WAWANCARA

Anhar Gonggong: Rakyat Gampang Suka Terhadap Tokoh Karena Minimnya Pendidikan Politik

Senin, 24 Maret 2014, 10:14 WIB
Anhar Gonggong: Rakyat Gampang Suka Terhadap Tokoh Karena Minimnya Pendidikan Politik
Anhar Gonggong
rmol news logo Ironis, tokoh popular cenderung dipilih menjadi presiden ketimbang punya visi misi mensejahterakan rakyat. Minimnya pendidikan politik dianggap jadi biang keladinya.

“Setelah masa Soekarno, Indonesia tidak memiliki pemimpin berkualitas yang mampu memberikan pendidikan politik. Akibatnya rakyat cenderung memilih tokoh  popular,” tegas Sejarahwan Anhar Gonggong kepada Rakyat Merdeka yang dihubungi via telepon, Sabtu (22/3).

Perilaku rakyat seperti itu, lanjut Anhar, tidak terlepas dari kepempinan Orde Baru yang otoriter. Akibatnya rakyat kurang dewasa dalam berpolitik.

“Kita dipimpin dengan cara itu selama 32 tahun. Demokrasi baru kita rasakan sejak 1998. Belum matang pola berpikirnya, sehingga nggak matang pula dalam memilih pemimpin,” paparnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Makanya rakyat gampang suka dan gampang melupakan kekurangan tokoh itu?
Ya. Di masyarakat Indonesia saat ini terjadi fenomena sosial mudah menyukai pemimpin, dan mudah melupakan dosa sejarah. Ini terjadi karena minimnya pendidikan politik saat masa Orde Baru.

Bukankah Orde Baru sudah cukup lama berlalu?
Memang, tapi efeknya masih sangat terasa dalam pola kepemimpinan dan pemikiran masyarakat.

Bukankah era reformasi ini juga gagal mendidik rakyat berpolitik?
Bukan. Ini masih dampak Orde Baru yang otoriter. Saat awal era reformasi, masyarakat kan terkena culture shock akibat lamanya hidup di bawah kepemimpinan otoriter. Masyarakat yang tidak terbiasa diberi kebebasan, tiba-tiba menjadi bebas sebebasnya. Akibatnya cenderung lepas kontrol.

Sementara di sisi lain, orang-orang yang punya power pun merasa mendapatkan kesempatan untuk berkuasa, dan mereka memanfaatkannya. Terjadilah pengaturan kekuasaan. Sementara kebutuhan pendidikan politik masyarakat terlupakan. Pemimpin itu tidak memimpin masyarakat untuk menjalani kehidupan demokrasi yang baik.

Bukankah masyarakat bisa belajar sendiri?
Tidak bisa. Di saat peralihan pola kepemimpinan seperti itu, sosok para pemimpin sangat menentukan. Sebab, masyarakat sibuk memikirkan kebutuhan hidup mereka. Ingat, memasuki masa reformasi, kondisi masyarakat masih banyak  di bawah garis kemiskinan dan  tidak berpendidikan. Makanya harus ada pemimpin yang mengarahkannya.

Sekarang kan sudah banyak yang berpendidikan?
Tapi lebih banyak lagi yang pendidikan dan perekonomiannya tingkat menengah ke bawah. Pola pikirnya masih mengutamakan popularitas. Makanya yang menang itu calon yang banyak uang, yang memiliki banyak kesempatan untuk meningkatkan popularitas.

Siapa yang paling bertanggung jawab terhadap hal ini?
Partai politik. Memasuki era reformasi, pola pikir parpol tidak berubah. Mereka hanya mencari bagaimana caranya agar menang.

Mereka melupakan pendidikan politik bagi masyarakat, melupakan kaderisasi partai. Pokoknya apa saja boleh asal bisa menang. Akibatnya mereka hanya mau mengusung orang-orang yang punya uang untuk berkampanye, dan menang.

Separah itukah?
Betul kok. Saya pernah ngobrol sama salah satu teman petinggi partai. Dia menyatakan partainya memiliki kader-kader fresh, dan terdidik (jenjang pendidikan S1 dan S2) sampai enam angkatan. Tapi tidak ada satupun yang dijadikan caleg. Sebab mereka tidak punya uang, yang bisa dijadikan modal untuk popular.
 
Prediksi Anda siapa pemenang Pemilu 2014?
Image-nya yang bagus PDIP. Rakyat menilai posisinya sebagai oposisi selama 10 tahun ini mendapat simpati publik. Mereka dinilai pro rakyat.

Bukankah saat PDIP menang dalam Pemilu 1999 tidak bisa berbuat apa-apa, ini bagaimana?
Memang. Tapi kesalahan mereka di masa lalu dilupakan. Makanya saya bilang, rakyat gampang melupakan.

Jokowi yang dipermasalahkan sebagian orang menjadi capres, ini bagaimana?
Cuma orang-orang ngawur yang mempermasalahkan dia nyapres. Menurut saya penilaian tersebut tidak ada pengaruhnya.

Apa sih yang disukai masyarakat dari sosok Jokowi?
Daya tarik Jokowi karena gaya dan perilakunya sederhana sesuai dengan pikiran rakyat. Jokowi hanya mengenakan kemeja. Sangat jarang berdasi dan mengenakan jas.

Tapi itu kan tidak bisa menyelesaikan masalah?
Terlepas dari kapasitas dan leadership-nya sebagai capres. Tapi realitanya Jokowi memiliki daya tarik sangat tinggi. Jokowi dinilai kompeten menyelesaikan persoalan masyarakat, seperti membenahi Tanah Abang.

Anda sepertinya meragukan kapabilitas dan leadership Jokowi ya?
Bukan meragukan sih. Kalau dibandingkan capres-capres yang ada, dia kapabel. Cuma kalau bicara soal kapabilitas dan leadership murni saya tidak tahu. Kita ini kan tidak benar-benar memilih yang terbaik.

Cuma memilih yang lebih baik dari yang ada. Seperti yang saya bilang di awal, belum ada pemimpin yang bagus sekelas Soekarno. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA