"Itu bernuansa hukum positif, sehingga yang berhak menangani criminal law adalah negara," tegas Din Syamsuddin kepada
Rakyat Merdeka di kantor Pusat MUI, Jakarta, Rabu (17/12).
Untuk itu, lanjut Ketua Umum PP Muhammadiyah tersebut, lembaga masyarakat, lembaga pendidikan, maupun organisasi masyarakat tidak punya keweÂnangan menegakkan hukum.
"Memang hingga saat ini maÂsih ada perdebatan di kalangan paÂra fuqoha (ahli fiqih) menyiÂkapi penerapan hukum cambuk ini," paparnya.
Berikut kutipan selengkapnya;Apa ada fatwa dari MUI meÂnyikapi persoalan ini?Kita belum bicarakan secara khusus di MUI. Mungkin persoaÂlan seperti itu nggak akan dibaÂhas. Kalau MUI berurusan fatwa, berarti harus ke komisi kefatÂwaan.
Kenapa tidak ada pemÂbahasÂan di kalangan para ulaÂma mengenai hukum cambuk itu?Di kalangan fuqoha (ahli fiqih) itu, banyak pendapat soal hukuÂman-hukuman. Tapi nggak usah masuk di wilayah itu ya. Masih ada pro-kontra soal qishos, pro-kontra kepada rajam, jinayat, atau criminal law. Itu masih menjadi perdebatan.
Bagaimana dengan hukum cambuk yang sudah diterapÂkan di Aceh?Aceh memang diberikan seÂbuah ketentuan hukum tentang penegakan syariat Islam, sehingÂga ada qanun. Cuma tetap kita peÂsankan, penegakan hukum Islam jangan meninggalkan subÂtansiÂnya. Jangan berdebat dalam forÂmalisme belaka.
Maksudnya?Saya kebetulan pernah berada di Aceh seminggu sebelum diteÂrapÂkan hukum Islam di sana. Dan saya amati ya sangat forÂmaÂÂlisÂme. Berbau Islam jika ada nama jalan dituliskan dalam baÂhasa Arab. SaÂya waktu itu hadir untuk meÂresÂmikan sebuah Bank Syariah.
Betapa saya kaget kareÂna tulisan Arab yang dituliskan itu salah. Sampai saya bilang ganÂtikan dulu papan namanya, baru saya resÂmiÂkan. Nggak usah saya sebutlah naÂma Bank itu.
Cuma itu saja?Sama juga dengan aturan laÂrangan duduk mengangkang bagi perempuan ketika naik sepeda motor di Lhokseumawe. Jangan kita berkutat dalam hal formaÂlistik seperti itu.
Artinya kebijakan seperti itu perlu dikaji ulang?Ya. Saya kira perlu dikaji ulang. Karena Islam itu agama keÂÂmoÂderenan, yang konteks agaÂmanya adalah kasih sayang. HuÂkum Islam itu menurut peÂmahaÂmÂan saya, tidak terlepas makna hukum dari kata hikmah. Maka dimensi subtansi itu jangÂan dihiÂlangkan. Yaitu subtansi dalam penegakan hukum.
Apa ada pesantren lain yang menerapkan hukum cambuk?Saya tidak yakin kejadian di Jombang itu terjadi di pesanÂtren lain. Ini kan hanya satu-saÂtunya ya.
Apa harapan Anda?Kalau boleh sih kasus ini jaÂngan pula menjadi masalah huÂkum. Mungkin cukupkan lah samÂpai di situ. Apalagi Pak Kiai (peÂmimpin pesanten) sudah menyadari.
Kenapa ada peÂmahaÂman syariat Islam yang berbenÂturan dengan hukum negara?Itu diskusinya sudah panjang sekali. Sejak ada di Piagam JaÂkarÂta, yaitu menjalankan syariat IsÂlam bagi pemeluknya, sehingÂga ada yang mengatakan ini haÂrus menjadi negara Syariat. Tapi sudah ada Dekrit suruh kembali ke UUD 1945 dan Pancasila, kan begitu sejarahÂnya.
Tapi dari studi-studi yang perÂnah dilakukan, termasuk untuk disertasi-disertasi doktor, terÂnyaÂÂta syariat Islam yang dipaÂhami oleh founding fathers kita di awal kemerdekaan pada peruÂmusan Piagam Jakarta itu hanya meliputi aspek tertentu dari huÂkum Islam.
Yaitu Family Law, yaitu niÂkah, talak, rujuk dan waÂris. Yang meÂmang keemÂpatnya sÂudah diprakÂtekkan oleh kesulÂtanan-kesulÂtanan sejak dulu.
Sementara criminal law, itu kayaknya tidak masuk dalam persepsi waktu itu. ***
BERITA TERKAIT: