MENGENAL ISLAM NUSANTARA (9)

Bercorak Inklusif

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Kamis, 13 Agustus 2015, 08:38 WIB
Bercorak Inklusif
nasaruddin umar/net
DALAM lintasan sejarah perkembangan Islam dike­nal ada dua corak pemaha­man dan penghayatan Is­lam, yaitu corak ekslusif dan corak inklusif. Yang pertama terlalu berorientasi pada teks di dalam memahami dali-dalil agama, sehingga cenderung "hitam-putih" dan formalistik di dalam memahami ajaran Is­lam. Sedangkan yang kedua lebih berorientasi pada konteks sehingga terkesan lebih fleksibel di dalam memahami ajaran Isla. Keduanya sa­ma-sama sebagai muslim dan berpegang teg­uh pada nili dasar Islam tetapi keduanya ber­beda dalam soal non-dasar (furu'iyyah). Yang pertama lebih menekankan aspek fikih (madza­hib oriented) dan yang kedua lebih menekank­an ushul fikih (maqashid oriented).

Islam Nusantara lebih akbrab dengan Islam inklusif, sebuah pemahaman yang selalu beru­saha menampilkan Islam sebagai ajaran agama yang penuh dengan kasih sayang (rahmah), tol­erans (tasamuh), keadilan ('adalah), menekankan aspek pertemuan, titik temu, dan perjumpaan (ka­limah sawa'); bukannya menampilakan kekeras­an (tasyaddud) dan terorisme (irhab).

Islam inklusifisme juga ramah terhadap ling­kungan alam dan lingkungan social. Islam yang bisa tegak di atas atau di samping nilai-nilai lokal-kultural, Islam yang memberi ruang terh­adap kearifan lokal. Bahkan Islam yang mam­pu menjadi wadah peleburan (melting pot) ter­hadap pluralitas nilai dan norma yang hidup di dalam masyarakat. Kehadiran Islam tidak mesti menyingkirkan nilai-nilai lokal setempat. Meskipun Islam sarat dengan nilai-nilai univer­sal tetapi konsep universalitasnya tidak tertu­tup, melainkan terbuka.

Para penganjur Islam di wilayah Nusantara mencontoh Nabi di dalam mengembangkan aja­ran Islam di tanah Arab, khususnya di Madinah. Nabi Muhammad Saw mambangun peradaban Islam bukan memulai dari nol tetapi bagaimana melestarikan yang sudah baik dan mengembang­kan yang masih sederhana, dan mengkreasikan sesuatu yang belum ada. Ini dipertegas dalam hadis Nabi: Innama bu’itstu li utammi makarim al-akhlaq (Sesungguhnya aku diutus untuk me­nyempurnakan akhlak mumulia). Tamma berarti menyempurnakan yang sudah ada dan akhlaq ialah sebuah kreasi positif. Nilai-nilai lokal tidak perlu terancam dengan kehadiran Islam.

Ketegangan konseptual terjadi mana kala nilai-nilia universal difahami secara kaku di satu sisih, sementara di sisih lain berhadapan dengan fa­natisme buta penganut nilai-nilai local. Peman­dangan seperti ini sering terjadi tetapi biasanya dapat diselesaikan dengan kearifan tokoh pen­ganjur kedua belah pihak. Titik temu atau jalan tengah biasanya diambil melalui persepaka­tan adat-istiadat setempat. Dalam Islam hal ini dimungkinkan karena penerapan nilai-nilai Islam tidak serta-merta harus dilakukan sekaligus. Tu­han Yang Maha Kuasa pun memberi waktu 23 ta­hun untuk turunnya keseluruhan ayat Al-Qur’an. Penerapan nilai-nilai Islam dikenal perinsip tadar­ruj, yaitu penerapan nilai-nilai secara berangsur, tahap demi tahap. Selain itu juga dikenal dengan sedikit demi sedikit (taqlil al-taklif) hingga pada saatnya menjelma menjadi nilai-nilai yang utuh. Keutuhan nilai-nilai universalitas Islam dicapai melali sinergi antara nilai-nilai lokal dengan ajaran dasar Islam. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA