Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Amir Yanto mengatakan, kejaksaan akan meneliti dulu putusan Pengadilan Tipikor Jakarta yang menyatakan penuntutan terhadap Sudaryanto gugur.
"Apakah diputuskan pengadilan untuk dikembalikan keÂpada terdakwa atau disita negara untuk kepentingan lelang," kaÂtanya. Jika diputus disita untuk negara, aset terdakwa akan dilelang. Uangnya lalu disetor ke kas negara.
Amir menegaskan, kejaksaan siap melaksanakan eksekusi asal ada perintah dari pengadilan. "Kita tidak mau salah dalam meÂnentukan eksekusi," ujarnya.
Menurut sumber di kejaksaan, pihaknya tak bisa serta-merta mengembalikan aset maupun melelang aset meskipun terdakÂwanya sudah meninggal dunia. "Kalau ada tersangka lain meski perkara sudah putus, asetnya tidak langsung dikembalikan. Disita dulu sampai perkara terdakwa lainnya selesai," ujar pejabat tinggi kejaksaan itu.
Aset itu tetap ditahan sampai ada keputusan dari pengadilan yang final. "Hakim yang menenÂtukan nasib aset-aset terdakwa yang perkaranya sudah inkracht (berkekuatan hukum tetapâ€"red). Jaksa hanya menjalankan tugas sebagai eksekutor dari putusan pengadilan," sebutnya.
Sebelumnya, penyidik kejakÂsaan menyita dua motor Harley Davidson dan mobil mobil pengangkut motor gede itu dari rumah Sudaryanto di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Uang Rp 4 miliar milik Sudaryanto turut dibeslah.
Penyidik menganggap aset yang disita ini merupakan gratiÂfikasi. Ada kaitannya dengan pencairan kredit kepada PT First International Glove (FIG) sebesar 19,1 juta dolkar (sekitar Rp 191 miliar)
Perkara Sudaryanto dilimpahÂkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta pada 3 September 2015. Perkara itu didaftarkan dengan nomor 107/PID.SUS/TPK/2015/PN.JKT.PST.
Hakim yang ditunjuk meÂnyidangkan perkara ini adalah Sutarjo (ketua), Suradi (anggota) dan Joko Subagyo (anggota). Persidangan perdana digelar pada Kamis, 10 September 2015.
Jaksa Penuntut Umum Fatoni Hatam menjerat Sudaryanto dengan lima dakwaan alternatif. Yakni melanggar Pasal 5 ayat (2), atau Pasal 11, atau Pasal 12 huruf a, atau Pasal 12 huruf b, atau Pasal 12 B UU 31/1999 junto UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal-pasal itu mengatur soal pemberian hadÂiah kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berÂhubungan dengan jabatannya.
Sidang kasus Sudaryanto hanya sempat digelar dua kali, yakni pada 10 dan 17 September 2015. Sudaryanto meninggal 24 September lalu di Rumah Sakit Premiere Jatinegara, Jakarta Timur. Terdakwa meninggal dalam status tahanan. Sudaryanto ditahan sejak 23 Maret 2015. Penahanan diperpanjang hingÂga perkaranya disidangkan di pengadilan.
Pada 1 Oktober 2014, Pengadilan Tipikor Jakarta memutus, penuntutan terhadap Sudaryanto gugur karena terdakwa telah meninggal dunia.
"Membebankan biaya perkara kepada negara," sambung majelis dalam putusannya.
Dalam kasus pembobolan BRI Rp 191 miliar, Pengadilan Tipikor Jakarta telah menjatuhÂkan hukuman 10 tahun penjara kepada Hansen, Direktur Utama PT FIG. Ia terbukti menyeleÂwengkan kredit yang diterima dari bank pelat merah itu.
Hansen juga diharuskan memÂbayar denda Rp 500 juta dan membayar uang pengganti keruÂgian negara 19,1 juta dolar AS.
Tak terima dengan putusan itu, Hansen mengajukan banding. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta meralat putusan Pengadilan Tipikor Jakarta. Hansen tetap dihuÂkum 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta, namun tidak perlu membayar uang pengganti.
Putusan kasasi yang dibuat 13 Agustus 2014, mengembalikan hukuman Hansen seperti seÂmula: dihukum 10 tahun penjara dan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar 19,1 juta dolar AS.
Majelis hakim agung MAjuga memutuskan aset tanah Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) No.10/ Desa Sungai Pinang Kecamatan Tambang Ulang, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan dan SHGB No. 11/ Desa Sungai Pinang, Kecamatan Tambang Ulang, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan, dilelang unÂtuk menutupi kerugian negara.
Kini, Hansen tengah mengajuÂkan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
Kilas Balik
Kasusnya Sempat Mengendap 4 Tahun Di Gedung Bundar
Kejaksaan Agung sudah mengusut kasus pembobolan BRI sebesar Rp 191 miliar sejak 2011. Namun penahanan terhadap para tersangka dari pihak BRI baru dilakukan pada Maret 2015.
Bekas Direktur Kredit Menengah BRI Sudaryanto Sudargo menjadi orang yang pertama ditahan. Ia dijebloskan ke Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung usai menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar.
"Berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: Print-19./F.2/Fd.1/03/2015, tanggal 23 Maret 2015, tersangka ditahan selama 20 hari, terhitung sejak 23 Maret hingga 11 April 2015," ungkapKepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) saat itu, Tony T Spontana dalam keteranÂgan persnya.
Tony menjelaskan, penahanan ini bertujuan untuk memudahkan penyidik mempercepat penunÂtasan perkara yang selama ini mengendap lebih kurang empat tahun, untuk kemudian dilimpahkan ke pengadilan.
Sudaryanto telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 2011 laÂlu. Tersangka diduga menerima gratifikasi selama ia menjabat pimpinan bank pelat merah itu. Sejumlah asetnya pun disita. Di antaranya uang Rp 4 miliar, dua motor Harley Davidson dan dua mobil pengangkut Harley Davidson.
Tak berhenti kepada Sudaryanto, penyidik kejakÂsaaan juga menahan Bambang Wijayanto, Kepala BRI Cabang Sumenep. Saat pencairan kredit kepada PT FIG dia bertindak sebagai Analis Divisi Analisa Resiko Kredit di kantor BRI Pusat. R Basuki Wismantoro, Account Officer pada Divisi Agribisnis Kantor BRI Pusat juga dijebloskan ke tahanan.
Pihak swasta yang juga ditahan yakni Raden Weko Agiatman dan Muhammad Iqbal. Keduanya Asisten Manager di PT Hastamulya Tata Konsultan. Berikutnya, Imelda, Direktur PT First International Glove (FIG), perusahaan yang menÂerima kucuran kredit 19,1 juta dolar ASdari BRI.
Kasus ini bermula saat PT FIG mengajukan kredit pemÂbangunan pabrik sarung tangan di Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, sekitar 125 kilometer arah timur Banjarmasin, ibu kota Kalimantan Selatan.
Pembangunan pabrik ini ternyata fiktif. Penyidik kejaksaan juga mengecek dokumen kredit dan agunan yang dijadikan garansi kredit ke BRI. Ternyata juga fiktif.
Di Pengadilan Tipikor Jakarta, Imelda dinyatakan bersalah melakukan korupsi bersama-sama bosnya, Hansen dengan modus mengajukan kredit pemÂbangunan pabrik fiktif ke BRI. Ia pun diganjar hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Kini, perkaranya masih proses banding. ***
BERITA TERKAIT: