Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kontra Reformasi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/m-a-hailuki-5'>M.A. HAILUKI</a>
OLEH: M.A. HAILUKI
  • Sabtu, 30 Mei 2015, 09:10 WIB
<i>Kontra Reformasi</i>
ilustrasi/net
TIGA dari enam agenda yang menjadi misi suci Gerakan Reformasi 98 pada hakikatnya adalah pemberantasan korupsi. Ketiga agenda tersebut yaitu adili Soeharto beserta kroni, tegakkan supremasi hukum, dan ciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Sementara tiga agenda lainnya adalah amandemen UUD 1945, hapus Dwifungsi ABRI, dan laksanakan otonomi daerah.

Perjuangan pemberantasan korupsi merupakan misi prioritas bagi transisi demokrasi Indonesia, karena sebagai sebuah extra ordinary crime, korupsi telah merusak dan merasup ke berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi tidak cukup hanya diselesaikan dengan pergantian elite, melainkan melalui berbagai upaya baik secara struktural maupun behavioral.

Empat Presiden telah berganti memimpin Indonesia di Era Reformasi, yaitu Presiden Gus Dur, Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan terkini Presiden Joko Widodo. Pada setiap masa kepemimpinan tersebut terdapat berbagai kebijakan yang diambil sebagai upaya memerangi dan memberantas korupsi.

Presiden Gus Dur memisahkan Polri dari ABRI, dan berupaya menjadikannya sebagai aparat profesional. Presiden Megawati mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga khusus anti-rasuah. Presiden SBY membentuk Tim Pemberantas Korupsi (Timtas Tipikor) sekaligus memperkuat posisi KPK serta memberi izin pemeriksaan kepada ratusan pejabat negara yang terindikasi korupsi.

Kini pada era Presiden Jokowi, dalam usia pemerintahan yang relatif masih pendek, perjuangan pemberantasan korupsi dihadapkan kepada realita pahit. Polri menetapkan status tersangka kepada dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, serta seorang penyidik KPK, Novel Baswedan.

Konflik yang terjadi antara KPK dan Polri bukan yang pertama, sebelumnya pada era Presiden SBY juga pernah terjadi. Konflik ini dikenang dengan istilah Cicak Vs Buaya, yang merupakan analogi dari dua kekuatan penegak hukum dimana KPK dipersepsikan sebagai cicak, KPK sedangkan Buaya diasosiasikan kepada Polri.

Saat itu Kabareskrim Komjen Susno Duadji yang menuduh KPK telah menyadapnya, melakukan 'counter attack' dengan cara menetapkan Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah sebagai tersangka kasus pelanggaran prosedur penerbitan dan pencabutan cegah-tangkal ke luar negeri. Kasus ini dihentikan Kejaksaan Agung melalui Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP), atas instruksi Presiden SBY.

Kini, meski Presiden Joko Widodo secara tegas telah memerintahkan Polri untuk tidak melakukan kriminalisasi terhadap KPK, namun titah presiden itu seolah tak dianggap sebagai sabda pandita ratu, bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla menggangap proses hukum terhadap pimpinan dan penyidik KPK bukan kriminalisasi, (Republika, 1 Mei 2015).

Kontra Reformasi

Lantaran pemberantasan korupsi merupakan misi utama Agenda Reformasi, maka perjuangan mendukung atau menolak pemberantasan korupsi dapat dipandang juga sebagai gerakan politik, tidak semata langkah hukum saja. Pendukung pemberantasan korupsi adalah aksi pro-reformasi, dan penolak pemberantasan korupsi adalah kontra reformasi.

Kontra reformasi merupakan perjuangan terselubung yang eksis sejak awal Era Reformasi hingga hari ini, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kontra reformasi adalah upayamemanipulasi gerakan reformasi dari dalam dengan cara memanfaatkan struktur, sistem, dan prosedur yang ada, para elite tersebut melancarkan reformasi tandingan (counter reform) untuk memastikan bahwa gerakan reformasi yang sedang berlangsung tidak mengusik kepentingan-kepentingan yang dimiliki, (Syarif Hidayat, LIPI, 2014).
 
Dalam konteks perjuangan pemberantasan korupsi, agen-agen kontra reformasi sedang beroperasi di dalam internal Polri. Mereka, dengan memanfaatkan struktur, sistem dan prosedur yang ada melakukan manipulasi melaksanakan misi suci Agenda Reformasi penegakan supremasi hukum dan penciptaan pemerintahan yang bersih berwibawa.
 
Seolah-olah Polri sedang melakukan penegakan supremasi hukum, seolah-olah Polri sedang menegakkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa dengan cara penetapan tersangka terhadap komisioner dan penyidik KPK. Namun sesungguhnya, oknum petinggi Polri tengah melemahkan dan bahkan melumpuhkan KPK agar tidak mengusik kepentingan-kepentingan Polri baik oknum individu maupun lembaga.
 
Pelemahan KPK, yang merupakan bentuk nyata dari resistensi terhadap perjuangan pemberantasan korupsi, dapat dipandang sebagai bagian dari fenomena kontra reformasi. Bahkan dengan terulangnya kembali Cicak Vs Buaya, maka kontra reformasi tidak hanya sebagai sebuah fenomena, melainkan juga gerakan politik yang laten.
 
Pantas kiranya bila kontra reformasi dikatakan sebagai sebuah gerakan politik, karena 17 tahun Era Reformasi berjalan fenomena itu tetap eksis dengan berbagai modusnya. Yang paling nyata dihadapi saat ini adalah penetapan Novel Baswedan sebagai tersangka kasus dugaan pelanggaran prosedur penangkapan. Adapun Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus keterangan palsu saksi dalam sengketa pemilihan kepala daerah Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Sementara Abraham Samad menjadi tersangka dalam dua kasus berbeda, yakni pemalsuan dokumen kependudukan dan penyalahgunaan wewenang.
 
Entitas Politik
 
Dalam arena pertarungan politik dewasa ini, ada pandangan yang menyatakan bahwa Polri dan KPK tidak hanya sekadar lembaga penegak hukum, melainkan telah menjadi sebuah entitas kekuatan politik yang menentukan percaturan politik nasional.
 
Sebagai kekuatan politik, setiap entitas kerap kali tidak mempunyai kepentingan yang sama dengan masyarakat, akibatnya persaingan di antara kekuatan-kekuatan politik tak terhindarkan, baik dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat maupun kepentingannya masing-masing. Sering kali, kekuatan politik lebih mendahulukan kepentingannya sendiri ketimbang masyarakat, (Asrinaldi, 2014).
 
Lebelisasi atau integritas aktor politik kerap kali dikaitkan dengan kedua lembaga ini, khususnya KPK. Mereka yang diperiksa oleh KPK terstigma sebagai musuh rakyat atau koruptor, begitu pula mereka yang memiliki kedekatan dengan Polri dipersepsikan sebagai orang kotor.
 
Tentu pandangan seperti itu tidak tepat, baik Polri maupun KPK mesti menjaga jarak dengan panggung politik. Keduanya bukanlah alat kekuasaan, melainkan instrumen untuk mewujudkan Agenda Reformasi yang belum terselesaikan, yaitu pemberantasan korupsi. Untuk menjawab siapa yang lebih baik diantara keduanya dapat dilihat dari berapa banyak uang negara yang telah diselamatkan sejak ‘kompetisi’ Polri dan KPK dimulai pada 2002.
 
Transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia sangat ditentukan oleh keberhasilan menuntaskan Agenda Reformasi dalam hal pemberantasan korupsi. Karena, salah satu prasyarat konsolidasi demokrasi adalah adanya komitmen masyarakat dan aparatur pemerintah dalam menegakkan aturan hukum, (Linz & Stepan, 1996).
 
Di sinilah persoalan kontra reformasi harus diletakkan, komitmen kuat penegakkan hukum antara masyarakat dan aparatur pemerintah harus berada pada titik yang sama. Rasa keadilan merupakan indikator untuk mengukur seberapa kuat komitmen penegakan hukum itu.
 
Jika penegakan hukum disandarkan kepada prosedur formal semata, maka kasus pencurian kayu oleh nenek Asyani di Situbondo dan nenek Sutinah di Blitar adalah bagian dari penegakan hukum. Namun apakah kedua kasus itu memenuhi rasa keadilan? Apakah kasus model ini wujud dari penegakan supremasi hukum yang diamanatkan dalam Agenda Reformasi?
 
Sesungguhnya, kontra reformasi adalah musuh yang nyata. [***]
 
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik Pasca Sarjana Universitas Nasional Jakarta dan juga Pengurus Ikatan Alumni Ilmu Politik IISIP Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA