Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Gladiator Cyber War Jokowi Vs Prabowo, Partisipasi atau Mobilisasi?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/m-a-hailuki-5'>M.A. HAILUKI</a>
OLEH: M.A. HAILUKI
  • Selasa, 03 Juni 2014, 11:35 WIB
Gladiator Cyber War Jokowi Vs Prabowo, Partisipasi atau Mobilisasi?
jokowi/net
SATU hal yang membedakan negara demokrasi maju dengan negara demokrasi berkembang adalah tingkat partisipasi dan mobilisasi politiknya. Semakin maju demokrasi sebuah negara, maka semakin tinggi tingkat partisipasi politik masyarakatnya dan semakin rendah mobilisasi politik yang dilakukan elite-elitenya, begitu pula sebaliknya.

Indonesia sebagai negara demokrasi berkembang, hari ini menunjukkan kecenderungan positif akan meningkatnya partisipasi politik masyarakat secara umum. Bukan sekadar dilihat dari statistik meningkatnya pemilih yang menggunakan hak pilih semata, melainkan terlihat dari keterlibatan masyarakat dalam interaksi dan proses politik di berbagai social media seperti Facebook, Twitter, Blog, Youtube dan forum dunia maya.

Meski banyak ditemukan di antara akun-akun di soSial media merupakan akun anonim alias palsu, namun pada hakikatnya, akun-akun anonim tersebut merupakan perwujudan partisipasi masyarakat dalam interaksi sosial dan politik. Ibaratnya, akun anonim tersebut adalah "nama pena" dalam kehidupan tulis-menulis di masa silam, dimana di balik nama pena itu ada sosok nyata yang hendak menumpahkan segala pemikiran dan perasaannya atas realitas politik yang ada.

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 memperlihatkan bagaimana partisipasi aktif masyarakat dalam interaksi politik, hampir sebagian besar status dan lini masa akun-akun di social media mengangkat dan membahas tentang Pilpres. Tak sedikit yang menjagokan kandidat yang didukungnya hingga terjadi perdebatan tajam dengan sesama netizen, hal ini lazim dikenal dengan sebutan Cyber War.

Peran Gladiator

Dalam terminologi, partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak mempunyai kewenangan politik) dalam menentukan keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya. Kegiatan ini dibagi dua, yakni mempengaruhi isi kebijakan umum dan ikut menentukan pembuat dan pelaksana keputusan politik (Ramlan Surbakti, 1992).

Jadi, partisipasi politik terbentuk oleh inisiatif pribadi warga negara yang terpanggil untuk mengubah keadaan, baik dengan cara pasif mengikuti pemilihan umum maupun secara aktif melibatkan dalam proses interaksi politik. Lawan dari partisipasi politik adalah mobilisasi politik, yaitu dimana masyarakat digerakkan oleh elit-elit politik untuk terlibat dalam peristiwa politik atau proses pembuatan keputusan. Mobilisasi tidak didorong oleh keinginan yang muncul dalam diri masyarakat, melainkan karena adanya "paksaan" elit-elit politik.

Ada empat kategori partisipasi, pertama adalah apatis yaitu orang yang menarik diri dari proses politik. Kedua, spektator adalah orang yang setidak-tidaknya menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum. Ketiga, gladiator yaitu mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, dan terakhir pengkritik yakni orang yang mempunyai keminatan dalam proses politik tapi menyalurkannya dengan saluran non-konvensional seperti demonstrasi (Lester Milbrath dan M.L Goel, 1977).

Fenomena Cyber War yang terjadi dewasa ini adalah cerminan dari kategori ketiga yaitu warna negara yang berperan sebagai gladiator, melibatkan diri secara aktif dalam proses politik. Para pemilik akun socmed yang melibatkan diri dalam Cyber War, kebanyakan mereka bukanlah pemilik kewenangan, mereka hanya warga negara biasa seperti mahasiswa, pegawai kantoran, buruh, wirausaha, bahkan hanya ibu rumah tangga, tapi pembelaan mereka terhadap kandidat yang didukungnya bisa melebihi kader partai politik yang mengusung kandidat tersebut. Bahkan sering kali, bahasa yang digunakan melampaui asas kepatutan.

Prinsip Hit & Run

Ibarat serdadu, para warga negara yang memainkan peran partisipasi politik gladiator bukanlah tentara reguler, mereka tak ubahnya milisi yang ikut membantu memenangkan peperangan dengan cara "hit and run" alias gerilya.  Salah satu rujukan semua militer di dunia, termasuk West Point (Sekolah Elite Militer Amerika Serikat) dalam melakuan dan menghadapi aksi perang gerilya adalah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, perang gerilya yang dipimpin oleh Panglima Jenderal Besar Soedirman yang kemudian diformulasikan oleh Jenderal Besar AH. Nasution dalam buku "Pokok-Pokok Gerilya & Pertahanan Republik Indonesia di Masa yang Lalu dan yang akan Datang".

Prinsip utama perang gerilya adalah kemanunggalan antara tentara dan rakyat, karena dalam gerilya tidak dikenal adanya pangkalan militer, dalam perang gerilya tak dikenal istilah gudang senjata, dan tidak dikenal garis pertahanan. Karena dalam perang ini, pangkalan militernya adalah rakyat, gudang senjatanya adalah markas musuh dan garis pertahanannya adalah wilayah lawan.

Perang gerilya adalah perang rakyat semesta, yang artinya seluruh masyarakat terlibat dan berperan dalam jalannya perang di berbagai sendi kehidupan. Tentara menyatu dengan rakyat, tentara membela rakyat, rakyat melindungi tentara, tentara dan rakyat bersatu dengan menjadikan ketabahan dan kesabaran sebagai sumber kekuatan. Keduanya dibalut oleh rasa senasib sependeritaan dan didasari oleh cita-cita bersama yaitu menggapai, merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Rasa sukarela yang diberikan rakyat untuk mendukung perjuangan tentara dalam perang gerilya adalah wujud partisipasi, mereka yang berpartisipasi pasif minimal melindungi keberadaan tentara dari perburuan musuh, mereka yang berpartisipasi aktif maksimal memainkan peran sebagai agen propaganda bahkan menyuplai logistik untuk membela front persatuan dan mengacaukan pikiran lawan.

Berkaca dari hal di atas, maka dalam konteks politik, para calon presiden (capres) baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo, tidak perlu melakukan mobilisasi, melainkan harus mampu mengelola partisipasi politik masyarakat dengan cara memberi stimulus berupa harapan akan perbaikan kehidupan. Bilamana masyarakat terbangun kesadarannya, bahwa masyarakat bisa ikut mengubah keadaan, maka atas dasar kesadarannya pula masyarakat akan bergerak mendukung perjuangan.

Masyarakat yang sudah terpanggil atas dasar kesadaraan untuk mengubah keadaan maka akan memainkan peran partisipasi sebagai gladiator hingga titik ‘darah’ penghabisan bergerak secara alamiah membantu perjuangan, itulah yang menjadi pembeda antara partisipasi dan mobilisasi politik. Tinggal bagaimana Jokowi dan Prabowo mengelolanya agar tidak kontra-produktif, alih-alih membantu malah merugikan dengan berbaga aksi kampanye hitam yang justru menguntungkan lawan satu sama lainnya.

"Pemimpin yang membiarkan gerilyaisme berkecamuk di kalangan pengikut-pengikutnya, bukan saja memupuk inefisiensi dan kelumpuhan, dan (justru) menggampangkan musuh mengadu domba dan memukul satu per satu." (Nasution, 1953).

M.A. Hailuki
Pemerhati Politik, Ketua Bidang Ikatan Alumni Ilmu Politik IISIP Jakarta.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA