Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pukulan BPK Kepada Jokowi dan Double Jackpot Prabowo

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/m-a-hailuki-5'>M.A. HAILUKI</a>
OLEH: M.A. HAILUKI
  • Selasa, 01 Juli 2014, 16:52 WIB
<i>Pukulan BPK Kepada Jokowi dan Double Jackpot Prabowo</i>
PEMILIHAN Presiden (Pilpres) 2014 memasuki fase yang amat menentukan, dinamika politik yang terjadi mendekati hari pemilihan pada 9 Juli menunjukkan tingkat elektabilitas pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa terus mengalami tren kenaikan, sementara elektabilitas pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla justru mengalami penurunan.

Menurut survei mutakhir yang dilakukan lembaga riset IndoBarometer pada 16-22 Juni 2014 di 33 provinsi di seluruh Indonesia dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang dan margin of error tiga persen, menunjukkan bahwa tingkat elektabilitas Prabowo-Hatta sebesar 42,6 persen sedangkan Jokowi-JK mencapai 46,0 persen, sementara yang belum memutuskan sebesar 11,3 persen.

Angka ini bagi sebagian pihak dirasa mengejutkan, sebab dari berbagai survei yang diliris lembaga sebelumnya menyatakan Jokowi akan memenangkan pilpres dengan angka signifikan, namun dinamika di masyarakat menunjukkan yang berbeda. IndoBarometer menyatakan, dalam waktu relatif singkat, Prabowo-Hatta mengalami peningkatan sebesar 6,1 persen sedangkan Jokowi-Jk mengalami penurunan 3,9 persen.

Bagi sebagian pihak lainnya, melorotnya tingkat elektabilitas Jokowi-JK tidak mengagetkan, bahkan sudah dapat diprediksi karena tidak sulit untuk mengkaji beberapa hal yang menjadi penyebab melorotnya tingkat keterpilihan pasangan dengan nomor urut dua tersebut. Apakah faktor determinan yang membuat Jokowi-JK mengalami penurunan?

Temuan BPK


Faktor yang sangat determinan mempengaruhi menurunnya elektabilitas Jokowi-JK adalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan kerugian Pemprov DKI pada 2013 mencapai Rp 1,54 Triliun. Temuan investigasi BPK ini merupakan pukulan telak bagi Jokowi, karena semua aksi blusukan yang dilakukannya ternyata tidak menyelesaikan persoalan-persoalan Ibukota.

BPK secara tegas menguraikan kerugian keuangan Pemprov DKI terbagi pada empat komponen. Yaitu pertama, indikasi kerugian daerah senilai Rp 85,36 miliar, kedua potensi kerugian daerah senilai Rp1,33 triliun, ketiga kekurangan penerimaan daerah senilai Rp 95,01 miliar, dan terakhir temuan 3-E (tidak efektif, efisien, ekonomis) senilai Rp 23,13 miliar. Salah satu yang menjadi sorotan BPK adalah terkait proyek bus TransJakarta pada Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta yang tidak sepenuhnya sesuai ketentuan dan tidak dapat diyakini kewajaran harganya senilai Rp 118,40 miliar dan Rp 43,87 miliar.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, temuan BPK ini menjadi pintu masuk bagi penegak hukum (KPK, Kejaksaan, Kepolisian) untuk melakukan penyelidikan, karena dalam Undang-undang Tidak Pidana Korupsi (Tipikor) dijelaskan bahwa tiga unsur korupsi adalah melawan hukum, memperkaya diri atau orang lain, dan terakhir adanya kerugian negara. Oleh karena itu, tak heran apabila Kejaksaan menetapkan tersangka dalam kasus pengadaan busway, penyidikan itu sejalan dengan temuan BPK.

Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap elektabilitas Jokowi, sebab musuh utama rakyat Indonesia hari ini adalah korupsi. Kerugian negara dalam hal ini Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Jokowi membuka kesadaran publik akan kapasitas manajerial dan kepemimpinannya selaku gubernur. Terutama di kalangan kelas menengah yang memiliki daya nalar kritis berkesimpulan bahwasanya Jokowi belum optimal melaksanakan tugasnya di Ibukota, hal itu terbukti dengan audit BPK serta masih banyaknya pekerjaan rumah yang belum terselesaikan seperti masalah busway, monorel, banjir dan lainnya.

Tentu saja, bagi para pendukung fanatik Jokowi premis ini akan ditolak sepenuhnya. Namun bagi kelompok yang berpandangan obyektif menyatakan, adalah realita yang tidak terbantahkan bahwa dalam dua tahun kepemimpinan Jokowi masih banyak yang belum optimal dikerjakan. Blusukan bukanlah solusi atas berbagai persoalan di Jakarta apalagi untuk memperbaiki kondisi bangsa secara nasional karena persoalan yang dihadapi kepala negara jauh lebih kompleks daripada seorang gubernur. Akibat adanya temuan BPK tersebut, keraguan publik terhadap kepemimpinan Jokowi di level nasional menjadi semakin kuat, keraguan karena anggapan terlalu cepatnya Jokowi menapaki jenjang pemerintahan dimana tantangan yang dihadapi di Jakarta belum sepenuhnya dituntaskan.
 
Double Jackpot


Angin peruntungan sedang mengarah ke Prabowo-Hatta. Pasangan ini mendapatkan Double Jackpot alias dua keuntungan besar. Jackpot pertama adalah temuan BPK yang menyudutkan Jokowi, lalu jackpot kedua adalah dukungan resmi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Partai Demokrat. Dukungan resmi itu disampaikan Ketua Harian Partai Demokrat Syarif Hassan di kantor DPP, pada Senin (30/6/2014).

Mengapa dukungan SBY dikategorikan sebagai jackpot? Karena berdasarkan data beberapa lembaga survei, masih ada 40 persen masyarakat yang menyatakan puas terhadap kepemimpinan SBY. Data survei Charta Politika Indonesia menyebutkan, sebanyak 41 persen responden menyatakan puas terhadap kinerja pemerintahan SBY, sementara Pusat Data Bersatu (PDB) menyatakan sebanyak 45,2 persen responden merasa puas terhadap kinerja SBY.

Euforia Pilpres ternyata membuat orang seolah lupa bahwa SBY masih menjabat sebagai presiden Republik Indonesia, sosok sentral yang masih mempunyai pengaruh bagi stakeholder bangsa. Meski tak semempesona pada 2004 dan 2009, namun SBY masih mempunyai kharisma dan kemampuan untuk menggerakkan pengikut dan jaringannya memenangkan salah satu capres. Dengan sisa waktu sepekan lebih menjelang pemilihan, maka pengaruh SBY akan sangat signifikan bagi Prabowo-Hatta.

Dalam politik, sering dikatakan bahwa pengaruh adalah bentuk lunak dari kekuasaan. Biasanya seseorang yang mempunyai kekuasaan juga mempunyai pengaruh di dalam dan di luar bidang kekuasaannya. Tetapi tidak semua orang yang mempunyai kekuasaan yang sama mempunyai pengaruh yang sama besarnya, karena masalah pengaruh berkaitan dengan pribadi seseorang yang memegang kekuasaan (Miriam Budiardjo, 1991).

Sampai hari ini, SBY masih presiden Republik Indonesia, masih menduduki singgasana kekuasaan eksekutif, masih menggenggam kekuasaan, memegang kontrol atas berbagai sumber daya politik. Menafikan eksistensi SBY dalam konstelasi pilpres adalah sebuah kekeliruan besar, menepikan pengaruh SBY dalam memenangkan capres adalah kesesatan analisa. Meski tengah berada di ujung kekuasannya bukan berarti SBY tidak bisa berbuat apa-apa, justru dengan posisinya itu akan membuatnya menjadi seorang King Maker.

Dengan sisa waktu yang makin sempit, jika merujuk kepada data IndoBarometer, maka selisih suara antara Prabowo dan Jokowi hanya 3,4 persen saja. Artinya, Prabowo membutuhkan tambahan suara untuk membalikkan keadaan, terlebih lagi masih ada 11,3 persen yang belum memutuskan pilihan. Di sinilah SBY akan memainkan kharisma, pesona serta berbagai jurusnya, dengan menggunakan pengaruh selaku presiden dua priode untuk menggiring setidaknya 10 persen suara kepada Prabowo-Hatta.

Bukan tidak mungkin, dengan pengaruh SBY elektabilitas Prabowo-Hatta akan menyalip Jokowi-JK, karena politik memang sangat dinamis, apapun bisa saja terjadi. Jika Jokowi tetap merasa yakin akan memenangkan pertempuran dengan mudah dan menganggap temuan BPK serta dukungan SBY kepada Prabowo bukan ancaman, maka jangan menyesal melihat hasil akhir yang tak sesuai dengan harapan. [***]

*Penulis adalah pemerhati politik, Ketua Bidang Ikatan Alumni Ilmu Politik IISIP Jakarta.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA