Fikih selalu mengalami perkembangan seirÂing perkembangan zaman. Sebagai artikulasi dari hukum-hukum dasar yang bersumber dari Syari'ah, maka fikih cenderung memiliki berbagai corak yang sesuai dengan kondisi di mana fikih itu berkembang. Ada fikih yang bercorak budaya kontinental, cenderung memberikan pengakuan terhadap stratifikasi dan struktur masyarakat continental yang bertingkat-tingkat, seperti umÂumnya fikih yang berkembang di kawasan Timur Tengah. Ada juga fikih yang bercorak maritim, yang lebih terbuka terhadap berbagai perbeÂdaan, seperti halnya kecenderungan fikih yang berkembang di negara-negara yang berkultur maritime seperti di Indonesia.
Fikih juga dipengaruhi oleh mazhab para penÂganjurnya. Misalnya mazhab Maliki yang sangat berpengaruh di kawasan Saudi Arabiah, karena Imam Malik lahir, besar, dan mengembangÂkan pikirannya di kawasan ini. Mazhab Syafi'i yang berkembang di kawasan Mesir karena Imam Syafi’ pernah lebih lama tinggal di sana. Indonesia dan kawasan Asia Tenggara yang lebih banyak menimba ilmu pengetahuan agama di Mesir juga memberi pengaruh besar mazhab Syafi' di kawasan Nusantara. Mazhab Abu Hanifah yang sangat moderat sesuai dengan kondisi masyarakat Turki yang lebih sekuler.
Indonesia memiliki kekhususan di banding negara-negara tetangganya seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand Selatan. Indonesia, khususnya diwakili oleh NUdan Muhammadiyah, tidak terlalu terikat oleh maÂzhab Syafi'i seperti halnya negara-negara kawasan Asia Tenggara lainnya. NU, sesuai dengan apa yang disimbolkan di dalam lambangnya berupa tali longgar dan menghimpun sembilan bintang sekaÂligus. Bintang paling besar menyimbolkan Tuhan (Allah Swt), kemudian Nabi Muhammad Saw, lalu disusul empat bintang lainnya yang menyimbolkan Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi', dan Imam Ahmad ibn Hambal. Dari penampilan lamÂbang NUsesungguhnya mengisyaratkan bahwa sejak awal berdirinya sudah melambangkan Fikih Kebhinnekaan.
Fikih sebagai pemikiran hukum yang bersumÂber dari pemahaman Al-Qur'an dan Hadis, tentu memang tidak bisa dipisahkan dengan Syari'ah. Namun Fikih dan Syari'ah itu sendiri tidak identik. Syari'ah adalah hukum dasar yang tidak bisa berubah sepanjang zaman, kapan pun dan di mana pun. Sedangkan Fikih lebih elastis dan fleksibel, bisa berubah menurut kondisi zaman dan tempat. Syari'ah lebih bersifat global dan universal, sedangkan Fikih lebih bersifat khusus dan fakultatif. Pengakuan adanya fikih Indonesia, Fikih Nusantara, Fikih Kebhinnekaan, atau mau disebut apa saja, tidak memberikan banyak penÂgaruh terhadap persatuan dan kesatuan umat Islam yang dipersatukan oleh Syari’ah. ***