Aiptu Hartono, anggota Polres Karanganyar mengatakan, dari penangkapan itu berhasil disita upal siap edar senilai Rp 3,9 juta, uang asli Rp 4,8 juta, handphone, dan motor milik tersangka. Dari pengakuan para tersangka, upal didapat dari Jawa Timur. Dari setiap penjualan satu lembar uang palsu, setiap orangnya dibayar Rp 30 ribu.
Modus tersangka mengÂgunakan uang palsu untuk memÂbeli barang. Hasil kembalian dari uang Rp 100 ribu, disetorkan kemÂÂbali sebesar Rp 60 ribu per lembar.
Oktober lalu, Polsek Metro KeÂbayoran Baru, Jakarta Selatan berÂhasil membekuk anggota komÂplotan pengedar uang palsu dan mengamankan uang palsu siap edar senilai Rp 1 miliar. Dua peÂlaku pemalsuan uang itu berÂinisial AM dan ZK. Kepada peÂtuÂgas, keduanya mengaku sebÂaÂgai anggota jaringan pengedar uang palsu.
Terungkapnya jaringan peÂngeÂdar uang palsu itu berkat laporan masyarakat. Dari laporan yang diterima, diseÂbutkan bahwa sejumlah orang meÂnawarkan uang palsu untuk ditukar dengan uang asli. Rp 1 miliar uang palsu ditukar dengan Rp 250 juta uang asli.
Peredaran uang palsu di tanah air masih terus terjadi. Temuan Bank Indonesia (BI) sepanjang tahun 2012, dalam setiap satu juta lemÂbar uang, 24 lembar di antaÂranya uang palsu. Kebanyakan uang palsu yang ditemukan mulai dari pecahan Rp 1000-Rp 100.000 yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Dari Statistik Temuan Uang Palsu (Counterfeited Money), terÂcatat periode Januari-Agustus 2011 ditemukan 34 lembar uang palÂsu per 1 juta lembar. ArtiÂnya, terjadi penurunan sekitar 10 lembar uang palsu dibanding peÂriode yang sama tahun 2012. NaÂmun, secara statistik untuk tahun ini terjadi peningkatan yang konsisten dari bulan ke bulan. Sampai Agustus lalu, BI mencatat uang palsu meningkat menjadi 5 lembar pada setiap satu juta lembar uang asli.
Direktur Pengedaran Bank InÂdonesia, Adnan Juanda mengaÂtaÂkan, motif peredaran uang palsu sejauh ini lebih pada ekonomi daripada politik.
“Paling besar yang dipalsu pecahan Rp 100.000, yang kedua Rp 50.000, kemudian Rp 20.000. Pecahan lain relatif kecil. Motif pemalsuan di Indonesia lebih ekonomi daripada politik. Orang menÂcari untuk berbisnis dengan cara memalsu uang,†kata DirekÂtur Pengedaran Bank Indonesia, AdÂnan Juanda di Jakarta, kemarin.
Pecahan Rp 100.000 yang paÂling banyak dipalsukan di maÂna preÂsentasenya mencapai 52,2 persen disusul Rp 50.000 yang meÂnguasai 43,1 persen uang yang diÂpalsukan. Januari sampai deÂngan bulan Juni, terdapat 4 lemÂbar uang palsu per 1 juta bilyet uang asli.
Selama tahun 2010 ditemukan 146.366 uang pecahan Rp 100.000 palsu. Ditemukan sebaÂnyak 61.357 lembar pada 2011, dan sebanyak 21.497 lembar seÂlama enam bulan tahun ini.
Berdasarkan sebarannya, KanÂtor Pusat di DKI Jakarta paling banyak menerima laporan uang palsu. Kemudian diikuti daerah Bandung dan Surabaya. BI tak bosan-bosannya mengingatkan masyarakat agar berhati-hati terhadap peredaran uang palsu. KeÂrugian uang palsu bagi maÂsyaÂrakat yang mendaÂpatkannya, tidak akan diganti BI.
Lebih lanjut Adnan memeÂtaÂkan, ibukota Jakarta merupakan tempat dominan beredarnya uang palsu dengan persentase sebaÂnyak 11.758 lembar atau sebesar 28 persen. “Penyebaran terbesar terÂjadi di DKI dan Banten, tahun 2012, 11.758 lembar atau 28 perÂsen, Jabar 9879 atau 24,05 persÂen, Jatim 8815 atau 21,46 persen, Lampung sebanyak 1759 atau 4,28 persen dan daerah lain seÂperti Jateng,†bebernya.
Beredarnya uang palsu bukan hanya merugikan pemerintah namun juga masyarakat, karena tak ada satuÂpun bank sentral yang akan memÂberikan ganti rugi kepada maÂsyarakat yang mendapatkannya.
“Yang memprihatinkan, dari uang palsu ini adalah, tidak ada satupun bank sentral yang akan mengganti uang palsu ini. MaÂkanya orang harus memÂperÂhaÂtikan 3D (Dilihat, Diraba, DiteÂrawang) tadi,†sarannya.
Adnan mengatakan, walaupun saat ini sudah ada Undang UnÂdang Tentang Mata Uang yang melarang dan memberi sanksi berat bagi siapa saja yang memÂbuat dan mengedarkan uang palsu, namun hal itu belum memÂbuat efek jera bagi para pelaku. DaÂlam Undang-Undang Mata Uang pasal 34, disebutkan setiap orang yang meniru rupiah dipidana dengan kurungan makÂsimal satu tahun dan pidana denda maksimal Rp 200 juta.
Sementara bagi setiap orang yang menyebarkan atau mengÂedarÂkan rupiah tiruan dipidana kurungan makÂsiÂmal satu tahun dan pidana denda maksimal Rp 200 juta. “Namun sejauh ini, berdasarkan tangkapan di lapangan, motif pemalsuan lebih pada ekonomi dibanding politik,†ungkapnya.
Walau demikian bila dibanÂdingkan negara Eropa dan Amerika, Adnan mengatakan, IndoÂnesia masih tergolong belum begitu mengkhawatirkan. “DiÂbanÂdingkan negara lain kita belum terlalu gawat, Euro, Dollar AS lebih tinggi dari kita. Apalagi Dolar AS itu kan internasional. JumÂlahnya 20-30 lembar per 1 juta,†ujarnya.
Dikatakan, pembuat uang palsu dinilai lebih canggih dari sistem yang ada, sehingga uang palsu maÂsih bisa diedarkan secara leÂluasa. Modus-modus peredaran uang palsu pun kian beragam. BI sendiri telah mengantisipasi untuk menÂcegah agar peredaran uang palsu tidak semakin meluas.
Jangan Membuat Masyarakat Panik Bertransaksi
A Tony Prasetiantono, Pengamat Perbankan Nasional
Peredaran uang palsu menÂciderai kepercayaan maÂsyaÂrakat terhadap sistem moÂneter, perbankan dan peredaran uang. Bank Indonesia dan Polri diminta mengawasi maÂraknya peredaran uang palsu (upal), terutama menjelang peÂringatan hari besar.
Kalau dibiarkan akan meÂnimÂbulkan ketidakpastian, bahkan kepanikan masyarakat dalam bertransaksi. Bila sikap negatif ini muncul sangat berÂbahaya. “Ibarat di panggung politik itu makar. Jadi harus diÂtinÂÂdak tegas.â€
Secara teoritis bila jumlah uang palsu jumlahnya besar bisa inflatiory. Tapi faktanya sampai saat ini jumlahnya reÂlatif kecil, yakni tidak sampai triÂliunan rupiah.
Undang-Undang Tentang MaÂta Uang memberikan meÂngaÂtur ancaman hukuman makÂsimal 15 tahun dan denda Rp 200 juta bagi para pemalsu ruÂpiah. Ini semestinya menjadi dasar yang kuat bagi Polri untuk memÂbeÂrantasnya.
“Pemalsu uang harus dibeÂriÂkan hukuman maksimal kaÂrena menimbulkan ketiÂdakÂpercayaan di maÂsyaÂraÂkat.â€
Harus Diputus Mata Rantainya
Zaini Rahman, Anggota Komisi XI DPR
Maraknya peredaran uang palsu menjelang hari-hari besar jelas merugikan masyarakat, baik dari aspek ekonomi mauÂpun psikologi. Publik dihantui rasa takut menggunakan atau menÂdapatkan uang palsu.
â€Yang paling merasakan akiÂbat peredaran uang palsu ini tentu masyarakat kelas bawah. Ini masalah serius dengan sekuritas rupiah.â€
Persoalan ini harus diatasi seÂcara komprehensif, tak terÂkeÂcuali dengan melakukan peÂnegakan hukum. Penanganan dari hulu hingga hilir harus dilakukan secara bersama-sama, baik oleh Bank Indonesia (BI) maupun lembaga penegak huÂkum. Maraknya peredaran uang palsu dan kejadiannya terus berÂulang diindikasikan ada otak beÂsar yang bermain dalam pemÂbuatan sekaligus peredaran uang palsu ini. “Harus diputus mata rantainya.†[Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
< SEBELUMNYA
BERIKUTNYA >