MENGENAL FIKIH KEBHINEKAAN (35)

Belajar Kearifan dari Fuqaha

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Kamis, 01 Oktober 2015, 10:04 WIB
Belajar Kearifan dari Fuqaha
nasaruddin umar/net
SIAPAPUN tidak etis mer­endahkan apalagi menghina para ulama Fikih (fuqaha). Jangan karena fikih yang pernah ditetapkannya dirasa­kan sudah termakan usia lalu dengan begitu saja mencam­pakkannya, apalagi dituding bertanggung jawab terhadap kejenuhan umat Islam. Mung­kin fikih yang ditetapkannya ada yang tidak lagi sesuai dengan kondisi zaman sekarang, tetapi kaedah-kaedah ushul yang mereka rumuskan be­lum tentu ikut tidak relevan. Boleh jadi sudah tidak relevan tetapi kaedah-kaedah ushul yang pernah mereka rumuskan masih tetap relevan.

Meskipun mereka hidup di dalam masa lam­pau, lebih dari 1000 tahun silam, seperti para pendiri mazhab, Imam Abu Hanifah, Imam Ma­lik, Imam Syafi', dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Imam Syafi' yang pendapatnya paling berpen­garuh di Afrika, termasuk Mesir, dan Asia Teng­gara, lahir di Gazza pada tahun 150H/767M, karya-karyanya luar biasa pengaruhnya di dalam perkembangan hukum, bukan saja di dunia Islam tetapi juga dijadikan rujukan di dalam pembinaan hukum pada awal kebangkitan Eropa. Asas-asas hukum internasionalnya banyak memberikan roh di dalam hukum internasional modern.

Di antara contoh kaedah-kaedah fikih (al-qawa'd al-fiqhiyyah) yang masih relevan dan san­gat menakjubkan untuk dialektika pembinaan hu­kum antara lain sebagai berikut: Dar' almafāsid muqqadam 'alā jalb almashālih (menghindari bahaya didahulukan daripada melaksanakan (kewajiban) yang baik). Maksudnya jika dalam suatu hal terjadi pertentangan antara ancaman bahaya dan kerusakan (mafsadah) dengan uru­sakan kebajikan (mashlahah), maka diutamakan menghindarkan mafsadah, karena syari'ah lebih menekankan larangan agar tidak terjadi kebu­rukan atau kerusakan daripada perintah untuk melaksanakan kebaikan. Kaedah ini sesung­guhnya kristalisasi dari sejumlah ayat dan hadis yang dipadatkan menjadi sebuah kaedah yang lebih memudahkan kita untuk memproduksi hu­kum. Contoh penerapannya, jika seseorang tidak mampu berdiri dalam salat karena sakit dan jika dipaksakan akan berakibat buruk, maka diutama­kan menghindari bahaya itu dengan cara shalat duduk atau berbaring jika tidak mampu duduk. Sejalan dengan kaedah ini ditemukan juga kae­dah yang saling mendukung, yaitu: Idza ta'āradha mafsadatāni rū'iya a'zhamuhā dhararan bi irtikāb akhaffihimā (jika terjadi benturan dua hal yang sa­ma-sama buruk maka dihindari yang lebih besar buruknya dan melaksanakan yang paling kecil akibat buruknya).

Contoh lain, mā lā yatimm alwājib illā bihī fa huwa alwājib (jika suatu kewajiban tidak bisa dicapai dengan sempurna kecuali dengan syarat tertentu, maka syarat itu wajib). Kaedah ini bisa membenarkan kita untuk melakukan penambahan hukum di luar perintah atau larangan sebagaimana tertera di dalam teks ayat dan hadis. Contohnya, perintah shalat dalam Al-Qur'an (aq­imu al-shalah). Kelihatannya hanya satu perintah, yaitu melaksanakan shalat. Akan tetapi salahsatu persyara­tan shalat ialah berwudhu, maka wudhu ikut menjadi wajib atau bertayammum jika tidak ada air. Bahkan implisit diperintahkan juga mengusakan air atau tanah. Contoh lebih kongkrit; "Bersihkan ruangan ini!". Secara otomatis diperintahkan juga untuk mengambil sapu, alat pengepel, air, dll.

Kaedah-kaedah yang telah ditetapkan oleh para ulama fikih terdahulu teramat sulit untuk ditemukan seorang ulama modern mampu mer­umuskan kaedah-kaedah serupa. Mungkin yang bisa dilakukan saat ini ialah konsorsium para ula­ma dan para saintis untuk merumuskan kaedah-kaedah baru untuk melengkapi kaedah-kaedah yang sudah ada. Allahu a'lam. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA