MENGENAL ISLAM NUSANTARA (8)

Senafas Dengan Warisan Spiritual Bangsa

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 12 Agustus 2015, 10:01 WIB
Senafas Dengan Warisan Spiritual Bangsa
nasaruddin umar/net
RANGKAIAN artikel penu­lis terdahulu tentang Agama dan Kepercayaan Lokal (35 artikel) di Harian ini, telah di­jelaskan bahwa pada umum­nya dasar kepercayaan dan agama leluhur berbagai etnik yang mendiami kepulauan Nusantara ini sudah familiar dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hanya saja istilah lokalnya yang berbeda-beda. Dari ujung ke ujung bumi Nusantara ini kita bisa menemukan carakter dasar agama dan ke­percayaannya ialah monoteisme, meskipun da­lam fraksis menampilkan corak-corak sinkretis. Hal inilah yang memudahkan penerimaan agama Islam di Indonesia yang dikenal sebagai salah­satu agama penganjur monoteisme.

Sebagai contoh, kepercayaan Bugis pra Islam adalah kepercayaan monoteisme, sebuah faham keagamaan yang percaya kepada hanya satu Tu­han, yang dikenal dengan istilah Dewata Sewwae. Prof. Mattulada, seorang ahli sejarah dan antropolo­gi Bugis-Makassar-Mandar, memperkuat asumsi ini dengan merujuk sejumlah bukti dan sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Termasuk buk­ti tersebut ialah Sure' (manuskrip) Lagaligo, yang berkali-kali menyatakan sistem religi masyarakat Bugis menyembah Dewata Sewwae (Tuhan YME). Dewata Sewwae dilukiskan sebagai To Palan­roe (Sang Maha Pencipta), dan Patotoe (Yang Maha Menentukan Nasib). Dalam bahasa Bugis, kata Dewata bisa mempunyai beberapa arti. Jika dibawa "De'watngna" berasal dari kata de (tidak) dan watang (batang, wujud) berarti "tanpa wujud", De'watangna (tak berwujud). Sering dikatakan: "Nai­yya Dewata Seuwae Tekkeinnang" (Adapun Tuhan YME tidak beribu dan tidak berayaalam Lontara Sangkuru' Patau’ Mulajaji sering juga digunakan isti­lah Puang SeuwaE To PalanroE", yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta). Dengan demikian konsep "Dewata Seuwae" adalah Tuhan YME dan tidak mempunyai wujud biasa seperti makhluknya.

Contoh lain inti ajaran agama Slam Sun­da Wiwitan (SSW) juga didasari oleh faham monoteisme. Masyarakat Sunda kuno menjalin hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa, yang juga dikenal sebagai Sanghyang Kersa (Yang Maha Kuasa). Doktrin ajaran agama SSW dikemas dalam bentuk Pikukuh Karuhun, pera­turan yang harus ditaati yang merupakan warisan dan amanah leluhurnya. Dalam Pikukuh Karuhun diajarkan bagaimana berbuat baik secara tulus, tanpa syarat, dan tanpa banyak bertanya dan menggunakan logika, yang dikenal dengan isti­lah Kudu Benar. Sebaliknya juga harus menjauhi larangan, pantangan, dan hal-hal yang tercela, yang disebutnya dengan Kabuyutan.

Ajaran agama SSW sangat dekat dengan Is­lam. Itulah sebabnya ada yang menatakan Slam diambil dari Islam, karena dalam upacara penting seperti perkawinan dan khitanan (sunat) selalu diawali dengan pengucapan dua kalimat syaha­dat, sebagaimana layaknya syahadatnya orang Islam: Asyhadu anlal Ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasululullah. Sebelum sya­hadat, biasanya diawali dengan: A'udzu billahi mi­nass syaithanir rajim, bismillahir rahmanir rahim. Setelah syahadat ditambahkan lagi dengan: Alla­humma shalli 'ala sayyidina Muhammad Menurut kepercayaan SSW Nabi Muhammad. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA