WAWANCARA

Husaini Hasan: Kecewa, Aceh Makin Terpuruk Setelah Perjanjian Helsinki

Kamis, 17 Oktober 2013, 10:01 WIB
Husaini Hasan: Kecewa, Aceh Makin Terpuruk Setelah Perjanjian Helsinki
Husaini Hasan
rmol news logo Bekas Menteri Pendidikan Kabinet Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Dr Husaini Hasan,  untuk pertama kalinya berkunjung ke Aceh sejak penandatanganan kesepakatan damai GAM dan RI di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.

Husaini yang juga pendiri Ma­jelis Pemerintahan (MP) GAM kini menetap di Swedia. Saat ber­kun­jung ke Aceh 18 September 2013, ia miris melihat kondisi Negeri Serambu Mekah itu.

Meski telah delapan tahun se­jak Me­morandum of Under­stan­­ding (MoU) Helsinki ditan­da­ta­ngani, pembangunan dan kese­jahteraan ma­syarakat Aceh tidak mengala­mi ke­majuan, bah­kan dinilai menga­la­mi kemun­duran. Husaini pun me­ngkritisi pem­bangunan di Aceh.

Berikut kutipan selengkapnya:

Apa latarbelakang Anda pulang ke Aceh?
Saya rindu kampung halaman, mau lihat tanah air dan nostalgia setelah hampir 35 tahun mening­galkan Aceh, tentu ada ra­sa ka­ngen. Tidak ada misi khusus.

Selama menetap di Swedia hampir 30 tahun, apa kesibu­kan Anda di sana?
Saya buka praktek dokter spe­sialis kebidanan dan jadi kon­sultan kesehatan di beberapa ru­mah sakit. Sebelumnya 3,5 tahun sempat menetap di Malaysia juga bekerja sebagai dokter.

Bagaimana perasaan Anda melihat Aceh saat ini, apakah perubahannya besar sejak Anda tinggalkan?
Jauh dari yang saya bayangkan dan saya harapkan. Sedih lihat Aceh saat ini. Dari segala bidang Aceh mundur sekali. Padahal, potensi Aceh baik sumber daya alam maupun sumber daya ma­nusia sangat besar.

 Aceh saat ini tidak sesuai dengan yang Anda cita-citakan dahulu bersama GAM?

Betul. Dulu kita berjuang mem­­bawa Aceh agar derajatnya tinggi di segala segi.

Ternyata se­te­lah perjanjian Helsinki, Aceh makin terpuruk, kami sebagai pejuang menjadi kecewa.

Bisa dibilang MoU Helsinki tidak berjalan?

Kenyataan memang seperti itu. Harusnya MoU ini punya peran un­tuk memajukan Aceh, tapi em­plementasinya tidak berjalan. Pe­mimpinnya (Gubernur) pun masih sibuk mengurus yang tidak perlu.

Sibuk mengurus apa?

Ya, mereka sibuk mengurus soal bendera dan wali naggroe. Padahal, masih banyak masalah lain yang harus dipikirkan untuk memajukan Aceh, seperti pemba­ngu­nan rakyat, pembangunan negeri, infrastruktur, ekonomi dan agama.

Berarti MoU Helinski tidak ada manfaatnya sama-sekali dalam mensejahterakan rakyat dan membangun Aceh?

Nggak ada sama-sekali. Ham­pir semua poin-poin di MoU itu tidak diimplementasikan.

Selama Anda berada di luar negeri, apakah  meng-up date infor­masi tentang Aceh?
Iya, saya pantau dari internet, tv kabel, surat kabar. Saya juga masih suka bertanya dengan te­man atau keluarga yang masih menetap di Aceh tentang kon­disi Aceh saat ini.

Ada atau tidak keinginan un­tuk sharing dengan sahabat, te­man seperjuangan dan junior untuk membahas kondisi Aceh saat ini yang menurut Anda memprihatinkan?
Ada, sudah dilakukan, tapi ha­nya dengan kawan-kawan di uni­versitas dan tokoh masyara­kat.

Bagaimana dengan Pemerin­tah Daerah Aceh?
Saya kurang hubungan. Ter­ma­suk dengan pasangan kepala daerah saat ini Zaini Abdullah-Muzakir Manaf.

Pernah ada undangan dari Pemerintah Daerah untuk dis­kusi masalah Aceh?
Saya sering bicara di televisi lokal dan nasional, juga surat ka­bar terkait kondisi Aceh yang memprihatinkan, pastinya mere­ka juga tahu. Tapi, sampai saat ini mereka belum pernah menghu­bungi saya. Sebenarnya saya juga ingin bertukar pikiran, tapi gima­na ya belum ada komunikasi.

Apa yang paling urgent dibe­nahi di Aceh saat ini?
Semuanya harus dibenahi. Ta­pi, yang paling penting konflik in­ter­nal di Aceh itu sendiri ha­rus di­se­lesaikan dulu. Kalau ma­­sih banyak konflik internal, investor eng­gan masuk, ini akan meng­ham­bat ke­majuan bagi Aceh dan merugikan masyara­kat secara keseluruhan.

Anda melihat hubungan pe­merintah pusat dengan peme­rintah daerah Aceh seperti apa?

Hubungannya bagus. Kesala­han­nya bukan pada pusat kenapa Aceh tidak bisa maju.

Kesalahan ada di daerah yang tidak punya program pembangunan jangka panjang.

Mereka seolah tidak mau mem­bangun diri. Padahal peme­rintah pusat sudah membe­ri kebebasan. Anggaran yang di­ge­lon­torkan pusat untuk me­ma­ju­kan Aceh juga cukup besar.

Konkretnya, apa yang perlu dilakukan Pemerintah Daerah Aceh saat ini agar tidak sema­kin terbelakang?
Pertama, mereka harus kon­so­­lidasi dengan masyarakat. Me­­re­ka kan dipilih oleh rakyat. Mere­ka juga harus dengar as­pi­rasi dan berjuang untuk rak­yat. Rangkul masyarakat untuk mem­bangun Aceh.
 
Kedua, Aceh harus membuka pintu untuk kemajuan. Asal ti­dak melanggar norma adat dan aga­ma, masukan-masukan dari luar saya rasa cukup penting un­tuk memajukan Aceh.

Apa konsep yang tepat untuk pembangunan di Aceh?
Kita harus akui kebodohan kita sendiri. Jangan tertutup de­ngan dunia luar. Beri peluang seluas-luasnya untuk demok­rasi supaya kita dapat ilmu le­bih ba­nyak.

Sebentar lagi pemilu, apa harapan Anda pada pemimpin terpilih nanti?

Pemilu ini kan bentuk demo­k­rasi. Siapapun kepala nega­ra­nya nanti diharapkan bisa mem­ba­ng­un negara kita dan Aceh khu­sus­nya. Asal tujuannya bagus, le­bih adil lebih merata demi kemak­muran, kita akan selalu dukung siapapun yang ter­pilih. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA