WAWANCARA

Andy Noorsaman Sommeng: Presiden Jokowi Diharapkan Mampu Membuat Kebijakan Energi Lebih Baik

Selasa, 21 Oktober 2014, 09:02 WIB
Andy Noorsaman Sommeng: Presiden Jokowi Diharapkan Mampu Membuat Kebijakan Energi Lebih Baik
Andy Noorsaman Sommeng
rmol news logo Indonesia memasuki babak baru setelah Jokowi-JK dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019 di Gedung MPR/DPR Jakarta, kemarin.

Harapan rakyat begitu besar agar Indonesia menjadi negara ma­ju. Maju di sektor pen­di­dik­an, ke­se­hatan, pertanian, indus­tri, te­naga kerja, dan terutama di sektor energi.

Ini merupakan tantangan ter­besar bagi pemerintahan Joko­wi-JK, terutama di bidang ener­gi. Se­bab, sumber energi Indo­nesia mu­­lai menipis. Minyak bumi, dika­barkan paling lama hanya bisa me­menuhi kebutuhan dalam negeri hingga 23 tahun men­da­tang.

Demikian disampaikan Kepa­la Badan Pengatur Hilir Minyak Dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Sommeng di Jakarta, kemarin.

“Fakta ini tentu saja menye­dih­kan. Apalagi Indonesia sudah te­lanjur terlalu tergantung de­ngan energi, yang utamanya ber­bahan bakar fosil. Tidak he­ran, Indo­ne­sia boleh dikate­gorikan sebagai negara yang dalam am­bang krisis energi,’’ papar Andy.

Berikut kutipan selengkapnya;

Apa harapan terhadap pe­me­rintah Jokowi-JK?
Tentu kita berharap, Presiden Jo­kowi mampu membawa Indo­nesia kepada kebijakan energi yang lebih baik. Mampu mem­ba­wa Indonesia kepada target untuk mencapai kemandirian energi, dan ketahanan energi.

Secara umum ada beberapa tar­get yang harus dicapai di bi­dang energi. Sebut saja di anta­ranya  mengarahkan harga ener­gi yang lebih rasional, meng­ha­pus subsi­di energi fosil, me­ning­­katkan efi­siensi energi dan kon­servasi ener­gi. Termasuk di­ver­sifikasi energi di sektor in­dustri dan transportasi.

Yang tak kalah pentingnya adalah menga­tasi tingginya disparitas harga antara bahan bakar mi­nyak (BBM) subsidi dan non subsidi.

Kenapa disparitas harga BBM subsidi dan non subsidi harus segera dibenahi?
Perbedaan harga yang tinggi antara BBM subsidi dan non sub­sidi merupakan masalah utama da­lam mengatasi maraknya pe­nyelundupan BBM subsidi. Ta­hun ini merupakan momen yang paling tepat bagi pemerintah un­tuk menaikkan harga BBM.

Sebab, meski trend harga mi­nyak mentah Indonesia (ICP) tengah menurun, selisih harga BBM ber­subsidi dengan harga pasar masih cukup jauh.

Jika trend penurunan ICP diba­rengi kenaikan harga premium dan solar, bisa mendekatkan seli­sih harga BBM bersubsidi de­ngan non subsidi. Dengan de­mi­kian, masyarakat bisa mulai ber­alih menggunakan BBM non subsidi seperti bensin pertamax.

Secara hukum ekonomi, me­mang harusnya begitu. Dengan, selisih harga antara BBM subsidi dan BBM non subsidi bisa lebih kecil. Kalau dinaikkan, akan ter­jadi disparitas harga yang tipis, sehingga masyarakat menengah ke atas pun berpindah mengon­sumsi BBM non subsidi.

Idealnya kenaikan harganya be­rapa?
Kenaikan harga BBM non sub­sidi Rp 2.000 sampai Rp 4.000 per liter sudah efektif untuk men­jaga dari potensi jebolnya kuota BBM. Setidaknya, para pelaku pe­nyelundupan BBM ber­sub­sidi akan berpikir dua kali.

Dengan harga minyak mentah yang semakin menurun, bukan tidak mungkin harga BBM non sub­sidi seperti pertamax bisa men­capai Rp 10 ribu per liter. Dengan demikian, pemerintah ha­nya per­lu menaikkan harga premium Rp 2.500 dari harga saat ini.

Apa ini ada hubungannya dengan over kuota BBM ber­subsidi tahun ini?
Upaya menaikkan harga BBM subsidi tidak berhubungan de­ng­an penanggulangan over kuota ta­hun ini. Kenaikan harga BBM lebih ditekankan pada upaya per­baikan kinerja energi untuk tahun ke depan. Karena itu, sudah seha­rusnya pemerintah lebih be­rani dalam menerapkan kebijakan.

Ruang fiskal yang dilonggar­kan itu kan tak hanya untuk mem­perbaiki postur APBN. Tapi, bisa digunakan untuk mendorong penggunaan energi alternatif, mu­lai BBG dan BBN, yang sam­pai sekarang pemanfaatan­nya belum dimaksimalkan.

Bagaimana mengoptimalkan penggunaan energi alternatif?
Salah satu penyebabnya adalah letak sumber gas bumi yang ter­se­bar jauh dari pusat konsumsi dan ter­batasnya infrastruktur. Ma­ka  perlu membangun infras­truktur dan menyediakan bahan bakar gas bumi yang harganya kompetitif da­ri energi lain seperti BBM, batu bara, dan sumber energi lainnya.

Untuk membangun struktur in­frastruktur, dibutuhkan kepas­tian dan ketersediaan pasokan gas, karena industri gas bumi ini high risk and high cost. Tidak kalah penting kebijakan dan regulasi pemerintah serta buyer yang di­awali dengan kesepakatan jual beli gas lainnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA