontrak Freeport di Papua saat ini, justru untuk meraih keuntungan sendiri atau kelompoknya.
Bekas anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) ini menyaÂtakan, sudah lama mengusulkan supaya kontrak kerja sama antara PT Freeport dengan pemerintah RI ditinjau ulang.
Dia menyatakanh malah perÂnah berdebat dengan bos peÂrusahaan ini di New York, AS. Ketika itu, Sabam meminta perjanjian-perjanjian yang merugiÂkan Indonesia diperbaiki. "Saya tegaskan kepada bos Freeport, perjanjian juga bisa diubah," katanya.
Seperti diketahui, semasa menjabat Presiden Venezuela, Hugo Chavez mengeluarkan aturan mengenai kepemilikan domestik di tambang emas miniÂmal 55%, sisanya boleh dipeÂgang asing. Chavez beralasan, aturan ini diterbitkan dalam rangka kemandirian ekonomi nasional Venezuella.
Dia juga menilai, aturan ini akan menghilangkan 'mafia' yang selama ini menguasai perdagangan sumber daya alam Venezuela. Selain itu, perusaÂhaan asing yang menambang emas di Venezuela harus menyÂerahkan royalti 13 persen dari total produksi.
Venezuela masuk daftar pemiÂlik cadangan emas terbanyak urutan 15 di dunia dengan jumÂlah 365,8 ton berdasarkan
World Gold Council.Selain Venezuela, langkah seÂrupa juga pernah dilakukan peÂmerintah Bolivia. Dampaknya, salah satu capaian penting pasca nasionalisasi adalah penerimaan di sektor energi yang meningkat pesat.
Menurut Menteri Hidrokarbon Bolivia, Juan Jose Sosa, Bolivia telah mendapat keuntungan 16 miliar dolar AS sejak nasionalÂisasi energi oleh Evo Morales pada 2006.
"Tujuh tahun sebelum nasionÂalisasi, yaitu dari 1999 hingga 2005, negara hanya menerima 2 miliar dolar AS. Tujuh tahun setelah nasionalisasi, negara menerima 16 miliar dolar AS lebih," katanya.
Langkah nasionalisasi perÂtama diumumkan Presiden Evo Morales saat peringatan Hari Buruh se-Dunia pada 2006, yang mengambil alih tujuh perusaÂhaan minyak asing.
Pemerintah kemudian menÂgakuisisi saham dari perusahaan yang dinasionalisasi, seperti Repsol-Spanyol dan Petrobras-Brazil. Pemerintah juga meÂmaksa perusahaan lain, seperti Pluspetrol-Argentina dan Total-Perancis, untuk membuat konÂtrak baru.
Tak hanya itu, pasca nasionalÂisasi, investasi di sektor energi bukannya menurun, melainkan naik tiga kali lipat. Lima tahun sebelum nasionalisasi, investasi di sektor energi hanya 1.86 miliar dolar AS. Namun, dalam kurun waktu 2006-2012, nilai inÂvestasi telah meningkat menjadi 5.24 miliar US dollar.
Tak hanya itu, untuk pertama kali dalam sejarahnya, Bolivia akhirnya berhasil memiliki pabrik pemisahan gas alam cair. "Setelah kita merebut kembali kekayaan alam kita, sekarang kita jadi tanah air baru melalui industrialisasi," kata Morales.
Dengan keberadaan pabrik ini, Bolivia tak perlu mengimpor bahan bakar gas lagi dari luar. Maklum, pada 2012, Bolivia menghabiskan 48.9 juta dolar AS untuk subsidi elpiji dan 61 juta dolar AS untuk impor bahan bakar. ***
BERITA TERKAIT: