WAWANCARA

KH Amidhan: Bukan Darah Atau Dagingnya, Tapi Yang Sampai Ke Allah Itu Taqwanya

Senin, 06 Oktober 2014, 08:06 WIB
KH Amidhan: Bukan Darah Atau Dagingnya, Tapi Yang Sampai Ke Allah  Itu Taqwanya
KH Amidhan
rmol news logo Setelah puncak Hari Raya Idul Adha, umat Islam masih diperbolehkan memotong hewan qurban.

“Tujuan pelaksanaan qurban adalah mendekatkan diri kepada Allah, sehingga setelah Hari Ra­ya Idul Adha masih boleh me­motong hewan qurban,’’ kata Ke­tua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan, kepada Rakyat Merdeka, yang dihubungi via telepon, Sabtu (4/10).

Seperti diketahui, perayaan Ha­ri Raya Idul Adha  di Indone­sia dilaksanakan secara beragam. Ada yang  merayakannya Jumat (3/10). Sebagian lagi Sabtu (4/10) sesuai ditetapkan pemerintah Arab Saudi.

Tapi sebagian lagi merayakan­nya sesuai penetapan pemerintah Indonesia melalui sidang isbat 24 September lalu bahwa Idul Adha 2014 atau 10 Zulhijah 1435 jatuh pada Minggu (5/10).

KH Amidhan selanjutnya me­ngatakan, perbedaan penetapan Hari Raya Idul Adha terjadi kare­na perbedaan metode peng­hitungan.

“Masyarakat tidak perlu bingung dengan perbedaan ini. Yang penting tujuan pelaksanaan qurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Yang sampai kepada Allah adalah ketaqwaan,’’ paparnya.

Berikut kutipan selengkapnya;

Apa fatwa MUI mengenai pemotongan hewan kurban?
Terkait pemotongan hewan qur­ban, saya yakin para ulama di ber­bagai wilayah di Indonesia telah mengetahui dan memahami aturan itu. Syarat-syarat hewan qur­ban diantaranya, tidak boleh sakit, matanya tidak boleh rusak, dan ka­kinya tidak boleh pincang. Kalau badannya kurus, tapi syarat-syarat lain terpenuhi nggak masalah.

Apa makanan hewan qurban juga dijadikan persyaratan?
Tujuan pelaksanaan qurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Yang sampai kepada Allah adalah ketaqwaan kita, bukan darah atau daging hewan yang kita qurbankan. Meski demikian, kita perlu memberikan yang ter­baik. Makanya, agama men­sya­ratkan seperti yang saya sebutkan tadi.

Soal makanannya, kita perlu memberikan sesuai fitrah. Sela­ma hewan qurban itu tubuh sehat dan tidak haram, nggak masalah. Kalau sakit atau terkena wabah, ya tidak sah untuk diqurbankan. Sebab, dapat membawa mudorot atau dampak buruk terhadap manusia lain.

Mengenai perbedaan pera­yaan Idul Adha, apa pendapat MUI?
Itu terjadi karena perbedaan metode penghitungan. Dengan metode hisab atau penghitungan, bila posisi bulan baru berada di atas nol derajat maka sudah me­masuki bulan baru. Sementara de­ngan metode rukyat, bulan baru yang belum berada di atas 2 derajat, tak dapat dilihat kasat mata. Ini sangat teknis. Yang bisa saya tegaskan, pilihan metode yang dipilih masing-masing kelom­pok nggak ada masalah.

Di luar kelompok yang meng­gunakan metode hisab dan ruk­yat, ada kelompok lain yang me­ngacu pada keputusan pemerin­tah Saudi. Ketika pemerintah Sau­di menetapkan Idul Adha ja­tuh pada Sabtu, 4 Oktober 2014. Kelompok ini serta merta mengi­kutinya. Sebab, Hari Raya Idul Adha berkaitan dengan pelaksa­naan ibdah haji di Tanah Suci.

Teman-teman atau ormas yang menggunakan acuan ini di antara­nya, LDII, Persis, dan Dewan Dakwah. Semuanya memiliki dasar. Kita harus menghormati perbedaan ini.

Selain perbedaan pelaksa­naan hari raya, keputusan pe­me­rintah juga berkaitan de­ngan puasa Arafah, bagaimana MUI menengahi perbedaan itu?
Umumnya puasa Arafah ini di­kenal masyarakat sebagai ibadah yang berbarengan dengan kegia­tan wukuf jamaah haji di Arab Saudi. Ketika pemerintah Saudi menetapkan Idul Adha 2014 jatuh pada Sabtu (4/10), berarti ibadah wukuf di Padang Arafah dilaksa­nakan Jumat (3/10).

Itu artinya ketika masyarakat In­donesia, yang merujuk kepu­tusan pemerintah, menjalankan puasa Arafah pada Sabtu (4/10), jamaah haji di Saudi sudah me­laksanakan wukuf. Jadi, tidak ada kecocokan hari antara puasa Arafah versi pemerintah In­do­nesia dengan pelaksanaan wukuf di Padang Arafah.

Namun patokan pelaksanaan pua­sa Arafah adalah dilaksa­nakan pada 9 Zulhijah. Pelaksa­naan puasa Arafah bukan ibadah pua­sa yang mengacu pada pelak­sanaan wukuf. Apakah itu 9 Zul­hijah-nya jatuh pada 3 Oktober atau 4 Oktober, mengacu pada ke­putusan yang dipilih masya­rakat masing-masing.

Ketika masyarakat berkeya­kinan atau mengikuti keputusan pemerintah bahwa Idul Adha (10 Zulhijah) jatuh pada Minggu (5/10), maka tetap melaksanakan puasa Arafah pada Sabtu (4/10). Masyarakat tak perlu risau, meski pada 4 Oktober 2014 jamaah haji sudah selesai menjalankan wukuf. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA