MENGENAL FIKIH KEBHINEKAAN (15)

Menegakkan Keadilan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 11 September 2015, 09:43 WIB
Menegakkan Keadilan
nasaruddin umar/net
FIKIH Kebhinnekaan (FK) harus tetap dapat mewujud­kan rasa adil kepada semua pihak, baik sesama umat Islam maupun kepada non-muslim. Salahsatu inti aja­ran Islam ialah menegakkan keadilan. Nabi Muhammad Saw adalah sosok figur pen­egak keadilan. Karena sikap keadilannya maka dikagumi oleh kawan dan la­wan. Ia selalu menganjurkan sahabatnya agar selalu mengedepankan dan menegakkan rasa adil di dalam masyarakat, termasuk kepada penduduk non-mulim, sebagaimana disampai­kan dalam firman Allah Swt: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Q.S. al-Maidah/5: 8).

Penegakan rasa adil tidak boleh memihak. Nabi mencontohkan penegakan keadilan kepa­da semua, tanpa membedakan etnik, agama, dan kelas masyarakat. Banyak hadis yang da­pat dijadikan sebagai bukti betapa Nabi sangat concern terhadap perlakuan adil terhadap pen­duduk atau etnik tertentu, termasuk perbedaan warna agama, aliran dan kepercayaan. Nabi selalu menyerukan pada setiap kali terjadi pep­erangan agar jangan membunuh penduduk sipil yang tak berdosa, mengganggu anak-anak dan janda. Nabi juga tidak pernah membeda-beda­kan orang berdasarkan warna kulit. Muazzin yang selalu dipercaya Nabi ialah Bilal, seorang muallaf dari Afrika yang berkulit hitam.

Nabi juga pernah sangat marah kepada Usamah, sang Panglima Angkatan Perang lantaran mem­bunuh salah seorang musuh yang terpojok lalu tiba-tiba meneriakkan yel-yel dua kalimat syaha­dat: Asyhadu an lailaha illallah wa asyhadu anna muhammadun Rasulullah. Nabi bertanya apa alasannya membunuh orang yang sudah ber­syahadat. Dijawab oleh Usamah: Ia bersyahadat kerena terpojok. Seandainya ada kesempatan untuk lolos pasti dia tidak bersyahadat. Meskip­un demikian Nabi tetap mencela perbuatan Usa­mah dengan mengatakan: Nahnu nahkum bi al-dhawahir wallah ya tawalla al-sarair (Kita hanya menghukum apa yang tampak, Allah yang Maha Mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati). Ini semua menjadi bukti nyata bahwa betapa Rasulullah selalu memberikan rasa adil kepada segenap umatnya, termasuk kepada umat non-muslim. Para sahabat pun ikut mencontoh seperti apa yang pernah dicontohkan Rasulullah Saw.

Dalam satu riwayat lain menceritakan Anas ibn Ma­lik bahwa ia pernah bersama Umar ibn Khaththab tiba-tiba didatangi seorang non-muslim dari Mesir mengadukan halnya: Wahai Amirul Mukminin, Amr ibn 'Ash pernah mengadakan perlombaan pacuan kuda dan aku yang menang, namun tiba-tiba putra Ibn 'Ash bernama Muhammad mengklaim keme­nangan itu dengan mengatakan itu kudanya. Aku tetap mempertahankan bahwa itu bukan kudanya tetapi kudaku, hingga Muhammad ibn Ash men­cambuknya. Setelah itu ia mengatakan ambillah kudamu aku ini adalah putra yang mulia Amr ibn 'Ash. Menanggapi laporan dari non-muslim Mesir itu, maka Umar ibn Khaththab menyurat ke Amr ibn 'Ash agar ia bersama putranya, Muhammad sega­ra menemuinya. Akhirnya ia bersama putranya da­tang menemui Umar ibn Khaththab, sedangkan Mu­hammad ibn 'Ash bersembunyi di belakang orang tuanya. Umar mencari orang Mesir yang pernah dianiaya lalu diperintahkan untuk mencambuk Mu­hammad hingga memar. Umar menyampaikan ke­pada lelaki non-muslim yang berkebangsaan Mesir itu untuk melaporkan halnya kepadanya tanpa kha­watir. Bisa langsung atau dalam bentuk surat. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA