Hal itu disampaikan aktivis Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Rio Ayudha Putra saat dihubungi
Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin. Menurutnya, banyak target pemerintah meleset, bahkan tanpa arah.
“Kemensos tidak mempunyai indikator yang jelas. Faktor apa yang menyebabkan bisa berhasil? Banyak terget yang meleset. Tidak bisa semuanya dipukul rata. Pasti masih ada kekurangan di sana-sini. Di lapangan kenyataannya sangat berbeda dengan yang dikatakan Pemerintah. Harus ada evaluasi terhadap program Kemensos,†katanya.
Rio mengatakan, program tersebut memang mampu mengurangi sedikit beban pengeluaran bagi keluarga yang kurang mampu. Namun, jangan lantas bangga jika mampu mengurangi penderitaan masyarakat miskin. Sebab, bantuan yang diterima jumlahnya masih belum bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.
“Seharusnya Kemensos secara berkala melakukan pendataan dan survei terhadap masyarakat yang mendapatkan program KPH. Apakah yang diterima memang mencukupi atau tidak. Kalau tidak, segera ambil tindakan. Kalau sudah mencukupi, cari masyarakat lain yang memang sangat membutuhkan,†sarannya.
Kata Rio, Kemensos harus berkaca pada berbagai program pengentasan kemiskinan Pemerintah belum lah berkualitas. Misalnya, Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang diberikan setiap empat bulan sekali.
“BLSM pelaksanaannya masih kacau balau. Banyak yang belum menerima bantuan dan salah sasaran. Untuk tahun depan, Kemensos harus mampu membuat program yang jitu dan benar-benar mampu untuk mengentaskan kemiskinan,†tegas Rio.
Untuk menggalakan program PKH di tahun 2014, pemerintah juga perlu strategi tambahan untuk mempercepat pengentasan kemiskinan. Di antaranya memperhatikan kualitas kesehatan masyarakat. Juga menggalakan pendidikan bagi rakyat miskin dalam hal keterampilan pelayanan.
Sebelumnya, Salim Segaf Al Jufri mengklaim PKH berhasil dalam mengatasi masalah kemiskinan, terutama dalam kontribusi mencapai tujuan pembangunan millenium (MDGs). “PKH berhasil dan memberi kontribusi pada tercapainya tujuan pembangunan millenium (MDGs),†kata Mensos pada refleksi Program Kemensos 2013 dan Espektasi 2014 di Jakarta, Selasa (24/12).
Mensos mengakui secara data memang tidak ada data yang menunjukkan penurunan signifikan angka kemiskinan dari implementasi PKH. Tapi, keberhasilan itu bisa dilihat dari beberapa indikator, seperti di daerah yang melaksanakan PKH tidak ada lagi anak yang tidak sekolah.
“Berbeda sekali dengan daerah yang tidak terjangkau PKH. Di daerah yang melaksanakan PKH masalah kesehatan ibu dan anak juga terpantau. Dari sisi ini bisa dibilang berhasil,†kata menteri dari PKS itu.
PKH merupakan program bantuan tunai bersyarat bagi Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Setiap RTSM mendapat bantuan PKH dengan syarat anak usia sekolah harus bersekolah, ibu hamil memeriksakan kandungannya ke puskesmas, anak dibawa berobat jika sakit. Pada 2013, peserta PKH mencapai 2,4 juta RTSM. Sementara pada 2014 ditargetkan ada tiga juta RTSM yang mendapat bantuan PKH.
Menurut Rio, pernyataan Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri tersebut hanya mencari popularitas semata dan tidak berdasarkan fakta. Sebab, masih banyak masyarakat yang tak mengerti bagaimana program tersebut berjalan dan kapan diberikan.
“Pernyataan seperti ini marak menjelang diadakannya pemilu tahun depan. Mungkin ingin mempengaruhi masyarakat bahwa Kemensos kinerjanya bagus dan sangat peduli terhadap kaum miskin. Mengharapkan adanya simpati dari masyarakat. Jika benar demikian, maka sangat disayangkan berbuat sesuatu dengan mengharapkan imbal balik,†cetusnya.
Komnas PA Harap UU SPPA Mampu Melindungi AnakUndang Undang (UU) Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang akan berlaku pada 2014, mendapat respons positif dari aktivis perlindungan anak. Aturan itu diharapkan mampu melindungi dan memenuhi hak-hak anak.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) melihat, UU SPPA adalah solusi terbaik bagi pelaku kejahatan anak dan korbannya. Tak hanya itu, Komnas PA pun yakin aturan ini merupakan aturan perlindungan anak yang terbaik di dunia.
“Kita dari Komnas PA sangat apresiasi terhadap Undang-undang ini karena menganut dua sistem, yakni restorasi dan diversi. Ini bisa jadi yang terbaik di dunia, baik dari segi korban mau pelaku di bawah umur,†ujar Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait di Jakarta, kemarin.
Dia melihat, jika UU itu sudah bisa dijalankan, maka penyelesaian perkara anak bisa menjadi lebih adil. Misalnya dengan pemberlakukan metode restorasi. “Ini penyelesaian perkara dengan melibatkan pelaku korban keluarga, keluarga pelaku dan korban, saksi serta pihak terkait untuk sama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada proses healing atau penyembuhan ke kondisi semula,†jelasnya.
Sementara diversi berarti pengalihan penyelesaian perkara anak dari peradilan pidana ke proses luar peradilan dengan menggunakan asas perlindungan, keadilan non diskriminasi dan kepentingan yang terbaik bagi anak. Langkah pemidanaan dianggap sebagai upaya hukum terakhir.
Menurutnya, hukuman penjara tidak manusiawi untuk anak. Apalagi di Indonesia model penjara yang dibangun hanya penjara untuk orang dewasa, sehingga tidak layak bagi anak-anak.
“Seharusnya anak-anak yang sekarang ada di dalam penjara diserahkan ke lembaga sosial atau panti untuk direhabilitasi atau dikembalikan kepada keluarganya masing-masing,†kata Arist.
UU SPPA sendiri menghilangkan istilah penjara. Sebab, jika ada anak yang berhadapan dengan hukum, lebih tepat bila anak tersebut ditempatkan di pusat rehabilitasi anak, sehingga anak itu tidak merasa terpenjara. Selain itu, pemulihan anak dari perilaku yang dianggap tidak baik, seharusnya ditangani dengan cara-cara yang sesuai dengan usia anak. Ini karena tindakan memenjarakan anak justru akan berakibat pada perkembangan jiwanya.
Sebelumnya, Dirjen HAM Kemenkum-HAM Harkristuti Harkriswonom mengatakan, UU SPPA ini akan berlaku secara efektif pada tahun 2019. Namun, sejak 1 Agustus 2014, UU tersebut akan mulai diberlakukan sambil terus mempersiapkan semua kelengkapan, mulai dari sumber daya manusia, sarana dan pelatihan bagi penyidik.
Pemerintah Lebih Pro Pada AsingKebijakan Pangan Dituding Sengsarakan RakyatBerbagai kebijakan pemerintah yang dikeluarkan pada tahun 2013, dinilai menjauhkan Indonesia dari kedaulatan pangan. Ketimbang berpihak kepada petani dan rakyat sendiri, pemerintah lebih berpihak kepada korporat asing dan negara-negara kapitalis.
Peneliti dari Center for Information and Development Studies (CIDES) Indonesia M Rudi Wahyono mengatakan, beberapa perjanjian kerja sama ekonomi internasional, seperti pertemuan WTO di Bali beberapa waktu lalu, harus diwaspadai dan dipersiapkan karena telanjur disepakati.
“Paket Bali yang dihasilkan pertemuan tersebut disinyalir akan semakin mempersulit tercapainya kedaulatan pangan dan tentunya akan berimbas pada semakin sulitnya menurunkan angka kemiskinan pada masa depan,†kata Rudi dalam pernyataan persnya.
Hal itu bisa terjadi, mengingat produk petani nasional akan bersaing secara kompetitif dari sisi harga dan kualitas dengan produk impor yang semakin membanjiri pasar domestik di masa depan.
Rudi menjelaskan, dalam Paket Bali tersebut disepakati bahwa subsidi pertanian di negara berkembang naik dari sebelumnya maksimal 10 persen dari output nasional, menjadi 15 persen.
“Tapi ini tentu bisa merugikan negara-negara agraris seperti Indonesia di mana mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah pertanian,†paparnya.
Jika subsidi pertanian dibatasi, konsekuensinya banyak petani di Indonesia yang akan menjadi jatuh miskin. Pasalnya, subsidi pertanian seperti subsisdi pupuk dan subsidi benih merupakan nilai tambah dari sektor pertanian yang bisa dinikmati langsung oleh petani.
“Apalagi, berdasarkan data BPS angka persentase kemiskinan sebesar 60 persen dialami oleh masyarakat perdesaan yang kebanyakan berprofesi sebagai petani dan buruh tani,†katanya.
Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ) Bidang Pertanian Rika Febriani mengatakan, sektor pertanian di Indonesia sudah menjadi incaran pihak asing. Itu terbukti dengan dominasi perusahaan benih multinasional di Indonesia yang terus semakin menguat.
“Kini lebih dari 90 persen benih di Indonesia, baik padi, kedelai, jagung, maupun tanaman hortikultura digarap oleh perusahaan multinasional,’’ ujar Rika.
Dominasi perusahaan benih asing itu, katanya, terjadi lantaran terbukanya keran investasi besar-besaran melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. “Undang Undang memberikan kesempatan perusahaan multinasional melakukan bisnis di Indonesia pada berbagai macam sektor. Termasuk pangan dan pertanian,†urainya.
Menurutnya, keterlibatan pemerintah dalam banyak perjanjian dagang internasional seperti World Trade Organization (WTO) dan ASEA-China Free Trade Area (ACFTA), juga menjadi faktor mengguritanya perusahaan asing di negeri ini.
Kasus Kekerasan Tinggi, Penuntasan Rendah
Catatan Kontras Tahun 2013
Sepanjang tahun 2013, kasus-kasus tindak kekerasan tidak kunjung berhenti. Bahkan, aparat penegak hukum sering menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. Sementara penuntasan kasus-kasus kekerasan masih rendah.
Hal itu diungkapkan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar di Jakarta, kemarin. Kontras mencatat, sejak Januari hingga November 2013, telah terjadi 709 kekerasan, yang sebagian besar dilakukan oleh aparat kepolisian. Dari angka kekerasan tersebut, 4.569 warga sipil menjadi korban.
“Angka kekerasan tersebut tergolong cukup tinggi, khususnya jika dibandingkan dengan angka yang terjadi pada 2012 sebanyak 448 kasus kekerasan dan 2011 sebanyak 112 kekerasan,†beber Haris.
Berdasarkan angka itu, KontraS menemukan pada periode yang sama ada 107 kasus secara umum bentuk pelanggarannya dikategorikan sebagai pembiaran. Misalnya saja, aparat yang tidak mengambil tindakan efektif untuk menghentikan penyerangan, intimidasi dan ancaman yang dilakukan oleh kelompok intoleran.
“Bahkan aparat bersama massa intoleran turut serta membubarkan acara atau ritual keagaamaan yang diselenggarakan oleh kelompok minoritas,†tuturnya.
Terkait dengan kekerasan dalam isu eksplorasi sumber daya alam, KontraS mencatat, sepanjang Januari hingga Agustus 2013, terjadi 115 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat dan pihak pengusaha. Bentuk kekerasan yang dilakukan berupa penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penembakan hingga mengakibatkan luka serius dan meninggal dunia, penyiksaan dan perbuatan tidak manusiawi lainnya.
“Tak jarang aparat masih menjadi alat kepanjangan tangan dari perusahaan atau kelompok bisnis. Situasi ini diperburuk dengan lemahnya komitmen pemerintah RI sebagai host country dari beragam perusahaan internasional yang berinvestasi di Indonesia,†jelas Haris.
Sementara itu, kasus penyiksaan dan perbuatan tidak manusiawi menyentuh angka 100 kasus sepanjang 2013. “Perbuatan itu dengan rincian 55 kasus dilakukan oleh aparat kepolisian. Sedangkan 10 kasus di antaranya dilakukan oleh aparat TNI dan 35 kasus melibatkan petugas penjara,†katanya.
Dia menyebutkan, pola penyiksaan dan perbuatan tidak manusiawi lainnya yang kerap dilakukan adalah pemukulan, baik dengan tangan kosong dan benda, secara bertubi-tubi dalam proses pemeriksaan si korban. Selain itu, penyiksaan lainnya adalah korban direndam dalam air, misalnya kolam ikan, atau disiksa dengan setrum hingga mengakibatkan meninggalnya korban.
Lembaga REDD+ Rawan DikorupsiMelibatkan Anggaran TriliunanProgram pengurangan emisi yang berada di bawah lembaga baru Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) dinilai sarat dengan potensi korupsi. Pemerintah diminta memperbaiki sistem penegakan hukum di Indonesia untuk mencegah korupsi di REDD+.
Deputi Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia (TII) Dedi Haryadi mengatakan, terdapat ketidakseimbangan relasi kekuasaan antara aktor dalam REDD+ yaitu pemerintah, pebisnis dan masyarakat sipil. “Proyek ini lemah secara kelembagaan, sedangkan penegak hukum masih korup dan dikhawatirkan mudah menyeleweng,†katanya.
Menurut Dedi, program REDD+ itu memiliki anggaran besar yang melibatkan dana triliunan rupiah. Catatan TII menyebutkan, Indonesia berpeluang menggaet dana REDD+ hingga 765 juta dolar AS setiap tahun dalam 4-8 tahun mendatang. Sejumlah donor berjanji mengucurkan dana, antara lain PBB dan Bank Dunia sebesar 9,2 juta dolar AS, Australia lebih dari 100 juta dolar AS, dan Jerman 92,6 juta dolar AS.
“Faktor yang membuat adanya resiko korupsi di REDD+ yaitu dengan adanya lemahnya penegakan hukum dan keterlibatan aparat penegak hukum dalam korupsi,†kata Dedi.
Manajer Program Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis, Bernardinus Steni menjelaskan, dana REDD+ yang bernilai besar inilah yang berpotensi besar disalahgunakan pengelolanya.
Dia mengakui, pemerintah pusat telah memasukkan strategi untuk menangkal korupsi di REDD+, yaitu dengan memperbaiki tata kelola kehutanan dan memastikan manfaat program dibagi adil kepada yang berhak. Namun, jaring pengaman serupa tak muncul dalam strategi di level provinsi.
“Struktur lembaga pengelola dibentuk ala kadarnya tanpa desain yang memastikan kerangka pengaman sosial. Termasuk pencegahan korupsi, berjalan,†kata Bernardinus.
Menanggapi hal itu, Kepala Badan Pengelola REDD+ Heru Prasetyo menyatakan, selama ada dana yang terlibat, apalagi dengan nilai besar, potensi korupsi pasti ada.
Meski tak bisa 100 persen menyingkirkan peluang korupsi, Heru mengatakan, program kerja Badan Pengelola dirancang untuk memperkecil potensi itu dengan memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam semua kegiatan di pusat dan daerah.
“Salah satu syarat bagi tiap proyek REDD+ adalah keterbukaan informasi pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat yang melaksanakannya,†ucapnya.
Jika ada penyelewengan kewenangan ataupun dana, Heru berjanji langsung melaporkannya kepada penegak hukum agar menimbulkan efek jera. “Tidak akan dibiarkan, meski nilainya kecil,†janji Heru.
Heru menegaskan, lembaganya berkomitmen menangkal korupsi dalam pelaksanaan program bernilai jumbo tersebut. “Program ini sudah kami lengkapi dengan pengaman anti korupsi,†ujarnya.
Heru juga berjanji jika ada penyelewengan kewenangan maupun dana, Badan Pengelola akan langsung melaporkannya ke penegak hukum agar menimbulkan efek jera. “Tidak akan dibiarkan, meski nilainya kecil,†tegasnya.
Seperti diketahui, REDD+ merupakan lembaga baru yang dibentuk presiden melalui Perppres No.63/2013 pada Agustus lalu yang bertugas mengurangi emisi dan melindungi hutan. ***
BERITA TERKAIT: