Sementara itu FIFA menetapkan Fox Sports sebagai pemegang hak siar Piala Dunia tahun 2026 tanpa proses bidding. Sebelumnya hak siar Piala Dunia untuk tahun 2018 dan 2022 telah dimiliki Fox Sports dengan nilai masing-masing sekitar US$ 425 juta atau sebesar Rp 5 triliun lebih.
Pentingnya nilai bisnis di sepakbola terlihat saat Asosiasi Sepak bola Inggris (FA) sempat khawatir akan kehilangan bisnis sekitar Rp 744 miliar apabila Inggris tidak lolos ke putaran final Piala Dunia 2014 di Brasil. Karena saat babak kualifikasi group H, Inggris berada pada peringkat kedua dan sewaktu-waktu bisa terlempar dari kesempatan lolos ke Brazil.
Olahraga, khususnya sepakbola, memang telah menjadi industri hiburan dengan nilai yang sangat besar. Terutama dengan berkembangnya media televisi dan media sosial lainnya. Konsultan global PWC memperkirakan bahwa di tahun 2015 nilai ekonomi olahraga secara global akan berkisar pada angka US$ 145,3 miliar. Pertumbuhan rata-rata sejak tahun 2010 yaitu pada angka 3,7 % dengan nilai pada tahun 2010 sekitar US$ 121,4 miliar. Kontribusi Asia Pasifik di tahun 2015 berada pada nilai US$ 22,7 miliar, atau menempati kedudukan ketiga setelah Amerika dan Eropa. Tentu saja kontribusi Indonesia juga ada dalam perhitungan PWC, terutama dari sepak bola.
Kita tahu beberapa tahun lalu saat baru terpilih sebagai Ketua Umum PBSI, Gita Wiryawan melakukan terobosan kontrak di bulu tangkis untuk meningkatkan nilai ekonominya. Di samping kontrak kolektif dengan Yonex yang telah berlangsung lama, PBSI juga memberikan kesempatan kepada tujuh produk untuk menandatangani kontrak dengan 80 atlet untuk jangka waktu dua tahun dengan nilai sebesar Rp 33,2 miliar. Ini memperlihatkan bahwa nilai ekonomi olahraga memang sangat besar.
Baru-baru ini juga PT Liga Indonesia berhasil menarik minat sponsor QNB, yang akan menjadi sponsor utama Piala Dunia 2022 di Qatar, untuk tiga musim kompetisi. Minat QNB menjadi sponsor utama kompetisi ISL adalah sejalan dengan strategi mengembangkan sayap bisnisnya, bukan saja di Indonesia melainkan juga Asia. Sayangnya kompetisi ISL ini harus terhenti setelah Menpora membekukan PSSI beberapa waktu lalu.
Akibat terhentinya kompetisi ISL, yang disusul dengan kompetisi Divisi Utama dan Liga Nusantara maka roda ekonomi olahraga, khususnya sepak bola juga menjadi terhenti. Kalau perkiraan per pertandingan mengeluarkan biaya Rp 100 juta, dari 306 pertandingan yang terhenti, roda ekonomi yang tidak berputar dari seluruh biaya per pertandingan saja sekitar akan berada pada angka Rp 30 miliar.
Terhentinya kompetisi sepakbola, memberi dampak besar kepada pelaku ekonomi sepak bola lainnya, yaitu pemain, pelatih, wasit, pengelola stadion, pedagang kecil, usaha transportasi, pembuat kaos, stasion televisi dengan para sponsor siarannya. Tidak terbayangkan bagaimana individu-individu pelaku utama di sepak bola tersebut dapat membiayai kehidupnya sehari-hari.
Padahal di kuartal pertama tahun 2015, pemerintah Jokowi-JK hanya bisa mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi pada angka 4,7 persen. Menurut perkiraan para ekonom, perlambatan pertumbuhan ekonomi ini akan terus terjadi hingga kuartal kedua yang hanya akan tumbuh sekitar 5,0 persen meskipun program APBNP 2015 sudah digelontorkan. Dengan demikian angka pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga pertengahan tahun 2015 akan jauh dari perkiraan awal pemerintah yaitu sekitar 5,7 persen.
Pada kenyataannya kebijakan pemerintah di sektor rill ekonomi olahraga belum tersentuh dengan baik dan belum terlihat jelas cetak birunya. Untuk menjadikan klub sepak bola sebagai perseroan terbatas pun tidak jelas kategori industrinya. Apakah termasuk industri pariwisata, peralatan olahraga, hiburan atau kreatif.
Kompetisi yang relatif masih tumbuh di tahap awal, baik itu sepak bola, bulu tangkis, tenis, golf, bola basket, bola voli, sama sekali tidak memperoleh kebijakan-kebijakan yang bisa meringankan cabang-cabang olahraga tersebut bertumbuh lebih cepat. Misalnya kebijakan keringanan pajak, impor peralatan olahraga, maupun kebijakan pemerintah untuk secara agresif membangun fasilitas pertandingan olahraga di beberapa daerah.
Alih-alih melakukan perbaikan kebijakan yang meringankan pelaku ekonomi olahraga agar bisa tumbuh cepat, pemerintah malah melihat mereka sebagai bagian dari pelaku kriminal lewat olahraga. Seperti suap, pengaturan hasil pertandingan, pencucian uang.
Sedikit kita menoleh ke lembaga lain, saat korupsi besar-besaran dilakukan kantor Menpora dalam kasus Hambalang, apakah kantor Menpora dibekukan. Apakah korupsi di DPR telah membuat DPR juga dibekukan. Apakah korupsi Polri dan pemimpin daerah, serta para Menteri dan Ketua Partai juga membuat lembaga-lembaga tersebut dibekukan? Jawabannya tidak. Lalu kenapa PSSI harus dibekukan? Apalagi tuduhan-tuduhan di atas belum terbukti.
Sungguh terlihat aneh kalau Pengurus PSSI hasil rekonsiliasi yang baru berjalan tahun 2013 kemudian dianggap membawa dosa-dosa pengurus lama. Padahal, APBN dan APBD sudah tidak mengucur lagi ke PSSI. Serta beberapa perbaikan dalam manajemen dan kantor bekerja pengurus juga dilakukan PSSI dengan besar-besaran.
Akan menarik kalau kita melihat laporan penilaian AFC terhadap kompetisi sepak bola ISL. Pada tahun 2010 kompetisi sepakbola Indonesia berada pada peringkat ke 10, dan pada tahun 2015 turun menjadi peringkat ke18. Peringkat teratas di tempati oleh Korea Selatan, Jepang dan Arab Saudi.
AFC menilai bahwa kontribusi terendah penilaian peringkat kompetisi di Indonesia adalah kualitas stadion. Akibat rendahnya kualitas stadion, dengan sendirinya juga berpengaruh terhadap rendahnya kualitas teknis permainan yang ditampilkan oleh pesepakbola Indonesia. Pertanyaannya adalah siapakah sebenarnya yang memiliki kemampuan dana untuk membangun stadion berkualitas tinggi agar teknis permainan juga bisa lebih baik? Jawabannya hanya satu yaitu pemerintah. Karena tidak akan pernah klub, dalam kondisi di awal pertumbuhan sebagai dunia usaha, mampu membangun stadion.
Sementara penilaian AFC terhadap tata kelola kompetisi, pemasaran, partisipasi media, jumlah penonton, nilai bisnis cukup baik. Bahkan dari jumlah penonton dan nilai bisnis, AFC melihat potensinya bisa ditingkatkan lagi.
Karena itu Menpora dan PSSI masing-masing harus melakukan revisi terhadap keputusannya agar kompetisi ISL dapat digulirkan kembali oleh PT Liga Indonesia di bawah naungan PSSI. Dan banyak lagi yang karena terhentinya kompetisi tidak memperoleh penghasilan akibat keputusan pembekuan PSSI dan terhentinya kompetisi ISL.
Apalagi kalau sanksi dijatuhkan oleh FIFA, maka seluruh rangkaian pelaku ekonomi sepakbola termasuk yang sekarang main dengan klub asing di luar negeri akan kehilangan penghasilan sama sekali. Dengan demikian terhentinya penghasilan para pelaku ekonomi olahraga tersebut akan bertentangan dengan program Nawa Cita Jokowi, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Karena itu daripada terus menerus memperpanjang perseteruan antara Menpora dan PSSI, lebih baik masing-masing melakukan introspeksi dengan bertanya pada diri sendiri kontribusi apa yang telah diberikan selama ini terhadap perkembangan sepak bola di Indonesia? Dari sana diharapkan terbangun sebuah sinerji antara pemerintah dan PSSI.
Tim sinerji yang pernah dibentuk PSSI telah membuat
defining victory†dan langkah strategis pengembangan sepak bola ke depan, baik untuk kompetisi maupun prestasi tim nasional. Yaitu pada 100 tahun Indonesia merdeka yaitu tahun 2045, persembahan terindah dari sepak bola Indonesia adalah kompetisi liga sepakbola Indonesia harus menjadi yang terbaik di Asia. Sementara prestasi tim nasional Indonesia bisa menjadi salah satu empat besar pada Piala Dunia.
Apabila Menpora dan PSSI memang sudah tidak dapat duduk kembali untuk membangun sinerji pengembangan olahraga sepakbola, mungkin sudah saatnya Presiden Jokowi blusukan langsung ke masyarakat olahraga dan sepakbola, untuk memahami langsung betapa hebatnya dampak kerugian ekonomi rakyat kecil atas terhentinya kompetisi sepakbola.
Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta
BERITA TERKAIT: