Kini muncul lagi perebutan logo Ikatan Advokat Indonesia (IkaÂdin) pimpinan Otto Hasibuan deÂngan Ikadin pimpinan Todung MulÂya Lubis. Ikadin Otto HasiÂbuan diadukan ke Mabes Polri.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Asosiasi Advokat IndoÂneÂsia (AAI) Humphrey Djemat meÂngatakan, sudah saatnya diÂhenÂtikan konflik internal.
“Sekarang ini sedang digodok RUU KUHAP, mari kita bersatu untuk mendukungnya dan memÂperjuangkan advokat setara deÂngan polisi dan jaksa,’’ kata bekas Jubir Satgas TKI itu kepada
RakÂyat Merdeka, kemarin.
Berikut kutipan selengkapnya;Apa RUU KUHAP menyanÂtumÂkan kesetaraan itu?Ya. AAI telah mengadakan disÂkusi tentang RUU KUHAP. IsiÂnya bagus, mengatur kesetaraan antara polisi dengan advokat pada saat proses penyidikan. SedangÂkan saat proses persidangan ada kesetaraan antara jaksa dan advokat.
Makanya, kami menyimpulÂkan agar advokat wajib menduÂkung RUU tersebut menjadi UnÂdang-Undang. Sudah saatnya paÂra advokat berdiri tegak setara deÂngan penegak hukum lainnya.
Bagaimana dengan RUU Advokat yang juga sedang digodok di DPR?AAI melihat perlunya prioÂritas pembahasan RUU KUHAP kareÂna menyangkut kepentingan para advokat dalam menjalanÂkan tuÂgasnya dan terkait dengan hak asasi manusia bagi masyaÂrakat pencari keadilan. Kita konÂsenÂtrasi mendukung RUU KUHAP itu.
Apa yang perlu diperhatikan dalam penggodokan RUU KUHAP itu?Berdasarkan hasil diskusi di AAI yang dianggap penting dan harus diperhatikan yaitu terkait dengan sistem penahanan di maÂna hal tersebut berkaitan pula deÂngan pasal 9 International
CoÂveÂnant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang sudah diraÂtiÂfikasi oleh Indonesia, bahkan sudah jadi Undang-Undang.
Apa isi pasal 9 ICCPR itu?Antara lain menyatakan, apaÂbila terdapat seseorang yang diÂtangkap maka dengan segera atau dengan seketika, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membawa Surat Perintah Penahanan dan Penyidik membawa orang yang ditangkap secara fisik (
physically) untuk diÂhaÂdapkan kepada hakim dengan didampingi advokat karena yang mempunyai kewenangan untuk menyatakan seseorang ditahan adalah hakim.
Bukankah kepolisian kebeÂraÂtan dengan pasal itu?Tentu. Hal tersebut menyebabÂkan kepolisian keberatan dengan RUU KUHAP.
Sebab, kewenaÂngan penahanan telah dialihkan kepada hakim. Kepolisian tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penahanan terhadap orang yang diduga keras melakuÂkan tindak pidana.
Penahanan yang dilakukan atas perintah hakim tersebut dilaÂkukan demi kepentingan bersaÂma. Sebab, semua orang berpoÂtenÂÂsi untuk ditahan atau melaÂkuÂkan suatu tindak pidana. Maka peÂnahanan yang dilakukan atas peÂrintah hakim tersebut merupaÂkan suatu tindakan untuk mengÂhindari adanya pelanggaran yang sifatnya kemanusiaan.
Apa bisa disebutkan contohÂnya?Apabila terdapat seorang terÂÂÂÂsangÂka yang telah diÂtangÂkap, keÂmudian dihadapkan keÂpada haÂkim dan ternyata terÂsangka itu lumÂpuh, maka haÂkim dapat mengÂgunakan keÂwenangannya unÂtuk tidak meÂlakukan penahaÂnan terhadap orang tersebut.
Dalam RUU KUHAP, penaÂhaÂnan yang dilakukan kepoÂlisian berapa lama?Penahanan pada pihak kepoÂliÂsian dilakukan selama 5 X 24 Jam. Kemudian dapat diperpanÂjang oleh kejaksaan selama 5 X 24 jam. Kemudian dihadapkan keÂpada hakim komisaris.
Bagaimana dengan pengangÂkatan hakim komisaris?Saya kira tidak perlu mencari hakim-hakim baru. Cukup mengÂÂangkat hakim yang sudah ada di pengadilan-pengadilan negeri menjadi hakim komisaris.
NaÂmun yang menjadi perÂhaÂtian adaÂlah bagaimana meÂmilih haÂkim yang memiliki profesioÂnaÂlisÂme yang tinggi dan bersih, seÂhingÂga tidak dapat diinterÂvensi.
Sikap polisi di sini bagaiÂmana?Itu yang dipersoalkan. MakaÂnya polisi berkehendak bahwa hakim komisaris yang datang keÂpada kepolisian untuk menenÂtuÂkan penahanan terhadap seorang tersangka.
Apalagi yang penting dalam RUU KUHAP?RUU KUHAP memperkenalÂkan,
advesary system atau yang diÂÂnamakan dengan sistem berimÂbang. Hal tersebut memÂbuat arti dari sebuah Berita AcaÂra PemeÂriksaan (BAP) menjadi lebih keÂcil di dalam
advesary system ini.
Lebih mengutamakan keteÂraÂngan di muka sidang, di mana JPU dan penasihat hukum bisa menÂanyakan langsung kepada saksi-saksi yang dihadirkan dan melaÂkuÂkan konfrontasi terhadap keteÂrangan-keterangan yang telah diÂberikan di dalam persiÂdangan.
Selain itu, JPU dan penasihat hukum diperbolehkan untuk memanggil saksi-saksi yang tidak terdapat di dalam berkas perkara terkait dengan pembuktian naÂmun hal tersebut dibatasi oleh haÂkim yang mempunyai keÂweÂnaÂngan untuk memperbolehkan perÂmintaan dari masing-masing piÂhak untuk menambah saksi.
Mengenai penyelesaian di luar pengadilan, itu bagaiÂmana?Ini juga menarik. RUU KUHAP juga memperkenalkan yang diÂnamakan dengan penyeÂlesaian di luar pengadilan. NaÂmun hal terseÂbut dapat dilakukan terbatas pada tindak pidana ringan dan ancaman hukumannya di bawah lima sampai dengan emÂpat tahun serta tidak dilakukan oleh recidivis dan tidak dalam penahanan.
Sebab, jika sudah ditahan dan tetap dilakukan penyelesaian di luar pengadilan akan mengurangi nilai penahanan itu sendiri. PeÂnyelesaian di luar pengadilan ini merupakan suatu upaya agar menguÂrangi perkara-perkara yang diperiksa di pengadilan.
Bukankah di Belanda dan Rusia menerapkan sistem ini, dan bagaimana hasilnya?Betul. Sistem ini diterapkan di beberapa negara, seperti Belanda dan Rusia. Di Belanda penyeleÂsaian di luar pengadilan dapat diÂlaÂkukan terhadap tindak pidana yang ancamannya di bawah enam tahun. Makanya 60 persen perÂkara pidana di Belanda telah diÂselesaikan di luar pengaÂdiÂlan. Sedangkan di Rusia terhadap tinÂdak pidana yang ancamanya di baÂwah 10 tahun.
RUU KUHAP ini kurang soÂsiaÂlisasi, apa yang dilakukan?Sosialisasi dan masukkan unÂtuk mendukung RUU KUHAP akan dilakukan AAI di kota-kota besar di Indonesia, sehingga maÂsyaÂrakat secara umum dan khuÂsusÂnya para advokat bisa memaÂhami secara jelas RUU tersebut dan juga memberikan duÂkuÂnganÂnya untuk menggolkannya.
Sudah saatnya para advokat menghentikan konflik di antara seÂsama Advokat. Tingkatkan peÂraÂnannya agar setara dengan peÂneÂgak hukum lainnya seperti poÂlisi dan jaksa. Ini tentu lebih memÂbanggakan dan memÂperliÂhatÂkan profesi
officium nobile-nya. [Harian Rakyat Merdeka]