WAWANCARA

Anang Iskandar: Biar Jera, Putus Jaringan Komunikasi Pengedar Narkoba & Sita Asetnya

Rabu, 05 Agustus 2015, 10:24 WIB
Anang Iskandar: Biar Jera, Putus Jaringan Komunikasi Pengedar Narkoba & Sita Asetnya
Anang Iskandar/net
rmol news logo Di era pemerintahan Jokowi-JK sudah dua gelombang dieksekusi mati terhadap terpidana kasus narkoba.

Tapi tindakan tegas dengan hukuman berat tersebut tidak berimbas efek jera terhadap orang-orang yang berkecimpung di bisnis haram ini.

Faktanya, Jumat (10/7) lalu, Polda Metro Jaya kembali mengungkap kasus penyelundupan besar. Tidak tanggung-tanggung, 360 kilogram narkoba jenis sabu. Disinyalir dari jaringan sindikat Hong Kong.

Apa ini mengindikasikan hukuman mati belum cukup ampuh membersihkan narkoba dari Indonesia? Bagaimana tang­gapan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Anang Iskandar?

Jenderal bintang tiga itu mengurai sejumlah akar permasala­han. Di atas kertas, dibuatnya coretan peta persoalan dan strategi yang tengah digagasnya.

Berikut wawancara Rakyat Merdeka dengan Anang Iskandar, di ruang kerjanya, kantor BNN, Jakarta, Senin (3/8):

Apa eksekusi mati tidak mempan membuat efek jera bagi orang yang berkecim­pung di bisnis ini?
Bukan tidak mempan, tapi ek­sekusi mati saja belum cukup.

Apa lagi yang dilakukan?
Kita juga harus memutus ko­munikasi dan menyita seluruh asetnya. Sebab ketika pelakunya ditahan, selama ini komunikas­inya masih jalan dan asetnya tidak disita. Makanya sang pelaku masih punya kemampuan menjalankan bisnisnya. Dari balik jeruji penjara sekalipun. Ini yang tak membuat efek jera.

Meskipun nantinya diek­sekusi mati?
Walaupun si pelaku mati, tapi jaringannya masih hidup, masih banyak. Maka, komunikasi ke jaringannya ini harus diputus total.

Bagaimana caranya agar jaringan dan komunikasi pengedar di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) bisa benar-benar diputus?
Setiap Lapas tidak boleh ada sinyal atau jaringan, atau dirusak jaringannya.

Apa itu sudah jalan?
Belum semua, kan Lapas banyak sekali di Indonesia. Tapi sudah kita sampaikan kepada Kemenkumham, kita ada forum informal yang dilakukan secara periodik, untuk menyatukan persepsi terkait hal itu. Mulai dari Mahkamah Agung, Jaksa, Polisi, Kemenkumham, dan BNN.

Kenapa jaringan penge­darnya masih saja betah beroperasi di Indonesia?
Karena permintaannya masih banyak. Setiap tahun terus meningkat. Itu kan ibaratnya dalam ilmu ekonomi disebut supply and demand. Ketika permintaan­nya banyak, akan ada saja yang berupaya untuk memasok.

Kok bisa permintaan semakin meningkat, apa akar masalahnya?
Nah itu, kita selama ini be­lum ada pemahaman yang utuh antara para penegak hukum un­tuk penanganan kasus narkoba.

Maksudnya?
Ketika ada penyalahguna narkoba, mereka ditahan, bukan direhabilitasi. Yang ditahan, bukannya sembuh tapi malah menjadi pencandu. Bayangkan ada sekitar 21.000 lebih penyalahguna yang dipenjara. Jika mereka penyalahguna, tidak direhabilitasi, maka akan men­jadi pecandu. Kebutuhannya akan narkotika semakin besar. Akibatnya, potensi permintaan narkoba di Indonesia juga men­jadi semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Bukankah di dalam un­dang-undang juga memuat hukuman penjara bagi penyalahguna?
Ya, tapi pemahamannya harus utuh. Dalam pasal 54 UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika misalnya, di situ disebutkan, pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wa­jib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Maka penyalahguna dan pecandu itu perlu di-assessment, keterangan tingkat kecanduan. Setelah dike­tahui, harus ditransformasikan melalui assessment baru men­jadi pecandu, hukumnya wajib direhabilitasi.

Bagaimana dengan yang secara sukarela menyerahkan diri untuk direhabilitasi, apa ada potensi dituntut pidana?

Kalau dia atau keluarganya secara sukarela lapor ke rumah sakit, maka orang ini tidak di­tuntut pidana dan mendapatkan rehabilitasi. Gratis. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA