.Sudah delapan tahun Rancangan Undang-Undang Desa dibahas tapi tak kunjung rampung. Inilah yang membuat sejumlah perangkat desa kesal dengan kinerja DPR. Mereka memberikan batas waktu sampai akhir tahun ini agar produk hukum itu disahkan.
Tak tangung-tanggung para para peÂrangkat desa itu akan memÂbentuk satuan tugas khusus yang nongkrong di Gedung DPR mengÂÂawal proses pembahasan RUU Desa sampai dengan disahÂkanÂnya. Bila sampai tahun ini tidak disahkan mereka mengÂancam bakal ngeluruk Senayan.
“Kita ingin perjuangan yang sudah dilakukan sejak 2004 ini ada ujungnya. Ini momentum yang baik untuk menyatukan teÂkad dan menggalang kekuatan paÂra kepala desa dan perangkat deÂsa, baik dari Jawa Timur mauÂpun di seluruh pelosok IndoneÂsia,†kata Asosiasi Kepala Desa (AKD) Jatim HaÂsamari saat RaÂpat Dengar PenÂdapat Umum deÂngan Komisi II DPR, di Jakarta, Rabu lalu.
Dikatakan, sejak September lalu beberapa pengurus harian AKD Jatim juga mendatangi SeÂnayan mengawal beberapa usulan AKD Jatim dan mendesak RUU Desa segera disahkan. Selain meÂnemui anggota Pansus RUU DeÂsa, AKD Jatim melakukan lobi-lobi dengan para tokoh politik dan anggota DPR lain. “Jawaban pimpinan dewan, RUU Desa akan disahkan menjadi UU Desa pada Oktober-November 2012 ini,†bebernya.
Usulan itu antara lain menolak ruÂmusan pasal 25 RUU Desa yang melarang kades menjadi peÂnguÂrus partai politik atau peÂnguÂrus parpol lokal. Alasannya, ruÂmuÂsan itu bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 45 yang meÂÂnyebutkan, segala warga negaÂra bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiÂdak ada kecualinya. (usulan lainÂnya baca tabel)
Menurutnya, pengesahan RUU Desa menjadi Undang-Undang merupakan kebutuhan mutlak pemerintahan desa, sekaligus menÂjadi landasan berpijak bagi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Bila tuntutan-tuntutan itu tidak akomodir dan RUU Desa tidak disahkan pada tahun ini akan terjadi demontrasi besar-besaran seperti yang terjadi pada 3 Oktober 2010.
“Jika terasa ada pembiaran terhadap nasib pengesahan RUU Desa, saya sudah sepakat dengan teman-teman akan menyerbu JaÂkarta. AKD Jatim bersama peÂrangkat desa dari pelosok Tanah Air akan menduduki atau mengeÂpung Gedung DPR sampai RUU Desa disahkan,†tegasnya.
Hal senada diungkapkan KeÂtua Persatuan Rakyat Desa NuÂsanÂtara (Parade Nusantara) Sudir Santoso. Pihaknya akan menolak sama sekali pengesahan RUU Desa bila tuntutan yang sudah disampaikan kepada pemerintah dan DPR tidak direspons. “Kalau kita terima bulat-bulat, maka hancurlah desa kita,†tegasnya.
Pemerintah dan DPR jangan menganggap menyepelekan aspiÂrasi perangkat desa. Sebab, bila aspirasi itu tak diakomodir maka seluruh kepala desa yang tergaÂbung dalam Parade Nusantara tak akan merekomendasikan dan mengÂajukan petugas TPS dan KPPS dalam pemilu legislatif dan presiden 2014 mendatang. Selain itu desa juga akan menolak jika dijadikan tempat TPS. “Ini bukan ancaman main-main,†tegasnya.
Dalam pandangan Sudir draf yang disusun Kementerian DaÂlam Negeri tak sempurna benar. Masih ada pasal krusial dalam RUU itu. Salah satunya, terkait maÂsalah hak dan kewenangan deÂsa. Selama ini desa hanya dibeÂrikan kewajiban tanpa hak dan kewenangan. Inilah yang memÂbuat posisi desa menjadi lemah.
Selain itu, RUU Desa belum jelas membedakan pengaturan serÂta pengelolaan desa di wilayah masyarakat adat dan di luar masyarakat adat. Menurutnya, benÂtuk desa di wilayah adat seÂmesÂtinya sesuai dengan adat seÂtempat. Tak perlu lagi ada jenis desa baru di wilayah yang ada, kaÂrena itu akan menimbulkan duaÂlisme pemerintahan dan akhirÂnya melahirkan konflik.
RUU ini juga belum menemÂpatÂkan kesatuan masyarakat adat seÂbagai pemerintahan yang mengÂatur dan mengurus sesuai dengan adat setempat. Bentuk kewajiban pemerintah untuk melakukan perlindungan dan penguatan peÂmerintahan adat yang sudah hidup turun-temurun pun belum jelas. “Yang diatur seolah-olah hanya masyarakat adat dan uang bagi masyarakat adat,†jelasnya.
Pendapat lain disampaikan FoÂrum Walinagari Sumatera Barat, AnÂwar Maksum. Menurutnya, keleÂmahan mendasar RUU Desa versi pemerintah adalah sengaja dihilangkannya klausul pemerinÂtahan desa, yang dengan ini beÂrarti bahwa Badan PemusyaÂwaraÂtan Desa (BPD) bukan lagi peÂnyeÂlengÂgara Pemerintahan Desa berÂsama dengan Kepala Desa dan memÂposisikan Kepala Desa sebaÂgai penguasa tunggal di desa. “RUU ini memposisikan BPD hanya sebagai lembaga kemaÂsyaraÂkatan yang hanya berfungsi untuk meÂnampung dan menyaÂlurkan aspiÂrasi masyarakat,†katanya.
Pemerintah Tolak Masa Jabatan Kepala Desa Menjadi Delapan Tahun
Pemerintah menolak usulan perpanjangan masa jabatan keÂpala desa selama delapan tahun kaÂrena Undang-Undang PemeÂrinÂtahan Daerah telah mengÂaturÂnya tidak lebih dari enam tahun.
“Dalam pandangan kita masa jabatan kades 6 tahun itu sudah rasional dan diputuskan setelah melihat situasi yang berkembang di desa. Tidak adalah masa jabaÂtan di atas itu,†kata Dirjen PemÂberÂdayaan Masyarakat Desa KemÂdagri Tarmizi A Karim, kemarin.
Yang terpenting dalam pembaÂhasan RUU Desa, kata dia, justru terkait penguatan pemberdayaan kelembagaan dan masyarakat desa ke depan. Demikian juga terkait kuota perempuan dalam mengisi jabatan pemerintahan di desa.
Dalam Undang-Undang TenÂtan Pemda dan draft RUU Desa, memang belum disebutkan secara detail mengenai kuota peremÂpuan. Namun konsep pemberÂdaÂyaan masyarakat ini sangat luas pengertiannya dan bila diteliti leÂbih dalam kuota perempuan suÂdah dimasukan di dalamnya. Ini bentuk perhatian terhadap aspek gender dalam RUU Desa.
Kepala Pusat Penerangan KeÂmendagri Reydonnyzar Moenek menolak bila RUU Desa diangÂgap memberangus keragaman desa. Malah RUU ini justru akan memperkuat pranata hukum dan sosial yang sudah berkembang di desa.
“Misalnya masalah perselisiÂhan, tidak perlu dibawa ke ranah hukum melainkan bisa diseleÂsaiÂkan secara adat lewat peran kepaÂla desa. Itu kan tidak mengancurÂkan, tetapi malah memperkuat adat,â€terangnya.
Menurutnya, semangat RUU Desa bukan untuk mencerabut desa dari akar kesejarahannya. TeÂtapi desa harus mau dan mamÂpu mewujudkan dirinya sebagai sebuah desa yang modern. “BaÂgaiÂmana arus urbanisasi kita kendalikan, tapi informasi tetap dapat mengalir dan pertumbuhan ekonomi terwujud,†ujarnya.
Sementara, Dirjen Peraturan Perundang-undangan KemenÂterian Hukum dan HAM WahiÂduddin Adams mengatakan, DafÂtar Inventarisasi Masalah RUU Desa baru diserahkan DPR kepaÂda pemerintah. Dia mengisyaratÂkan RUU Desa tidak akan diseÂrahÂkan dalam masa sidang ini yang akan berakhir pada akhir Oktober. “Kemungkinan perÂtengahan Desember disahkan,†jelasnya.
Diprediksi Kelar Tahun Depan
Kemarin, Panitia Khusus RUU Pemerintahan Daerah (PemÂda) dan RUU Desa mengÂgelar rapat dengan Menteri DaÂlam Negeri Gamawan Fauzi. Agendanya penyerahan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Pemda dan RUU Desa. Masing-masing RUU memiliki 1.490 DIM dan 540 DIM.
Ketua Pansus RUU Pemda Totok Daryanto mengatakan, penyerahan DIM adalah awal pembahasan. ada beberapa paÂsal krusial yang ada dalam dua RUU itu. Misalnya kewenangÂan desa dan otonomi desa, dan wacana wakil kepala daerah diisi PNS.
Menurutnya, banyak DIM yang harus dibahas bersama peÂmerintah membuat dua RUU tidak memungkinkan bisa disahkanselesai akhir tahun ini. “Kita harapkan selesai Maret atau April mendatang,†kataÂnya, kemarin.
Ketua Pansus RUU tentang DeÂsa Ahmad Muqowwam meÂneÂgaskan, pihaknya tak berÂmakÂsud memperlambat pembaÂhasan RUU tentang Desa. Sampai saat ini semangat frakÂsi-fraksi yang ada di Pansus yang membahas RUU ingin pemÂbahasannya segera dideleÂsaikan secepatnya.
“Sampai saat ini tidak ada pasal yang dianggap krusial sehingga bisa memperlambat penyelesaian RUU. Kami suÂdah konfirmasi, materi tidak ada perbaikan secara signifiÂkan,†katanya.
Daraf RUU Desa yang diÂsamÂpaikan pemerintah meÂmang belum menyentuh perÂsoaÂlan-persoalan substantif. IbaÂrat sebuah rumah, baru paÂgarnya dicat atau halamannya saja yang dibersihkan. Tapi ini tanÂtangan buat DPR untuk menganalisanya. “Membangun desa adalah membangun negaÂra,†ucapnya.
Sementara Wakil Ketua PanÂsus RUU Desa Budiman SuÂdjatÂmiko menjelaskan, desa buÂkan hanya sekedar rantai koÂmando pemerintahan, tetapi harus lebih dari itu. RUU Desa ini tidak sekedar tentang pemeÂrintahan desa, ada banyak hal yang harus dirumuskan dalam RUU ini.
Setelah RUU Desa disahkan menjadi Undang-Undang Desa nantinya akan menjadi payung hukum bagi keragaman desa di Tanah Air dengan segala keÂkhuÂsusannya. Sejak Indonesia merdeka baru pada tahun ini RUU Desa dibahas. DPR perioÂde sebelumnya sudah mulai meÂwacanakan namun gagal ÂditinÂdaklanjuti.
Dikatakan, dengan UU ini desa dapat menentukan tipoÂloginya apakah akan menjadi desa administratif, desa adat, dan sebagainya. Selain itu, UU Desa juga akan memberikan jaminan ekonomi bagi desa secara kelembagaan melalui badan usaha milik desa.
Anggota Komisi II DPR AbÂdul Wahab Dalimunthe mengÂungkapkan, sikap saling ngotot pemerintah dengan para peÂrangÂkat desa membuat hamÂbatan pembahasan RUU Desa semaÂkin alot. Dengan kondisi demiÂkiÂan, target pengesahan RUU DeÂsa pada akhir tahun atau DeÂsember diÂprediksi akan moÂlor. “KeÂmungÂkinan tahun deÂpan baÂru bisa disahkan,†ucapnya.
Hanya Melihat Dari Kacamata Jakarta
Ari Dwipayana, Pengamat Politik dari Universitas Gajah Mada
Banyaknya isu krusial daÂlam RUU Desa yang disoroti berbagai kalangan menandakan pemerintah tak memahami perÂsoalan desa. Pemerintah hanya melihat desa dari kacamata JaÂkarta, sehingga cenderung meÂnyeragamkan. Desa dipandang sebagai unit pemerintahan. Padahal desa itu memiliki karakÂteristik yang berbeda dan itu harus diakui.
Desa memiliki peran penting dan posisi yang strategis sebaÂgai ujung tombak pembanguÂnan. Keberhasilan pembanguÂnan terletak di desa. Bahkan banyak yang eranggapan, dari desa inilah kita bisa menyeÂhatkan Indonesia. Jadi solusi persoalan Indonesia dimulai dari desa.
Agar desa lebih maju, pemÂbaÂhasan RUU Desa jangan diÂpersempit hanya menjadi uruÂsan birokrasi desa semata. Apalagi sekadar masa jabatan keÂpala desa, PNS-nisasi desa, dan aloÂkasi dana desa. Harus kaÂjian yang mendalam seperti bagaiÂmaÂna menghormati keraÂgaman dan memposisikan desa meÂmiliki otonomi asli. Inilah yang paling esensial. Tapi semua itu tak muncul dalam draf RUU Desa. Semangat yang ada dalam pembahasan RUU Desa justru sebaliknya, menggerus keragaÂman desa. [Harian Rakyat Merdeka]
< SEBELUMNYA
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: