Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Revolusi Mental "Trisakti" ala Tiongkok

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Rabu, 10 September 2014, 13:04 WIB
Revolusi Mental "Trisakti" ala Tiongkok
ISTILAH Revolusi Mental sebenarnya sudah lama ada.  Di bidang manajemen, Frederick W. Taylor (1856-1915) menyatakan bahwa revolusi mental sangat diperlukan dalam menerapkan empat prinsip manajemen ilmiah (Scientific Management) di perusahaan.

Di bidang politik, revolusi mental dilakukan di beberapa negara di Amerika Latin seperti Bolivia dan Venezuela. Dimulai dengan pengambilan kekuasaan oleh kalangan sosialis, maka sistem feodal yang ditandai dengan kekuasaan selalu berada di tangan pemilik tanah langsung berubah.  Pemerintah pun ingin rakyatnya berubah cara berpikir, bertindak, dan berhubungan dengan pemerintahan, termasuk pengelolaan ekonomi.

Pada upacara kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1964, Presiden Soekarno mengemukakan konsep Trisakti bagi Indonesia.  Ditegaskan oleh Bung Karno bahwa Indonesia harus berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya. Konsep Trisakti ini kemudian dijadikan program utama Jokowi, Presiden terpilih 2014, sebagai upaya melakukan revolusi mental di Indonesia ke depan.  

Melihat konsep Trisakti tersebut, ada baiknya kita belajar dari keberhasilan Tiongkok membangun kedaulatan politik, peningkatan ekonomi, serta berkepribadian secara sosial budaya.

Pada tahun 2012, secara mengejutkan penulis sastra asal Tiongkok, Mo Yan, meraih penghargaan Nobel bidang sastra. Mo merupakan warga Tiongkok pertama yang meraih penghargaan Nobel bidang sastra. Peraih  Nobel Sastra ke-109 ini dipuji karena memiliki gaya penulisan yang unik dan sering bercerita tentang rakyat yang berhasil membawa pembaca ke suasana realisme di China.

Apa yang dicapai oleh Mo Yan sebenarnya sudah diramalkan oleh peramal masa depan John Naisbitt, yang menuangkannya dalam bukunya berjudul "Megatrends in China" tahun 2010.  Naisbitt mengemukakakan bahwa keberhasilan Tiongkok mengejar ketinggalan di bidang ekonomi, sosial dan budaya dalam kurun waktu hanya 30 tahun, dilakukan secara sistematis melalui 8 pilar pembangunan.

Adapun 8 pilar pembangunan Tiongkok menurut John Naisbitt adalah "emansipasi pikiran", "membingkai hutan dan membiarkan pohon tumbuh", "menyeimbangkan top-down dan bottom-up", "menyeberangi sungai dengan merasakan batu", "bergabung dengan dunia", "kebebasan dan keadilan", "antusiasme artistik dan intelektual",  dan "dari medali Olimpiade menuju hadiah Nobel".
 
Pilar pertama Tiongkok dimulai oleh Deng Xiao Ping pada tahun 1978 dengan emansipasi pikiran (The Emancipation of The Mind). Selama ini kekuasaan partai yang dominan telah mengakibatkan tumbuh suburnya daerah terlarang (forbidden zones) yang tidak berani dilanggar oleh masyarakatnya bahkan termasuk untuk berpikir. Karena itu Deng membuka kesempatan seluruh rakyat Tiongkok untuk menuangkan ide dan pemikirannya dalam membangun kembali negaranya. Dengan emansipasi pemikiran inilah muncul alternatif baru pembangunan ekonomi di Tiongkok. Di mana keterbukaan berinvestasi bagi pemilik modal besar, termasuk dari luar negeri, sangat dimungkinkan. 

Tiongkok bertekad untuk membuktikan bahwa sosialisme tidak berarti kemiskinan. Tiongkok tidak peduli dituduh apakah menjadi negara sosialis berbaju kapitalis atau kapitalis berbaju sosialis. Yang penting kesejahteraan rakyat meningkat. 

Sekarang kekuatan ekonomi Tiongkok menjadi nomor dua di dunia sesudah Amerika Serikat.  Bahkan menurut ramalan Golden Sach, pada tahun 2027 Tiongkok bisa menjadi kekuatan ekonomi nomor satu dunia.  Untuk mendukung percepatan pembangunan ekonomi, pemerintah Tiongkok melakukan redefinisi peran pemerintah menjadi fasilitator pembangunan dan memberikan kesempatan lebih luas kepada masyarakat dan dunia usaha untuk berpartisipasi. Pemerintah menerapkan pilar membingkai hutan dan membiarkan pohon tumbuh. Itulah pilar kedua menurut Naisbitt.

Pada pilar ketiga, Naisbitt menyebutkan bahwa Tiongkok menerapkan prinsip menyeberangi sungai tanpa takut terantuk batu bahkan harus merasakannya. Dengan prinsip ini, pemerintah Tiongkok terus berupaya untuk memperbaiki aturan pemerintah dalam segala bidang agar semakin terbuka kesempatan setiap anggota masyarakatnya untuk memperbaiki diri. Menjadi kaya bukan lagi sebuah dosa meskipun dalam sistem sosialis. Prinsip itu juga ditanamkan kepada setiap orang dan pemimpin agar terus berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi di masyarakat. Setiap daerah diperbolehkan berhubungan dengan investasi asing sehingga Tiongkok bisa lebih cepat bergabung dengan dunia.

Dalam sistem politiknya kita tahu bahwa Tiongkok kekuasaan mutlak dimiliki oleh satu partai, yaitu Partai Komunis. Namun demikian, menurut Naisbitt, Tiongkok juga menerapkan sistem demokrasi, yaitu demokrasi vertikal. Sistem ini bertujuan untuk “menyeimbangkan top-down dengan bottom-up”.

Dengan sistem demokrasi vertikal, masyarakat yang berada pada tingkat stratifikasi paling bawah diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk juga mengajukan ide-ide baru untuk perubahan. Termasuk juga melakukan evaluasi pada pemimpin daerah yang ditunjuk oleh partai. Dengan iklim demokrasi vertikal dan emansipasi pemikiran, semakin banyak rakyat Tiongkok yang berani mengeluarkan ide dan saran untuk kemajuan masa depan. Bahkan pemimpin daerah yang dianggap gagal oleh rakyat, bisa langsung diganti oleh pimpinan partai.

Pada tahun 2008, kita tahu bahwa Tiongkok menjadi tuan rumah pesta olahraga terbesar di dunia yaitu Olimpiade.  Pada saat itu Tiongkok berhasil menjadi juara umum Olimpiade dengan mengumpulkan 51 emas, 21 perak dan 28 perunggu. Sementara juara bertahan Amerika Serikat berada di peringkat kedua dengan 36 emas, 38 perak dan 36 perunggu.

Secara ringkas, 8 pilar pembangunan Tiongkok adalah contoh konkret bagaimana mereka mewujudkan konsep Trisakti seperti yang dikemukakan oleh Soekarno.

Di bidang politik, Tiongkok menyatakan telah menerapkan sistem demokrasi, meskipun berbeda dengan yang diterapkan negara-negara barat. Sistem demokrasi Tiongkok adalah demokrasi vertikal, sementara negara barat demokrasi horizontal. Tiongkok sangat berdaulat dalam politik.

Dalam bidang ekonomi, Tiongkok berhasil menjadi kekuatan ekonomi nomor dua di dunia.  Menurut data Bank Dunia, pada tahun 2010 pendapatan per kapita di Tiongkok sebesar US$ 4.260.  Sementara Indonesia saat itu berada pada angka US$ 2.580. Padahal penduduk Tiongkok sudah mencapai angka 1,3 miliar orang.

Pada bidang sosial budaya, seperti diungkapkan di atas, Tiongkok berhasil mengharumkan nama negaranya melalui olahraga, dan terakhir pada tahun 2012 rakyat Tiongkok menerima penghargaan hadiah Nobel. 

Dampak negatif dari cepatnya pertumbuhan ekonomi memang ada.  Antara lain semakin besarnya ketimpangan penghasilan dan perilaku korupsi. Untuk soal korupsi pemerintah Tiongkok tidak pandang bulu. Prinsip yang digunakan adalah "Tidak peduli apakah kucing itu hitam atau putih, yang penting dia dapat menangkap tikus". Dan sasaran pertama tindak korupsi adalah pada pejabat tinggi.

Kita tahu, meskipun Tiongkok menyatakan telah menerapkan sistem demokrasi vertikal, tetapi yang dominan tetap Partai Komunis atau sentralisme demokrasi.  Sementara di Indonesia diterapkan demokrasi horizontal, dengan sistem presidensial dan multi partai. Artinya, Jokowi-JK tidak bisa langsung menerapkan gaya Tiongkok melakukan akselerasi pembangunan.

Namun demikian, konsep 8 pilar pembangunan Tiongkok bisa dijadikan masukan dalam merumuskan implementasi konsep Trisakti dan revolusi mental Jokowi-JK. Agar istilah revolusi mental dan Trisakti tidak hanya menjadi slogan indah saat kampanye.

Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA