Namun, pihak Kejaksaan Agung mengaku masih menaÂngani kasus yang bermula dari peÂnyaluran kredit sebesar Rp 69,8 miliar ini. “PeÂngembangan peÂnyiÂdikan maÂsih berlangsung,†kata Kepala PuÂsat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi pada Jumat lalu (25/1).
Penyidik Kejagung sudah menetapkan 11 tersangka perkara ini. Sepuluh diantaranya berasal dari pihak Bukopin. Para terÂsangka itu adalah Harry Harmono Busri (karyawan Bukopin), ZulÂfikar Kesuma Prakasa (Account Officer Bukopin), Elly WoerÂyanÂdani (Manager Divisi Kredit AgÂribisnis Bukopin), Suherli (MaÂnaÂjer Pengembangan Bukopin dan bekas Anggota Komite Kredit).
Tersangka selanjutnya, Eddy Linson Harlianto (pimpinan Bukopin Cabang Medan, bekas Group Head Agribisnis dan angÂgota Komite Kredit), Eddy CahÂyono H (General Manager Area III Bukopin, bekas Head Group UKK II dan anggota Komite KreÂdit), Dhani Tresno (Manajemen Bukopin Cabang Jember dan beÂkas anggota Kredit Komite BuÂkoÂpin), Aris Wahyudi, Anto KusÂmin Satoto dan Sulistiyohadi (karÂyawan Bukopin).
Tersangka dari pihak penerima kredit adalah Gunawan NG selaku Kuasa DiÂrektur PT Agung Pratama Lestari.
Belum ada pihak lain yang diÂtetapkan sebagai tersangka kasus ini. “Tentu berdasarkan peÂngemÂbangan penyidikan, akan terlihat apakah ada bukti kuat untuk meÂnetapkan tersangka baru.†UnÂtung pun membantah bahwa KeÂjagung tebang pilih dalam mÂeÂnaÂngaÂni kasus ini. “Siapa saja yang berdasarkan pengembangan peÂnyidikan memang terlibat, tentu akan kami telusuri,†lanjutnya.
Menurut dia, sejumlah saksi dan para tersangka masih dalam tahap pengembangan penyidikan. Contohnya, pada Kamis 20 DeÂsember 2012, penyidik meÂngÂaÂgenÂdakan pemeriksaan sembilan saksi dari pihak Bukopin. NaÂmun, pada pemeriksaan yang diÂagendakan pukul 09.30 WIB itu, yang hadir hanya satu saksi.
Sedangkan delapan saksi lainÂnya, kata Untung, hingga pukul dua siang tidak hadir karena ada tugas yang tak bisa ditinggalkan, sebagaimana dijelaskan dalam surat dari Bank Bukopin NoÂmor:14357/DHKP/XI/12, tangÂgal 19 Desember 2012. Dalam surat itu, Kejagung diminta menÂjadwalkan kembali pemeriksaan para saksi tersebut.
Kemudian, pada Selasa 15 JaÂnuari lalu, penyidik meÂngaÂgenÂdaÂkan pemeriksaan tiga saksi, yaitu Irwan Djajaatmadja, Irwan SurÂyanto dan Budiarto. “Mereka dari Kantor Jasa Penilai Publik SuÂgeng, Irwan, Gunawan dan ReÂkan,†ujar Untung.
Irwan Suryanto dan Budiarto haÂdir pada pukul 10 pagi. SeÂdangÂkan Irwan Djajaatmadja tiÂdak nongol. “Pemeriksaan terÂseÂbut intinya mengenai tugas dan peÂlaksanaan saksi-saksi itu seÂlaku kantor jasa penilai publik saat menghitung harga mesin drying centre,†kata Untung.
Pada Rabu 23 Januari 2013, peÂnyidik mengagendakan pemÂeÂrikÂsaan satu saksi, yaitu Kepala DiÂvisi Regional Bulog Surabaya MuÂharto. Saksi ini memenuhi panggilan penyidik pada pukul 10 pagi. Inti pemeriksaan ini meÂngeÂnai tugas dan kewenangan saksi saat pengadaan alat pengering gabah (drying center). Selain itu, untuk mengetahui pasokan beras yang masuk dari petani. “Jadi, proses penyidikan ini berjalan terus,†katanya.
Kasus ini bermula dari peÂnguÂcuÂran kredit Bank Bukopin ke PT Agung Pratama Lestari (APL) seÂbesar Rp 69,8 miliar selama tiga taÂhap pada tahun 2004. Dalam pengajuan kredit, PT APL beÂrenÂcana menggunakan pinjaman itu untuk pembangunan 45 unit alat pengering gabah (drying center) pada Bulog Jawa Timur, Jawa TeÂngah, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan.
Berdasarkan perencanaan proÂyek, PT APL akan membeli meÂsin pengering gabah merk Global Gea buatan Taiwan. Namun, meÂsin yang dibeli bermerek Sincui. Kemudian, mesin bermerk Sincui itu ditempeli merk Global Gea. PerÂsoalan lain muncul karena kreÂdit ini macet. Total kredit maÂcet beserta bunganya itu menjadi Rp 76,24 miliar. Kejagung meÂnyangka ada upaya terstruktur dan terencana untuk membobol duit Bank Bukopin itu.
Reka Ulang
Ada Silang Pendapat Soal Kerugian Keuangan Negara
Bekas Direktur Utama Bank BuÂkopin Sofyan Basyir meÂnyeÂrahÂkan sepenuhnya proses huÂkum kepada aparat penegak huÂkum. “Kita serahkan ke proses huÂkum saja,†katanya lewat sms.
Sebelumnya, pada Selasa 4 SepÂÂtember 2012, Sofyan meÂnyamÂpaiÂkan, pihaknya sudah memberikan klarifikasi kepada aparat penegak hukum. Bahkan, menurutnya, daÂlam perkara ini tidak ada kerugian keuangan negara. “Sebab, waktu itu Bukopin bukan BUMN. KeÂpemilikan saham negara hanya 18 persen, kepemilikan saham peÂmerintah 22 persen. Sisanya swasÂta. Artinya, tidak ada negara diÂruÂgikan,†katanya saat dihubungi.
Karena saat itu Bank Bukopin bukan BUMN, menurut Sofyan, maka aneh bila disebut ada keÂrugian negara dalam perkara ini. “Kecuali anggarannya dari APBN, nyatanya bukan,†tandas pria yang sekarang menjabat Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) ini.
Sofyan menambahkan, pada tahun 2004, dirinya sudah pernah dimintai keterangan sebagai saksi selaku pejabat Bank Bukopin. “Saya jelaskan semua, prosedur maupun manajemen dalam perÂsoalan tersebut,†ucapnya.
Dia berharap, penegak hukum menjunjung azas keadilan dalam menangani kasus ini. “Biar huÂkum benar-benar menunjukkan keÂadilan. Saya berharap aparat peÂnegak hukum menegakkan keÂadilan,†katanya.
Pada Senin, 3 September 2012, Jaksa Agung Muda Pidana KhuÂsus Andhi Nirwanto mengatakan, penyidikan kasus Bukopin berÂjaÂlan lambat karena kejaksaan meÂneÂrima hasil audit Badan PemeÂrikÂsa Keuangan (BPK) dan BaÂdan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengenai keÂpemilikan saham pemerintah di bawah 50 persen di Bukopin, yang dianggap tidak mÂengaÂnÂdung kerugian negara.
Dalam perkembangannya, KeÂjaksaan Agung seperti menÂdaÂpatÂkan angin segar dari kasus pemÂbobolan dana PT Elnusa sekitar Rp 111 miliar yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Bandung. Pada kasus Elnusa, kata Andhi, meskipun saham pemerintah di bawah 50 persen, namun dapat disidangkan.
“Sekarang, sudah ada semaÂcam yurisprudensi, ada peÂrÂbanÂdiÂngannya di Pengadilan Tipikor BanÂdung. Dalam kasus Elnusa itu, saham pemerintah kecil, tapi sudah dianggap sebagai kerugian keuangan negara,†katanya.
Menurut Direktur Penyidikan KeÂjagung Adi Toegarisman, peÂnyidik sudah turun ke 35 kaÂbuÂpaÂten di lima provinsi untuk meÂlaÂkuÂkan penyitaan sejumlah doÂkumen dan barang-barang terkait kasus ini. Lima provinsi itu yakni Jawa TeÂngah, Jawa Timur, Bali, Nusa TengÂgara Barat dan SuÂlawesi Selatan.
Penyidik Kejaksaan Agung suÂdah pernah memeriksa bekas DiÂrektur Utama Bank Bukopin SofÂyan Basir sebagai saksi. “Dia perÂnah diperiksa sebagai saksi. Tapi, pada pemanggilan yang kedua, dia tidak datang,†kata Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Adi Toegarisman.
Cenderung Tak Miliki Perencanaan Waktu Selesaikan Kasus
Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago meÂnyamÂpaÂikan, jika selama bertahun-taÂhun proses penyidikan perkara ini tak selesai, maka perlu diÂpertanyakan apa masalah dan kendalanya.
Bahkan, kata Taslim, pola peÂnyidikan yang dilakukan KeÂjakÂsaan Agung cenderung tidak memiliki perencanaan. “Kalau begini, Kejaksaan Agung tidak punya perencanaan waktu daÂlam memroses sebuah kasus,†ujar Taslim.
Politisi PAN itu mengatakan, ada sejumlah kemungkinan bila proses pengusutan berjalan lama. Ada kemungkinan kasus ini telah “masuk anginâ€.
“ApaÂkah ini seperti mainan, meÂÂnetapkan orang jadi terÂsangka lalu dijadikan sebagai ATM. Jika begitu, kelihatan seÂkali tidak adanya kepastian huÂkum,†ujarnya.
Taslim menyoroti, pentingÂnya penyidik mengusut juga ke arah pengambil kebijakan angÂgaran di DPR waktu itu. Sebab, menurut dia, penanganan kasus ini malah tercium aroma poliÂtisasinya yang kental.
“Siapa yang terlibat harus diperiksa dan dihukum. Jangan-jangan kasus ini diam karena ada anggota DPR yang terlibat di dalamnya,†tandas dia.
Kalau ada anggota DPR yang terlibat, lanjut Taslim, KejakÂsaÂan Agung tidak boleh terÂpeÂngaÂruh. “Ini akan semakin meÂmÂbuat masyarakat tidak percaya pada penegakan hukum di neÂgeri ini,†ujarnya.
Karena itu, Taslim meneÂgasÂkan, agar kejaksaan tidak terÂlena dengan tekanan politik, uang maupun kepentingan lainÂnya dalam pengusutan kasus ini. “Saya minta Kejaksaan Agung menutup mata terhadap tekanan politik. Mereka sudah menetapkan tersangka dengan jumlah yang cukup banyak, maka tidak ada alasan lagi unÂtuk memutarbalikkan fakta,†ujarnya.
Kredit Puluhan Miliar Bukan Keputusan Karyawan Biasa
Sandi Ebenezer Situngkir, Majelis Pertimbangan PBHI
Anggota Majelis PertimÂbaÂngan Perhimpunan Bantuan HuÂkum Indonesia (PBHI) SanÂdi Ebenezer Situngkir meÂnyamÂpaikan, Kejaksaan Agung harus membuktikan keseriusan kiÂnerjanya mengusut kasus ini. Caranya, menjerat yang diduga sebagai pelaku utama, menjadi tersangka.
Penetapan tersangka pada leÂvÂel atasan, menurut Sandi, seÂhaÂrusnya dilakukan Kejaksaan Agung. Apalagi kasus ini sudah lama ditangani Kejaksaan Agung. “Sebab, penguncuran kreÂdit puluhan miliar rupiah, tiÂdak mungkin hanya dilakukan karyawan biasa,†ujarnya.
Lalu, permainan politik daÂlam kasus ini, yang diduga meÂlibatkan tangan-tangan di DPR pun harus diusut. Sebab, kasus seperti ini malah cenderung diÂbiarkan menggantung dengan berbagai dalih.
Indikasinya, angÂgota DPR yang turut meÂngeÂtahui pengaÂdaÂan itu pada waktu lampau maÂlah bungkam. “Kalau kasus ini dilokalisir untuk mengamanÂkan kepentingan pihak tertentu, sangat jelas kejaksaan bertindak tidak profesional. Harusnya itu diusut semua,†katanya.
Bila pengusutannya masih berÂtele-tele juga, lanjut dia, seÂbaiknya perkara ini tidak lagi ditangani Kejaksaan Agung. “Kasus ini serahkan kepada KPK saja,†ujar Sandi.
Dia menilai, bila kasus ini diÂproses Komisi Pemberantasan Korupsi, maka tidak begitu ruÂmit menuntaskannya sampai pada pelaku yang diduga terÂlibat di DPR. “Hanya KPK yang bisa tembus ke anggota DPR,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
BERITA TERKAIT: