Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Di Jakarta & Banten Beredar 11 Ribu Lembar Uang Palsu

Bank Indonesia Nggak Sediakan Ganti Kerugian

Rabu, 07 November 2012, 09:03 WIB
Di Jakarta & Banten Beredar 11 Ribu Lembar Uang Palsu
ilustrasi, uang palsu
rmol news logo .Suprapto dan Amin tidak berkutik ketika dibekuk Kepolisian Resor (Polres) Karanganyar, Jawa Tengah, Minggu (4/11). Keduanya ditangkap karena kedapatan membayar bensin dengan uang palsu (upal). Dari keterangan keduanya kemudian tertangkap lima orang lainnya yang diduga sindikat peredaran upal.

Aiptu Hartono, anggota Polres Karanganyar mengatakan, dari penangkapan itu berhasil disita upal siap edar senilai Rp 3,9 juta, uang asli Rp 4,8 juta, handphone, dan motor milik tersangka. Dari pengakuan para tersangka, upal didapat dari Jawa Timur. Dari setiap penjualan satu lembar uang palsu, setiap orangnya dibayar Rp 30 ribu.

Modus tersangka meng­gunakan uang palsu untuk mem­beli barang. Hasil kembalian dari uang Rp 100 ribu, disetorkan kem­­bali sebesar Rp 60 ribu per lembar.

Oktober lalu, Polsek Metro Ke­bayoran Baru, Jakarta Selatan ber­hasil membekuk anggota kom­plotan pengedar uang palsu dan mengamankan uang palsu siap edar senilai Rp 1 miliar. Dua pe­laku pemalsuan uang itu ber­inisial AM dan ZK. Kepada pe­tu­gas, keduanya mengaku seb­a­gai anggota jaringan pengedar uang palsu.

Terungkapnya jaringan pe­nge­dar uang palsu itu berkat laporan masyarakat. Dari laporan yang diterima, dise­butkan bahwa sejumlah orang me­nawarkan uang palsu untuk ditukar dengan uang asli. Rp 1 miliar uang palsu ditukar dengan Rp 250 juta uang asli.

Peredaran uang palsu di tanah air masih terus terjadi. Temuan Bank Indonesia (BI) sepanjang tahun 2012, dalam setiap satu juta lem­bar uang, 24 lembar di anta­ranya uang palsu. Kebanyakan uang palsu yang ditemukan  mulai dari pecahan Rp 1000-Rp 100.000 yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Dari Statistik Temuan Uang Palsu (Counterfeited Money), ter­catat periode Januari-Agustus 2011 ditemukan 34 lembar uang pal­su per 1 juta lembar. Arti­nya, terjadi penurunan sekitar 10 lembar uang palsu dibanding pe­riode yang sama tahun 2012. Na­mun, secara statistik untuk tahun ini terjadi peningkatan yang konsisten dari bulan ke bulan. Sampai Agustus lalu, BI mencatat uang palsu meningkat menjadi 5 lembar pada setiap satu juta lembar uang asli.

Direktur Pengedaran Bank In­donesia, Adnan Juanda menga­ta­kan, motif peredaran uang palsu sejauh ini lebih pada ekonomi daripada politik.  

“Paling besar yang dipalsu pecahan Rp 100.000, yang kedua Rp 50.000, kemudian Rp 20.000. Pecahan lain relatif kecil. Motif pemalsuan di Indonesia lebih ekonomi daripada politik. Orang men­cari untuk berbisnis dengan cara memalsu uang,” kata Direk­tur Pengedaran Bank Indonesia, Ad­nan Juanda di Jakarta, kemarin.

Pecahan Rp 100.000 yang pa­ling banyak dipalsukan di ma­na pre­sentasenya mencapai 52,2 persen disusul Rp 50.000 yang me­nguasai 43,1 persen uang yang di­palsukan. Januari sampai de­ngan bulan Juni, terdapat 4 lem­bar uang palsu per 1 juta bilyet uang asli.

Selama tahun 2010 ditemukan 146.366 uang pecahan Rp 100.000 palsu. Ditemukan seba­nyak 61.357 lembar pada 2011, dan sebanyak 21.497 lembar se­lama enam bulan tahun ini.

Berdasarkan sebarannya, Kan­tor Pusat di DKI Jakarta paling banyak menerima laporan uang palsu. Kemudian diikuti daerah Bandung dan Surabaya. BI tak bosan-bosannya mengingatkan masyarakat agar berhati-hati terhadap peredaran uang palsu. Ke­rugian uang palsu bagi ma­sya­rakat yang menda­patkannya, tidak akan diganti BI.

Lebih lanjut Adnan meme­ta­kan, ibukota Jakarta merupakan tempat dominan beredarnya uang palsu dengan persentase seba­nyak 11.758 lembar atau sebesar 28 persen. “Penyebaran terbesar ter­jadi di DKI dan Banten, tahun 2012, 11.758 lembar atau 28 per­sen, Jabar 9879  atau 24,05 pers­en, Jatim 8815  atau 21,46 persen, Lampung sebanyak 1759 atau 4,28 persen dan daerah lain se­perti Jateng,” bebernya.

Beredarnya uang palsu bukan hanya merugikan pemerintah namun juga masyarakat, karena tak ada satu­pun bank sentral yang akan mem­berikan ganti rugi kepada ma­syarakat yang mendapatkannya.

“Yang memprihatinkan, dari uang palsu ini adalah, tidak ada satupun bank sentral yang akan mengganti uang palsu ini. Ma­kanya orang harus mem­per­ha­tikan 3D (Dilihat, Diraba, Dite­rawang) tadi,” sarannya.

Adnan mengatakan, walaupun saat ini sudah ada Undang Un­dang Tentang Mata Uang yang melarang dan memberi sanksi berat bagi siapa saja yang mem­buat dan mengedarkan uang palsu, namun hal itu belum mem­buat efek jera bagi para pelaku. Da­lam Undang-Undang Mata Uang pasal 34, disebutkan setiap orang yang meniru rupiah dipidana dengan kurungan mak­simal satu tahun dan pidana denda maksimal Rp 200 juta.

Sementara bagi setiap orang yang menyebarkan atau meng­edar­kan rupiah tiruan dipidana kurungan mak­si­mal satu tahun dan pidana denda maksimal Rp 200 juta. “Namun sejauh ini, berdasarkan tangkapan di lapangan, motif pemalsuan lebih pada ekonomi dibanding politik,” ungkapnya.

Walau demikian bila diban­dingkan negara Eropa dan Amerika, Adnan mengatakan, Indo­nesia masih tergolong belum begitu mengkhawatirkan. “Di­ban­dingkan negara lain kita belum terlalu gawat, Euro, Dollar AS lebih tinggi dari kita. Apalagi Dolar AS itu kan internasional. Jum­lahnya 20-30 lembar per 1 juta,” ujarnya.

Dikatakan, pembuat uang palsu dinilai lebih canggih dari sistem yang ada, sehingga uang palsu ma­sih bisa diedarkan secara le­luasa. Modus-modus peredaran uang palsu pun kian beragam. BI sendiri telah mengantisipasi untuk men­cegah agar peredaran uang palsu tidak semakin meluas.

Jangan Membuat Masyarakat Panik Bertransaksi

A Tony Prasetiantono, Pengamat Perbankan Nasional

Peredaran uang palsu men­ciderai kepercayaan ma­sya­rakat terhadap sistem mo­neter, perbankan dan peredaran uang. Bank Indonesia dan Polri diminta mengawasi ma­raknya peredaran uang palsu (upal), terutama menjelang pe­ringatan hari besar.

Kalau dibiarkan akan me­nim­bulkan ketidakpastian, bahkan kepanikan masyarakat dalam bertransaksi. Bila sikap negatif ini muncul sangat ber­bahaya. “Ibarat di panggung politik itu makar. Jadi harus di­tin­­dak tegas.”

Secara teoritis bila jumlah uang palsu jumlahnya besar bisa inflatiory. Tapi faktanya sampai saat ini jumlahnya re­latif kecil, yakni tidak sampai tri­liunan rupiah.

Undang-Undang Tentang Ma­ta Uang memberikan me­nga­tur ancaman hukuman mak­simal 15 tahun dan denda Rp 200 juta bagi para pemalsu ru­piah. Ini semestinya menjadi dasar yang kuat bagi Polri untuk mem­be­rantasnya.

“Pemalsu uang harus dibe­ri­kan hukuman maksimal ka­rena menimbulkan keti­dak­percayaan di ma­sya­ra­kat.”

Harus Diputus Mata Rantainya

Zaini Rahman, Anggota Komisi XI DPR

Maraknya peredaran uang palsu menjelang hari-hari besar jelas merugikan masyarakat, baik dari aspek ekonomi mau­pun psikologi. Publik dihantui rasa takut menggunakan atau men­dapatkan uang palsu.

”Yang paling merasakan aki­bat peredaran uang palsu ini tentu masyarakat kelas bawah. Ini masalah serius dengan sekuritas rupiah.”

Persoalan ini harus diatasi se­cara komprehensif, tak ter­ke­cuali dengan melakukan pe­negakan hukum. Penanganan dari hulu hingga hilir harus dilakukan secara bersama-sama, baik oleh Bank Indonesia (BI) maupun lembaga penegak hu­kum. Maraknya peredaran uang palsu dan kejadiannya terus ber­ulang diindikasikan ada otak be­sar yang bermain dalam pem­buatan sekaligus peredaran uang palsu ini. “Harus diputus mata rantainya.” [Harian Rakyat Merdeka]

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA