WAWANCARA

Din Syamsuddin: Organisasi Masyarakat Tidak Punya Kewenangan Menegakkan Hukum

Jumat, 19 Desember 2014, 10:23 WIB
Din Syamsuddin: Organisasi Masyarakat Tidak Punya Kewenangan Menegakkan Hukum
Din Syamsuddin
rmol news logo Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menilai, hukuman cambuk tidak bisa diterapkan di Indonesia, seperti yang terjadi di Pondok Pesantren Urwatul Wutsqo, Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur.

"Itu bernuansa hukum positif, sehingga yang berhak menangani criminal law adalah negara," tegas Din Syamsuddin kepada Rakyat Merdeka di kantor Pusat MUI, Jakarta, Rabu (17/12).

Untuk itu, lanjut Ketua Umum PP Muhammadiyah tersebut, lembaga masyarakat, lembaga pendidikan, maupun organisasi masyarakat tidak punya kewe­nangan menegakkan hukum.

"Memang hingga saat ini ma­sih ada perdebatan di kalangan pa­ra fuqoha (ahli fiqih) menyi­kapi penerapan hukum cambuk ini," paparnya.

Berikut kutipan selengkapnya;

Apa ada fatwa dari MUI me­nyikapi persoalan ini?
Kita belum bicarakan secara khusus di MUI. Mungkin persoa­lan seperti itu nggak akan diba­has. Kalau MUI berurusan fatwa, berarti harus ke komisi kefat­waan.

Kenapa tidak ada pem­bahas­an di kalangan para ula­ma mengenai hukum cambuk itu?
Di kalangan fuqoha (ahli fiqih) itu, banyak pendapat soal huku­man-hukuman. Tapi nggak usah masuk di wilayah itu ya. Masih ada pro-kontra soal qishos, pro-kontra kepada rajam, jinayat, atau criminal law. Itu masih menjadi perdebatan.

Bagaimana dengan hukum cambuk yang sudah diterap­kan di Aceh?
Aceh memang diberikan se­buah ketentuan hukum tentang penegakan syariat Islam, sehing­ga ada qanun. Cuma tetap kita pe­sankan, penegakan hukum Islam jangan meninggalkan sub­tansi­nya. Jangan berdebat dalam for­malisme belaka.

Maksudnya?
Saya kebetulan pernah berada di Aceh seminggu sebelum dite­rap­kan hukum Islam di sana. Dan saya amati ya sangat for­ma­­lis­me. Berbau Islam jika ada nama jalan dituliskan dalam ba­hasa Arab. Sa­ya waktu itu hadir untuk me­res­mikan sebuah Bank Syariah.

Betapa saya kaget kare­na tulisan Arab yang dituliskan itu salah. Sampai saya bilang gan­tikan dulu papan namanya, baru saya res­mi­kan. Nggak usah saya sebutlah na­ma Bank itu.

Cuma itu saja?
Sama juga dengan aturan la­rangan duduk mengangkang bagi perempuan ketika naik sepeda motor di Lhokseumawe. Jangan kita berkutat dalam hal forma­listik seperti itu.

Artinya kebijakan seperti itu perlu dikaji ulang?
Ya. Saya kira perlu dikaji ulang. Karena Islam itu agama ke­­mo­derenan, yang konteks aga­manya adalah kasih sayang. Hu­kum Islam itu menurut pe­maha­m­an saya, tidak terlepas makna hukum dari kata hikmah. Maka dimensi subtansi itu jang­an dihi­langkan. Yaitu subtansi dalam penegakan hukum.

Apa ada pesantren lain yang menerapkan hukum cambuk?
Saya tidak yakin kejadian  di Jombang itu terjadi di pesan­tren lain. Ini kan hanya satu-sa­tunya ya.

Apa harapan Anda?
Kalau boleh sih kasus ini ja­ngan pula menjadi masalah hu­kum.  Mungkin cukupkan lah sam­pai di situ. Apalagi Pak Kiai (pe­mimpin pesanten) sudah menyadari.

Kenapa ada pe­maha­man syariat Islam yang berben­turan dengan hukum negara?
Itu diskusinya sudah panjang sekali. Sejak ada di Piagam Ja­kar­ta, yaitu menjalankan syariat Is­lam bagi pemeluknya, sehing­ga ada yang mengatakan ini ha­rus menjadi negara Syariat. Tapi sudah ada Dekrit suruh kembali ke UUD 1945 dan Pancasila, kan begitu sejarah­nya.

Tapi dari studi-studi yang per­nah dilakukan, termasuk untuk disertasi-disertasi doktor, ter­nya­­ta syariat Islam yang dipa­hami oleh founding fathers kita di awal kemerdekaan pada peru­musan Piagam Jakarta itu hanya meliputi aspek tertentu dari hu­kum Islam.

Yaitu Family Law, yaitu ni­kah, talak, rujuk dan wa­ris. Yang me­mang keem­patnya s­udah diprak­tekkan oleh kesul­tanan-kesul­tanan sejak dulu.

Sementara criminal law, itu kayaknya tidak masuk dalam persepsi waktu itu. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA