MENGENAL ISLAM NUSANTARA (7)

Islam yang Berkultur Maritim

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 11 Agustus 2015, 10:30 WIB
Islam yang Berkultur Maritim
nasaruddin umar/net
HAMPIR semua agama ditu­runkan di dalam masyarakat yang berkultur daratan (conti­nental culture), seperti Hindu, Budha, Khinghucu, Yahudi, Nasrani, dan tidak terkecuali Islam. Sudah barangtentu kitab-kitab suci agama-agama tersebut difahami berdasar­kan alam bawah sadar masyarakat yang berkultur maritim. Persoalannya ialah semua agama diturunkan untuk manusia secara keseluruhan tanpa membedakan jenis kelamin, et­nik, warna kulit, kewarganegaraan, termasuk kultur. Setiap etnik memiliki hak-hak kultural (cultural right). Jika pada masyarakat kontinental memiliki cultural right untuk menafsirkan kitab suci maka masyarakat yang berbudaya kelautan (maritime cultures) juga memiliki hak-haknya untuk menafsirkan kitab suci menurut kondisi obyektifnya.

Secara antropologis dan sosiologis kita bisa memetakan perbedaan cara pandang (world views) dan kosmologi antara masyarakat con­tinental dan masyarakat maritime. Masyarakat continental sering dicirikan dengan sebuah masyarakat yang memiliki lapis-lapis masyarakat (social stratifications) yang beragam. Anggota masyarakatnya memiliki kelas-kelas sosial (so­cial structure) yang bertingkat-tingkat. Semakin tinggi kelas suatu kelompok semakin banyak mereka memiliki hak-hak privacy dan privilege. Elit-elit masyarakat continental dalam lintasan sejarah sering dicirikan sebagai 'tuan tanah', memiliki peluang politik lebih besar untuk men­guasai masyarakat, dan sering dijadikan seba­gai referensi di dalam masyarakat.

Sedangkan masyarakat maritime juga memi­liki world views dan kosmologi tersediri (lihat ar­tikel terdahulu di Harian ini), juga sering diciri­kan dengan sifat dan karakternya yang lebih terbuka, egalitarian, dengan stratifikasi dan struktur masyarakat yang sederhana. Alamnya berupa pulau yang bentangan pantainya san­gat panjang membuatnya lebih terbuka dan lebih gampang menerima perbedaan. Filosopi masyarakat maritime pantai adalah milik bersa­ma. Siapapun berhak menambakkan perahu di pantai manapun. Dengan demikian wajar kalau masyarakatnya lebih bersifat egaliter, akomo­datif, adaptatif, tolerans, bertenggang rasa, dan ramah. Karakter seperti ini tidak mudah ditemu­kan di negeri continental.

Mungkin inilah rahasianya, mengapa Tuhan menurtunkan hampir semua agama di dalam masyarakat continental, terutama agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Yahudi Kristen, Khon­ghucu, dan Islam. Demikian pula semua Nabi dan Rasul-Nya diturunkan di negeri continental. Tidak pernah dikenal ada Nabi atau Rasul turun di neg­eri maritime. Mungkin rahasianya antara lain, jus­tru tantangan dunia kemanusiaan itu pada um­umnya datang dari masyarakat continental. Sikap ketidak adilan, diskriminasi, dan penindasan leb­ih banyak melekat pada masyarakat continental ketimbang masyarakat maritime.

Dalam masyarakat maritime seperti di ka­wasan Nusantara, Tuhan tidak perlu menurunk­an wahyu, Nabi, dan atau Rasul di sana kar­ena basic karakternya sudah lebih soft. Cukup Ia mengutus Wali Songo maka masyarakat Nu­santara sudah bisa menjadi muslim/muslimah yang baik. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA