Ribuan Kepala Desa Boikot Pemilu 2014

Bila RUU Desa Nggak Disahkan Tahun Ini

Sabtu, 13 Oktober 2012, 09:02 WIB
Ribuan Kepala Desa Boikot Pemilu 2014
ilustrasi/ist
rmol news logo .Sudah delapan tahun Rancangan Undang-Undang Desa dibahas tapi tak kunjung rampung. Inilah yang membuat sejumlah perangkat desa kesal dengan kinerja DPR.  Mereka memberikan batas waktu sampai akhir tahun ini agar produk hukum itu disahkan.

Tak tangung-tanggung para para pe­rangkat desa itu akan mem­bentuk satuan tugas khusus yang nongkrong di Gedung DPR meng­­awal proses pembahasan RUU Desa sampai dengan disah­kan­nya. Bila sampai tahun ini tidak disahkan mereka meng­ancam bakal ngeluruk Senayan.

“Kita ingin perjuangan yang sudah dilakukan sejak 2004 ini ada ujungnya. Ini momentum yang baik untuk menyatukan te­kad dan menggalang kekuatan pa­ra kepala desa dan perangkat de­sa, baik dari Jawa Timur mau­pun di seluruh pelosok Indone­sia,” kata Asosiasi Kepala Desa (AKD) Jatim Ha­samari saat Ra­pat Dengar Pen­dapat Umum de­ngan Komisi II DPR, di Jakarta, Rabu lalu.

Dikatakan, sejak September lalu beberapa pengurus harian AKD Jatim juga mendatangi Se­nayan mengawal beberapa usulan AKD Jatim dan mendesak RUU Desa segera disahkan. Selain me­nemui anggota Pansus RUU De­sa, AKD Jatim melakukan lobi-lobi dengan para tokoh politik dan anggota DPR lain. “Jawaban pimpinan dewan, RUU Desa akan disahkan menjadi UU Desa pada Oktober-November 2012 ini,” bebernya.

Usulan itu antara lain menolak ru­musan pasal 25 RUU Desa yang melarang kades menjadi pe­ngu­rus partai politik atau pe­ngu­rus parpol lokal. Alasannya, ru­mu­san itu bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 45 yang me­­nyebutkan, segala warga nega­ra bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan ti­dak ada kecualinya. (usulan lain­nya baca tabel)

Menurutnya, pengesahan RUU Desa menjadi Undang-Undang merupakan kebutuhan mutlak pemerintahan desa, sekaligus men­jadi landasan berpijak bagi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Bila tuntutan-tuntutan itu tidak akomodir dan RUU Desa tidak disahkan pada tahun ini akan terjadi demontrasi besar-besaran seperti yang terjadi pada 3 Oktober 2010.

“Jika terasa ada pembiaran terhadap nasib pengesahan RUU Desa, saya sudah sepakat dengan teman-teman akan menyerbu Ja­karta. AKD Jatim bersama pe­rangkat desa dari pelosok Tanah Air akan menduduki atau menge­pung Gedung DPR sampai RUU Desa disahkan,” tegasnya.

 Hal senada diungkapkan Ke­tua Persatuan Rakyat Desa Nu­san­tara (Parade Nusantara) Sudir Santoso. Pihaknya akan menolak sama sekali pengesahan RUU Desa bila tuntutan yang sudah disampaikan kepada pemerintah dan DPR tidak direspons. “Kalau kita terima bulat-bulat, maka hancurlah desa kita,” tegasnya.

Pemerintah dan DPR jangan menganggap menyepelekan aspi­rasi perangkat desa. Sebab, bila aspirasi itu tak diakomodir maka seluruh kepala desa yang terga­bung dalam Parade Nusantara tak akan merekomendasikan dan meng­ajukan petugas TPS dan KPPS dalam pemilu legislatif dan presiden 2014 mendatang. Selain itu desa juga akan menolak jika dijadikan tempat TPS. “Ini bukan ancaman main-main,” tegasnya.

Dalam pandangan Sudir draf yang disusun Kementerian Da­lam Negeri tak sempurna benar. Masih ada pasal krusial dalam RUU itu. Salah satunya, terkait ma­salah hak dan kewenangan de­sa. Selama ini desa hanya dibe­rikan kewajiban tanpa hak dan kewenangan. Inilah yang mem­buat posisi desa menjadi lemah.

Selain itu, RUU Desa belum jelas membedakan pengaturan ser­ta pengelolaan desa di wilayah masyarakat adat dan di luar masyarakat adat. Menurutnya, ben­tuk desa di wilayah adat se­mes­tinya sesuai dengan adat se­tempat. Tak perlu lagi ada jenis desa baru di wilayah yang ada, ka­rena itu akan menimbulkan dua­lisme pemerintahan dan akhir­nya melahirkan konflik.

RUU ini juga belum menem­pat­kan kesatuan masyarakat adat se­bagai pemerintahan yang meng­atur dan mengurus sesuai dengan adat setempat. Bentuk kewajiban pemerintah untuk melakukan perlindungan dan penguatan pe­merintahan adat yang sudah hidup turun-temurun pun belum jelas. “Yang diatur seolah-olah hanya masyarakat adat dan uang bagi masyarakat adat,” jelasnya.

Pendapat lain disampaikan Fo­rum Walinagari Sumatera Barat, An­war Maksum. Menurutnya, kele­mahan mendasar RUU Desa versi pemerintah adalah sengaja dihilangkannya klausul pemerin­tahan desa, yang dengan ini be­rarti bahwa Badan Pemusya­wara­tan Desa (BPD) bukan lagi pe­nye­leng­gara Pemerintahan Desa ber­sama dengan Kepala Desa dan mem­posisikan Kepala Desa seba­gai penguasa tunggal di desa. “RUU ini memposisikan BPD hanya sebagai lembaga kema­syara­katan yang hanya berfungsi untuk me­nampung dan menya­lurkan aspi­rasi masyarakat,” katanya.

Pemerintah Tolak Masa Jabatan Kepala Desa Menjadi Delapan Tahun

Pemerintah menolak usulan perpanjangan masa jabatan ke­pala desa selama delapan tahun ka­rena Undang-Undang Peme­rin­tahan Daerah telah meng­atur­nya tidak lebih dari enam tahun.

“Dalam pandangan kita masa jabatan kades 6 tahun itu sudah rasional dan diputuskan setelah melihat situasi yang berkembang di desa. Tidak adalah masa jaba­tan di atas itu,” kata Dirjen Pem­ber­dayaan Masyarakat Desa Kem­dagri Tarmizi A Karim, kemarin.

Yang terpenting dalam pemba­hasan RUU Desa, kata dia, justru terkait penguatan pemberdayaan kelembagaan dan masyarakat desa ke depan. Demikian juga terkait kuota perempuan dalam mengisi jabatan pemerintahan di desa.

Dalam Undang-Undang Ten­tan Pemda dan draft RUU Desa, memang belum disebutkan secara detail mengenai kuota perem­puan. Namun konsep pember­da­yaan masyarakat ini sangat luas pengertiannya dan bila diteliti le­bih dalam kuota perempuan su­dah dimasukan di dalamnya. Ini bentuk perhatian terhadap aspek gender dalam RUU Desa.

Kepala Pusat Penerangan Ke­mendagri Reydonnyzar Moenek menolak bila RUU Desa diang­gap memberangus keragaman desa. Malah RUU ini justru akan memperkuat pranata hukum dan sosial yang sudah berkembang di desa.

“Misalnya masalah perselisi­han, tidak perlu dibawa ke ranah hukum melainkan bisa disele­sai­kan secara adat lewat peran kepa­la desa. Itu kan tidak mengancur­kan, tetapi malah memperkuat adat,”terangnya.

Menurutnya, semangat RUU Desa bukan untuk mencerabut desa dari akar kesejarahannya. Te­tapi desa harus mau dan mam­pu mewujudkan dirinya sebagai sebuah desa yang modern. “Ba­gai­mana arus urbanisasi kita kendalikan, tapi informasi tetap dapat mengalir dan pertumbuhan ekonomi terwujud,” ujarnya.

Sementara, Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemen­terian Hukum dan HAM Wahi­duddin Adams mengatakan, Daf­tar Inventarisasi Masalah RUU Desa baru diserahkan DPR kepa­da pemerintah. Dia mengisyarat­kan RUU Desa tidak akan dise­rah­kan dalam masa sidang ini yang akan berakhir pada akhir Oktober. “Kemungkinan per­tengahan Desember disahkan,” jelasnya.

Diprediksi Kelar Tahun Depan

Kemarin, Panitia Khusus RUU Pemerintahan Daerah (Pem­da) dan RUU Desa meng­gelar rapat dengan Menteri Da­lam Negeri Gamawan Fauzi. Agendanya penyerahan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Pemda dan RUU Desa.  Masing-masing RUU memiliki 1.490 DIM dan 540 DIM.

Ketua Pansus RUU Pemda Totok Daryanto mengatakan, penyerahan DIM adalah awal pembahasan. ada beberapa pa­sal krusial yang ada dalam dua RUU itu. Misalnya kewenang­an desa dan otonomi desa, dan wacana wakil kepala daerah diisi PNS.

Menurutnya, banyak DIM yang harus dibahas bersama pe­merintah membuat dua RUU tidak memungkinkan bisa disahkanselesai akhir tahun ini. “Kita harapkan selesai Maret atau April mendatang,” kata­nya, kemarin.

Ketua Pansus RUU tentang De­sa Ahmad Muqowwam me­ne­gaskan, pihaknya tak ber­mak­sud memperlambat pemba­hasan RUU tentang Desa. Sampai saat ini semangat frak­si-fraksi yang ada di Pansus yang membahas RUU ingin pem­bahasannya segera didele­saikan secepatnya.

“Sampai saat ini tidak ada pasal yang dianggap krusial sehingga bisa memperlambat penyelesaian RUU. Kami su­dah konfirmasi, materi tidak ada perbaikan secara signifi­kan,” katanya.

Daraf RUU Desa yang di­sam­paikan pemerintah me­mang belum menyentuh per­soa­lan-persoalan substantif. Iba­rat sebuah rumah, baru pa­garnya dicat atau halamannya saja yang dibersihkan. Tapi ini tan­tangan buat DPR untuk menganalisanya. “Membangun desa adalah membangun nega­ra,” ucapnya.

Sementara Wakil Ketua Pan­sus RUU Desa Budiman Su­djat­miko menjelaskan, desa bu­kan hanya sekedar rantai ko­mando pemerintahan, tetapi harus lebih dari itu. RUU Desa ini tidak sekedar tentang peme­rintahan desa, ada banyak hal yang harus dirumuskan dalam RUU ini.

Setelah RUU Desa disahkan menjadi Undang-Undang Desa nantinya akan menjadi payung hukum bagi keragaman desa di Tanah Air dengan segala ke­khu­susannya. Sejak Indonesia merdeka baru pada tahun ini RUU Desa dibahas. DPR perio­de sebelumnya sudah mulai me­wacanakan namun gagal Â­ditin­daklanjuti.

Dikatakan, dengan UU ini desa dapat menentukan tipo­loginya apakah akan menjadi desa administratif, desa adat, dan sebagainya. Selain itu, UU Desa juga akan memberikan jaminan ekonomi bagi desa secara kelembagaan melalui badan usaha milik desa.

Anggota Komisi II DPR Ab­dul Wahab Dalimunthe meng­ungkapkan, sikap saling ngotot pemerintah dengan para pe­rang­kat desa membuat ham­batan pembahasan RUU Desa sema­kin alot. Dengan kondisi demi­ki­an, target pengesahan RUU De­sa pada akhir tahun atau De­sember di­prediksi akan mo­lor. “Ke­mung­kinan tahun de­pan ba­ru bisa disahkan,” ucapnya.

Hanya Melihat Dari Kacamata Jakarta

Ari Dwipayana, Pengamat Politik dari Universitas Gajah Mada

Banyaknya isu krusial da­lam RUU Desa yang disoroti berbagai kalangan menandakan pemerintah tak memahami per­soalan desa. Pemerintah hanya melihat desa dari kacamata Ja­karta, sehingga cenderung me­nyeragamkan. Desa dipandang sebagai unit pemerintahan. Padahal desa itu memiliki karak­teristik yang berbeda dan itu harus diakui.

Desa memiliki peran penting dan posisi yang strategis seba­gai ujung tombak pembangu­nan. Keberhasilan pembangu­nan terletak di desa. Bahkan banyak yang eranggapan, dari desa inilah kita bisa menye­hatkan Indonesia. Jadi solusi persoalan Indonesia dimulai dari desa.

Agar desa lebih maju, pem­ba­hasan RUU Desa jangan di­persempit hanya menjadi uru­san birokrasi desa semata. Apalagi sekadar masa jabatan ke­pala desa, PNS-nisasi desa, dan alo­kasi dana desa. Harus ka­jian yang mendalam seperti bagai­ma­na menghormati kera­gaman dan memposisikan desa me­miliki otonomi asli. Inilah yang paling esensial. Tapi semua itu tak muncul dalam draf RUU Desa. Semangat yang ada dalam pembahasan RUU Desa justru sebaliknya, menggerus keraga­man desa. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA