Islam Nusantara lebih akbrab dengan Islam inklusif, sebuah pemahaman yang selalu beruÂsaha menampilkan Islam sebagai ajaran agama yang penuh dengan kasih sayang (rahmah), tolÂerans (tasamuh), keadilan ('adalah), menekankan aspek pertemuan, titik temu, dan perjumpaan (kaÂlimah sawa'); bukannya menampilakan kekerasÂan (tasyaddud) dan terorisme (irhab).
Islam inklusifisme juga ramah terhadap lingÂkungan alam dan lingkungan social. Islam yang bisa tegak di atas atau di samping nilai-nilai lokal-kultural, Islam yang memberi ruang terhÂadap kearifan lokal. Bahkan Islam yang mamÂpu menjadi wadah peleburan (melting pot) terÂhadap pluralitas nilai dan norma yang hidup di dalam masyarakat. Kehadiran Islam tidak mesti menyingkirkan nilai-nilai lokal setempat. Meskipun Islam sarat dengan nilai-nilai univerÂsal tetapi konsep universalitasnya tidak tertuÂtup, melainkan terbuka.
Para penganjur Islam di wilayah Nusantara mencontoh Nabi di dalam mengembangkan ajaÂran Islam di tanah Arab, khususnya di Madinah. Nabi Muhammad Saw mambangun peradaban Islam bukan memulai dari nol tetapi bagaimana melestarikan yang sudah baik dan mengembangÂkan yang masih sederhana, dan mengkreasikan sesuatu yang belum ada. Ini dipertegas dalam hadis Nabi: Innama bu’itstu li utammi makarim al-akhlaq (Sesungguhnya aku diutus untuk meÂnyempurnakan akhlak mumulia). Tamma berarti menyempurnakan yang sudah ada dan akhlaq ialah sebuah kreasi positif. Nilai-nilai lokal tidak perlu terancam dengan kehadiran Islam.
Ketegangan konseptual terjadi mana kala nilai-nilia universal difahami secara kaku di satu sisih, sementara di sisih lain berhadapan dengan faÂnatisme buta penganut nilai-nilai local. PemanÂdangan seperti ini sering terjadi tetapi biasanya dapat diselesaikan dengan kearifan tokoh penÂganjur kedua belah pihak. Titik temu atau jalan tengah biasanya diambil melalui persepakaÂtan adat-istiadat setempat. Dalam Islam hal ini dimungkinkan karena penerapan nilai-nilai Islam tidak serta-merta harus dilakukan sekaligus. TuÂhan Yang Maha Kuasa pun memberi waktu 23 taÂhun untuk turunnya keseluruhan ayat Al-Qur’an. Penerapan nilai-nilai Islam dikenal perinsip tadarÂruj, yaitu penerapan nilai-nilai secara berangsur, tahap demi tahap. Selain itu juga dikenal dengan sedikit demi sedikit (taqlil al-taklif) hingga pada saatnya menjelma menjadi nilai-nilai yang utuh. Keutuhan nilai-nilai universalitas Islam dicapai melali sinergi antara nilai-nilai lokal dengan ajaran dasar Islam. ***